Wanita dalam pertanian di Jepang

Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Wanita selalu aktif dalam pertanian di Jepang. Sepanjang sejarah Jepang, petani wanita melebihi petani laki-laki.[1] Biasanya, petani wanita di Jepang tak hanya mengerjakan sawah, namun juga merawat anggota keluarga lainnya. Beberapa memegang pekerjaan paruh waktu dan kemudian datang ke rumah untuk mengerjakan sawah. Kebanyakan lahan sawah di Jepang digunakan oleh keluarga petani kecil, meskipun jenis pertanian kolektif lainnya ditemukan di negara tersebut. Pemerintah Jepang aktif dalam menyokong wanita untuk ikut pertanian pada awal abad ke-21.

Para petani Jepang, sekitar tahun 1914-1918.
Para petani Jepang, sekitar tahun 1914-1918.

Sejarah

 
Gadis-garis menampi biji padi. Gadis yang berada di sebelah kiri mengkosongkan sekeranjang beras, sementara yang berada di sebelah kanan menggunakan kipas untuk memisahkan sekam dari gabah saat biji-bijian tersebut berjatuhan. Sekitar 1914-1918.

Lahan keluarga kecil di Jepang adalah sumber pertanian dominan di negara tersebut dan meskipun jumlah petani menurun sepanjang tahun, wanita yang bekerja sebagai petani masih melebihi pria.[2] Sawah-sawah kecil biasanya diturunkan dari ayah ke putra sulung dan wanita tidak sering terlibat dalam peran kepemimpinan pada Komtie Pertanian atau kooperatif pertanian.[2] Karena aransemen ini, pertanian masih menjadi industri yang didominasi laki-laki.[3] Meskipun wanita bekerja sisi per sisi di kebun, biasanya, pria dan wanita tak menjalani banyak waktu dengan satu sama lain saat tidak berkebun.[4] Sampai saat ini, wanita yang ingin menjadi petani di bawah model tradisional tersebut hanya karena lahir dalam atau menikah dalam sebuah keluarga petani.[5] Saat ini, susunan tersebut masih terjadi di beberapa wilayah. Haruna Takano, yang membuat sebuah sawah di Hokkaido dengan Eri Sawai, mengaku bahwa wanita yang ingin memasuki pertanian diperbolehkan untuk menikah dalam keluarga petani.[5] Beberapa pria yang mengambil pekerjaan dari pertanian untuk memenuhi pemasukan keluarga dan sehingga wanita memiliki keinginan untuk berkontribusi secara signifikan pada lahan yang dikerjakan.[6] Pada 1976, para petani wanita Jepang juga mengambil pekerjaan-pekerjaan paruh waktu selain pekerjaan bertani mereka.[7]

Setelah Perang Dunia II, produksi pertanian menurun di Jepang. Pada 2013, para petani Jepang hanya memproduksi 39 persen kebutuhan pangan di Jepang.[8] Setelah PDII, beberapa kebun dimiliki oleh tuan tanah non-petani yang diambil alih oleh bekas pemukim pedesaan.[6] Setelah perang, wanita diperbolehkan untuk ikut dalam organisasi-organisasi pria, namun sering kali dengan batasan-batasan.[9]

Beberapa norma tradisional dilanjutkan di Jepang setelah penerapan Konstitusi 1947.[10] Wanita pedesaan yang bekerja di kebun pada masa tersebut memiliki peran ganda merawat anggota-anggota keluarga dan bekerja di kebun.[11] Meskipun wanita juga mulai bekerja di luar kebun, mereka masih berminat untuk berkebun.[12]

Pada 1980an, terdapat perubahan besar dalam demografi pertanian, dengan kaum muda, khususnya wanita muda, meninggalkan pekerjaan bertani dan pergi untuk bekerja di kawasan-kawasan perkotaan.[13]

Pada 1994, jaringan pertanian terkenal dan terbesar, Para Pahlawan Wanita Pedesaan (atau Inakano Heroine Wakuwaku Network)[14] dibentuk.[15] Para Pahlawan Wanita Pedesaan telah membantuk sebuah konvensi nasional untuk petani wanita menjadi jaringan, menerbitkan Heroine News, dan menyelenggarakan ceramah lokal, seminar dan pertukaran produksi.[16]

Pada 1995, pertanian berubah bagi wanita. Petani wanita yang lebih muda dianggap lebih independen ketimbang generasi-generasi sebelumnya.[17] Pada 1996, sebuah sekolah yang dinamai Sekolah Pertanian Perempuan (Redīsu Fāmu Sukūru) dibentuk di Hokkaido untuk melatih wanita untuk menjadi "petani-petani wanita yang diemansipasi".[18] Sekolah tersebut tak hanya dibentuk untuk mengajarkan wanita tentang pertanian, namun juga mendorong wanita untuk kembali ke kawasan pedesaan.[19]

Setelah 1999, saat Undang-Undang Dasar untuk untuk Perhimpunan Kesetaraan Gender [ja] (Danjo Kyōdō Sankaku Shakai Kihon Hō)[20] diterapkan, komite dan kooperatif pertanian mulai mendorong keikutsertaan wanita dan meningkatkan peran-peran kepemimpinan wanita dalam pertanian sepanjang waktu.[2]

Referensi

Kutipan

  1. ^ Iijima 2015, hlm. 1.
  2. ^ a b c Iijima 2015, hlm. 2.
  3. ^ Demetriou, Danielle (20 March 2014). "Women Change the Face of Japanese Farming". Modern Farmer. Diakses tanggal 9 November 2016. 
  4. ^ Bernstein 1976, hlm. 45.
  5. ^ a b Watanabe, Sayaka (12 January 2016). "Hokkaido Women Prove You Don't Need to Marry a Farmer to Become One". The Japan Times. Diakses tanggal 9 November 2016. 
  6. ^ a b Campbell, Mike (1995). "Japanese Agriculture and California Opportunities". California Cooperative Extension. UC Davis. Diakses tanggal 9 November 2016. 
  7. ^ Bernstein 1976, hlm. 40–41.
  8. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :2
  9. ^ Hara-Fukuyo 2010, hlm. 264.
  10. ^ Gergely 2004, hlm. 511.
  11. ^ Gergely 2004, hlm. 512.
  12. ^ Bernstein 1976, hlm. 44.
  13. ^ Bowman & Osawa 1986, hlm. 14.
  14. ^ Hara-Fukuyo 2010, hlm. 262.
  15. ^ Hara-Fukuyo 2010, hlm. 264–265.
  16. ^ Hara-Fukuyo 2010, hlm. 265.
  17. ^ Tanaka, Yukiko (1995). Contemporary Portraits of Japanese Women. London: Praeger. hlm. 125. ISBN 0275951731. 
  18. ^ Gergely 2004, hlm. 507–508.
  19. ^ Gergely 2004, hlm. 517.
  20. ^ Iijima 2015, hlm. 3.

Sumber

Pranala luar