Harta kekayaan Gereja

Menurut keyakinan Katolik, harta kekayaan Gereja atau harta pusaka Gereja (bahasa Inggris: treasury of the Church) ataupun perbendaharaan jasa (bahasa Inggris: treasury of merit), terdiri dari jasa-jasa Yesus Kristus dan umat beriman yang setia kepada-Nya. Berkat persekutuan para kudus, harta kekayaan atau perbendaharaan ini juga menghasilkan manfaat bagi umat lainnya.[1] Menurut Westminster Dictionary of Theological Terms, keyakinan Katolik ini merupakan suatu cara mengungkapkan pandangan bahwa perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh Yesus dan orang-orang tertentu dapat bermanfaat bagi orang-orang lain, dan "teolog-teolog kontemporer Katolik Roma melihatnya sebagai suatu kiasan atas cara-cara bagaimana iman dari Kristus dan para kudus membantu orang-orang lain".[2]

Harta kekayaan Gereja

sunting

Katekismus Gereja Katolik menyatakan: "'[H]arta pusaka Gereja' merupakan nilai tanpa batas, yang tidak akan pernah habis, yang dimiliki oleh jasa-jasa Kristus. Jasa-jasa-Nya dipersembahkan kepada Allah supaya seluruh umat manusia dapat terbebas dari dosa dan mencapai persekutuan dengan Bapa. Pemenuhan-pemenuhan serta jasa-jasa dari karya penebusan-Nya didapati dan ditemukan daya gunanya di dalam Kristus, Sang Penebus itu sendiri. Harta pusaka ini meliputi juga doa-doa dan karya-karya baik dari Perawan Maria yang Terberkati. Nilai kesemuanya itu benar-benar luar biasa besar, tidak dapat terselami, dan bahkan senantiasa baru serta murni di hadirat Allah. Dalam harta pusaka ini pula tercakup doa-doa dan karya-karya baik semua orang kudus, semua orang yang telah mengikuti jejak Kristus Tuhan serta melalui rahmat-Nya telah membuat kehidupan mereka kudus dan menyelesaikan misi yang dipercayakan Bapa kepada mereka. Dengan demikian mereka mencapai keselamatan mereka sendiri dan pada saat bersamaan bekerja sama dalam penyelamatan saudara-saudara mereka di dalam kesatuan Tubuh Mistik." [3]

Harta kekayaan dalam Surga yang dapat dikumpulkan oleh setiap individu Kristen tidak sebanding artinya dengan yang telah dikumpulkan oleh Yesus sendiri, dan bagian dari jasa-jasa-Nya itu yang dimohon oleh Efrem orang Siria agar "hutang"-nya terhapuskan.[4]

Kolose 1:24-25 juga dipandang sebagai salah satu dasar bagi keyakinan ini: "Sekarang aku (Rasul Paulus) bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat. Aku telah menjadi pelayan jemaat itu sesuai dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku untuk meneruskan firman-Nya dengan sepenuhnya kepada kamu". Terkait hal itu, Michael J. Gorman menulis: "Sama seperti Paulus terus menerus mengingatkan para pembacanya bahwa Kristus (menderita dan) mati bagi mereka, ia sekarang mengingatkan mereka bahwa ia menderita bagi mereka, bagi tubuh Kristus. Perannya sebagai pelayan yang menderita digenapkan oleh pewartaan dan pelayanan pengajarannya (1:25) yang di dalamnya ia turut serta dalam penyataan sepenuhnya misteri Allah kepada mereka yang percaya firman-Nya ('orang-orang kudus' Allah), terutama di kalangan bangsa-bangsa selain Yahudi (1:26–27)."[5] Dalam Summa Theologica, Thomas Aquinas berpendapat bahwa orang-orang kudus (santo/santa) melakukan perbuatan-perbuatan baik mereka "untuk seluruh Gereja secara umum, bahkan ketika sang Rasul menyatakan bahwa ia menggenapkan 'apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu [Gereja]' kepada siapa ia menuliskannya. Jasa-jasa ini karenanya adalah milik umum dari Gereja semesta. Sekarang hal-hal itu, yang adalah milik umum dari suatu kelompok, disalurkan kepada berbagai individu berdasarkan penilaian dari dia yang memerintah mereka semua. Maka, sebagaimana satu orang akan memperoleh pengampunan atas hukumannya apabila orang yang lain menggenapkannya bagi dia, demikian pula halnya dengan ia apabila penggenapan-penggenapan orang lain diterapkan kepadanya oleh orang yang memiliki kuasa untuk melakukannya."[6]

