Arjuna Wisada Yoga
Arjuna Wisada Yoga adalah sebuah bab dalam kitab Bhagawadgita. Bab ini menceritakan keragu-raguan dalam diri Arjuna, setelah ia menyaksikan saudara, guru, sahabat dan kerabatnya yang siap untuk bertempur di Kurukshetra. Ia menyadari dampak peperangan yang akan terjadi, dan dianggap bertentangan dengan ajaran Dharma. Bab ini juga menggambaran situasi dan kondisi yang berlangsung menjelang perang di Kurukshetra.
Pertentangan ajaran dharma yang terjadi dalam diri Arjuna, antara lain adalah:
- Ahimsa
- larangan membunuh guru sebagai dosa besar (mahāpataka)
- ajaran Wairagya, sebagai sistem pencapaian tujuan moksa
- kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur, sebagai ekses terjadinya peperangan
- kekacauan dalam sistem warnasrama-dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan dalam jatidharma dan dharma
Atas pemikiran bahwa peperangan itu bertentangan dengan dharma, Arjuna mengharapkan bimbingan dari Kresna untuk keluar dari kebingunggan ini.
Uraian dalam Bhagawad Gita
suntingDretarastra berkata, "Di tanah lapang kebenaran, di tanah lapang dari kerajaan Kuru, sewaktu putra – putraku berkumpul bersama–sama dengan putra–putra Pandu dengan keinginan berperang, apa yang telah diperbuatnya, O Sanjaya?"
Sanjaya berkata, "Jadi setelah Duryodana menyaksikan tentara daripada Pandawa yang telah teratur dan siap sedia untuk berperang, dia lalu segera mendekati gurunya yaitu Drona, dan berkata sebagai berikut: "Saksikanlah, O Guru, kekuatan tentara dari putra–putra Pandu yang telah siap sedia diatur oleh Drestadyumna, siswa Paduka yang bijaksana, yaitu putra dari Drupada. Turut serta pula para pahlawan yang keahliannya, kebesarannya dalam hal panah – memanah sama dengan Bima dan Arjuna di dalam peperangan sebagai Satyaki, Wirata dan Drupada pahlawan kereta yang besar. Drestaketu, Cekitana dan raja dari Kasi yang wiryawan, gagah perkasa, juga prajurit, Kuntiboja dan Saibya adalah orang–orang yang terkemuka. Yudamanyu, yang kuat dan Utamauja yang wirawan dan juga putra dari Subadra dan putra–putra dari Dropadi semuanya adalah pahlawan–pahlawan kereta yang besar. Ketahui juga, O Dwijati utama, pemimpin–pemimpin dari tentaraku yang paling terkemuka di antara kita. Aku ingin menyebutkan namanya sekarang untuk diketahui. Paduka sendiri, Bisma, Karna dan Krepa, yang selalu unggul di dalam peperangan, Aswatama, Wikarna dan juga putra dari Somadata. Dan banyak pahlawan lainnya yang menyerahkan jiwanya untuk kepentinganku. Mereka dipersenjatai dengan bermacam–macam senjata dan semuanya mahir dalam peperangan. Inilah tentara kita yang dibela oleh Bisma dan tak terbilang jumlahnya, sedangkan tentara mereka yang dibela oleh Bima adalah terbatas jumlahnya. Oleh karena itu semua hendaknya membantu Bisma, berdiri teguh pada semua bagian depan dalam kedudukannya masing–masing."
Dengan melihat putra–putra Drestarastra yang telah teratur pada tempatnya siap sedia untuk berperang dan penembakan akan dimulai, maka Arjuna dengan panji memakai simbol Hanoman (monyet) mengambil panahnya dan lalu berkata kepada Kresna sebagai berikut:
"O Achyuta, tempatkanlah keretaku di antara kedua tentara itu supaya aku dapat melihat mereka yang berdiri di sini dan mempunyai keinginan untuk berperang di medan perang ini, dengan siapa aku harus mengadu jiwa. Karena aku ingin melihat mereka yang berkumpul di sini, siap untuk berperang dan berhajat, benar untuk mencapai kemenangan di dalam peperangan ini demi cinta mereka pada putra Drestarastra yang berpikiran jahat itu."
Jadi dengan ucapan Arjuna ini, Kresna lalu menarik kereta yang terbaik ke antara dua pasukan tentara. Di sana Arjuna melihat berdiri pada kedua belah pihak, nenek–nenek, mertua–mertua dan paman–paman, kakak–kakak, dan saudara sepupu, kepunyaannya sendiri anak–anak dan cucu–cucu, teman–teman, guru–guru dan juga teman–teman yang lainnya. Jadi setelah melihat semua kaum keluarga berdiri teratur, Arjuna lalu berbicara dengan berduka–cita, diliputi dengan penuh rasa belas kasihan. Ia diliputi oleh rasa maha kasih dan menyatakan ini dalam kesedihan.
Duka cita Arjuna: "O Kresna, setelah aku melihat kaum keluargaku hadir di sini, ingin berperang anggota badanku tidak berdaya lagi dan mulut menjadi kering dan rambut tak bergerak lagi. Panah Gandiwa tergelincir dari tanganku dan kulit terbakar. Juga aku tak dapat berdiri tegak dan pikiranku goncang. ...Untuk kepentingan mereka kita mengingini kerajaan, kenikmatan dan kepuasan, kini semua mereka itu pada berdiri di sini di dalam medan perang, mempertaruhkan jiwa dan kekayaannya. Guru, putra, paman dan mertua, cucu dan ipar dan keluarga lainnya. Aku tak ingin membunuh mereka, meskipun aku terbunuh olehnya."
Sanjaya berkata, "Jadi setelah berbicara di medan perang, Arjuna sambil membuang panah dan busurnya lalu terhenyak di atas tempat duduk kereta dengan pikiran yang susah dan sedih."