Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia

Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) adalah serikat buruh pertama yang melakukan aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda, yakni pada 3 Desember 1957. Ketua umum KBKI adalah ketua PNI Sumatera Utara, Saleh Umar.[1] Pada masa itu para pimpinan KBKI memaksa masuk ke ruangan manajer di kantor pusat KPM (Perusahaan Pelayaran Belanda) yang bertempat di Jalan Merdeka Timur Jakarta, dan menyatakan bahwa mereka telah berhasil mengambilalih KPM. Pengabilalihan perusahaan Belanda dianggap oleh KBKI sebagai upaya untuk mendukung perjuangan dalam merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Pada tahun 1955, jumlah keanggotaan KBKI terhituung sekitar 95.000. Tiga tahun kemudian, keanggotaan KBKI berkembang menjadi setengah juta pengikut.[2]

Sejarah dan Tujuan KBKI

KBKI terbentuk dari peleburan Himpunan Buruh Indonesia (HIMBI) dan Ikatan Buruh Demokrat (IBD) yang berada di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI), tepatnya pada 10 Desember 1952. Organisasi ini berdiri dengan tujuan untuk berjuang mempertahankan hak-hak asasi manusia dan turut membentuk masyarakat yang penuh dengan perikeadilan serta perikemanusiaan.

Perjuangan KBKI yang memiliki semboyan "Dari, oleh dan untuk rakyat" juga memiliki tujuan mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur, bebas dari ketakutan serta penindasan. KBKI berasaskan sosialisme kerakyatan yang sesuai dengan jiwa dan semangat gotong royong di Indonesia.[3]

Meskipun bukan partai politik, KBKI juga membebaskan para anggotanya untuk berpartisipasi dalam dunia politik Indonesia. Sebagai organisasi, KBKI juga bersedia bekerja sama dengan semua partai politik, tanpa terkecuali.

Perpecahan Dalam Tubuh KBKI

Perpecahan di dalam organisasi KBKI bermula dari terjadinya sengketa dewan pimpinan PNI beserta rekan-rekannya dengan Ketua Umum KBKI masa kepemimpinan Ahem Erningpradja soal kedudukan KBKI. Pada masa itu dewan pimpinan partai menghendaki supaya KBKI mengikuti politik PNI, sedangkan Ahem yang pada saat itu juga menjabat sebagai menteri perburuhan secara total mengikuti Sukarno.

Selama menjabat sebagai ketua umum KBKI, Ahem selalu mengusahakan agar orang-orangnyalah yang duduk dalam pimpinan KBKI. Bahkan, ia sempat menulis sudar edaran resmi kepada semua departemen bahwa hanya KBKI miliknyalah yang boleh diakui vsebagai organisasi buruh. Kemudian, orang-orang pimpinan partai yang ada di dalamnya pun tersingkir. Karena upaya tersebut, Ahem pun dipecat dari PNI, namun kmudian ia menjadi duta besar di KOrea Utara dan menyatakan bahwa sepeninggalannya KBKI tetap berjalan.

Berdasarkan keterangan dari S.K. Trimurti yang dikeluarkan saat kongres ketiga tahun 1962, KBKI pun terpecah menjadi dua kelompok. Kubu yang berada di bawah PNI yakni DPP (Dewan Pimpinan Pusat) KBKI yang berada di bawah pimpinan Surojo. Pada 1963, kubu tersebut mengubah namanya menjadi DPP KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis) mengikuti Kongres PNI yang digelar di Purwokerto. Sedangkan, kubu kedua adalah DPS (Dewan Pimpinan Sentral) KBKI yang berada di bawah pinpinan Ahem Erningpradja.

Referensi

  1. ^ "Serikat Buruh Nasionalis, Antara Perjuangan Kelas dan Kepentingan Nasional". Historia - Obrolan Perempuan Urban. Diakses tanggal 2018-04-29. 
  2. ^ Tedjasukmana, Iskandar (1958). Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia (PDF). Department of Far Eastern Studies Cornell University, Ithaca, New York. 
  3. ^ Ensiklopedi Umum. Kanisius. 1973. ISBN 9789794135228. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-29. Diakses tanggal 2018-04-29.