Terdapat berbagai penafsiran terkait apa yang Paulus maksudkan dengan "... menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat. ..." Namun, terdapat kesepakatan bahwa hal itu tidak berarti bahwa tindakan penebusan Kristus adalah kurang atau tidak mencukupi dengan cara apapun.[7] Yohanes Krisostomus berkata, "Kebijaksanaan, kehendak, keadilan dari Yesus Kristus, mensyaratkan dan menetapkan bahwa tubuh-Nya beserta anggota-anggotanya harus menjadi rekan-rekan dalam penderitaan-penderitaan-Nya, sebagaimana mereka mengharapkan untuk menjadi rekan-rekan dalam kemuliaan-Nya. Sehingga melalui penderitaan bersama dengan Dia, dan dalam meneladani Dia, mereka dapat mengaplikasikan pada kekurangan mereka dan pada kebutuhan orang-orang lain jasa-jasa dan penggenapan Yesus Kristus, yang aplikasinya adalah apa yang kurang, serta apa yang diperkenankan untuk kita terima melalui sakramen-sakramen dan kurban dari Sang Hukum Baru."

Taylor Marshall mencatat rekomendasi dari Yesus agar setiap orang mengumpulkan harta dalam Surga:[8] "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya."[9]

Pengaku iman dan lapsi

sunting

Dalam Kekristenan awal, mereka yang telah melakukan dosa-dosa serius diberikan suatu penitensi atau silih dengan jangka waktu lama sebelum dipulihkan hubungannya dengan Gereja. Bagaimana menangani banyaknya umat yang murtad pada zaman penganiayaan oleh Kaisar Desius merupakan suatu masalah. Mereka dikenal sebagai lapsi (yang jatuh). Sebaliknya, umat yang mengakui imannya dalam Kristus dan menerima hukuman disebut sebagai "pengaku iman". Umat yang dihukum mati karena dakwaan itu disebut "martir", istilah yang berasal dari kata Yunani yang berarti "saksi", karena memberikan kesaksian hingga mengalami kematian jasmani. Penderitaan-penderitaan para martir dan pengaku iman dikenal sebagai daya atau kuasa untuk mengimbangi dosa yang dilakukan oleh lapsi.[10] Melalui pengurbanan mereka, perbuatan lapsi diubah untuk memperoleh rekonsiliasi dengan segera, "memanfaatkan demi keuntungan mereka jasa-jasa yang dikumpulkan oleh heroisme para pengaku iman".[11] Otoritas Gereja, terutama sejak abad ke-3 dan selanjutnya, memperbolehkan syafaat atau perantaraan para pengaku iman untuk mempersingkat waktu silih/penitensi yang akan dijalani oleh mereka yang mencari pengampunan.[12] Seorang imam ataupun diakon dapat mendamaikan atau memulihkan hubungan seorang lapsi dengan Gereja, jika ia berada dalam bahaya kematian, dengan dasar sebuah surat indulgensi martir,[13] tetapi pada umumnya mensyaratkan campur tangan otoritas gereja yang lebih tinggi, yaitu uskup.[10] "Para pemegang jabatan, bukan para individu karismatik, memiliki keputusan akhir terkait penerimaan ke dalam jemaah-jemaah Gereja."[13]

Remisi silih

sunting

Dalam kanon 2, 5, dan 16 yang dihasilkannya, Sinode Ancyra tahun 314 menetapkan kuasa para uskup untuk menganugerahkan indulgensi dengan mengurangi jangka waktu silih atau penitensi yang harus dilakukan, kepada lapsi yang dengan sungguh-sungguh menunjukkan pertobatannya.[14]

Konsili Epaone tahun 517 memperlihatkan kemunculan praktik menggantikan suatu penitensi kanonik lama yang lebih berat dengan suatu penitensi baru yang lebih ringan. Kanon 29 yang dihasilkannya mengurangkan menjadi dua tahun penitensi yang harus dijalani mereka yang murtad untuk kembali diterima dalam Gereja, tetapi mengharuskan mereka berpuasa sekali setiap tiga hari selama dua tahun tersebut, datang rutin ke gereja dan mengambil tempat mereka di pintu para peniten, serta meninggalkan gereja bersama para katekumen sebelum Liturgi Ekaristi dimulai. Siapa saja yang keberatan dengan pengaturan baru tersebut harus menjalani penitensi kuno yang jauh lebih lama.[15]

Kelak menjadi suatu kebiasaan mengenakan penitensi-penitensi dengan perbuatan-perbuatan yang tidak terlalu menuntut, misalnya doa, derma, puasa, dan bahkan pembayaran sejumlah uang tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan (penitensi tarif). Pada abad ke-10, beberapa penitensi tidak digantikan oleh penitensi lainnya tetapi sekadar dikurangi dalam kaitannya dengan ziarah dan sumbangan yang dilakukan dengan kesalehan serta karya-karya kebajikan yang serupa. Kemudian, pada abad ke-11 dan ke-12, pengakuan atas nilai dari perbuatan-perbuatan semacam itu mulai tidak begitu dikaitkan dengan penitensi kanonik tetapi dikaitkan dengan remisi hukuman temporal/sementara karena dosa, membuka jalan bagi dikenalnya indulgensi dalam arti sempit istilahnya selain dari penitensi sakramental tersebut.[16] Kendati tetap diperbincangkan dalam hal remisi atau pengurangan sejumlah hari ataupun tahun penitensi kanonik, indulgensi sekarang diekspresikan sebagai penganugerahan kepada seseorang yang melakukan suatu tindakan kesalehan, "selain remisi hukuman temporal yang didapatkan karena tindakan itu sendiri, suatu remisi yang setara atas hukuman melalui campur tangan Gereja".[17] Sebagai dasar untuk remisi hukuman temporal (bukan hukuman kekal) yang disebabkan oleh dosa ini, para teolog mengacu pada belas kasihan Allah dan doa-doa Gereja. Beberapa pihak melihat dasarnya dalam perbuatan-perbuatan baik para anggota Gereja yang masih hidup di dunia ini, sebagaimana yang diperbuat oleh para martir dan pengaku iman yang diperhitungkan sebagai manfaat bagi mereka yang murtad (lapsi). Pandangan yang berlaku pada akhirnya adalah pandangan akan harta kekayaan Gereja, yang dikemukakan pertama kali sekitar tahun 1230.[16][18]

Pandangan Protestan

sunting

Menurut doktrin imputasi kebenaran yang dikemukakan oleh Philip Melanchthon, harta kekayaan ini dikarenakan oleh jasa Kristus yang berasal dari luar diri seseorang ("alien") sehingga seorang yang beriman dibenarkan oleh Allah.[19]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ (Inggris) John Hardon, Modern Catholic Dictionary Diarsipkan 2022-10-14 di Wayback Machine.
  2. ^ (Inggris) Donald K. McKim, Westminster Dictionary of Theological Terms (Westminister John Knox Press 1996 ISBN 978-0-664-25511-4), p. 287
  3. ^ (Inggris) "Paragraphs 1476–1477", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  4. ^ (Inggris) Gary A. Anderson, "Redeem Your Sins by the Giving of Alms" in Letter & Spirit 3 (2007), p. 41 Diarsipkan December 24, 2012, di Wayback Machine.
  5. ^ (Inggris) Michael J. Gorman, Apostle of the Crucified Lord: A Theological Introduction to Paul and His Letters (Eerdmans 2004 ISBN 978-0-8028-3934-3), p. 474
  6. ^ (Inggris) Summa Theologica, "Supplementum Tertiae Partis, Q. 25, Article 1 Diarsipkan 2023-07-20 di Wayback Machine."
  7. ^ (Inggris) Colossians, Chap.1, n.14, NAB Diarsipkan 2023-06-02 di Wayback Machine.
  8. ^ (Inggris) Taylor Marshall, "Indulgences and the Treasure of Merit" Diarsipkan 2023-08-13 di Wayback Machine.
  9. ^ Matius 6:19-20
  10. ^ a b (Inggris) Marcel Metzger, History of the Liturgy (Liturgical Press 1997 Diarsipkan 2023-08-16 di Wayback Machine. ISBN 978-0-8146-2433-3), p. 57
  11. ^ (Inggris) Pierre de Labriolle, The History and Literature of Christianity (Routledged 2013 Diarsipkan 2023-08-16 di Wayback Machine. ISBN 978-1-136-20205-6), p. 149
  12. ^ (Inggris) Frank Leslie Cross, Elizabeth Livingstone (editors), The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press 2005 Diarsipkan 2023-08-16 di Wayback Machine. ISBN 978-0-19-280290-3), entry "Indulgences"
  13. ^ a b (Inggris) James Dallen, The Reconciling Community (Liturgical Press 1986 Diarsipkan 2023-08-16 di Wayback Machine. ISBN 978-0-8146-6076-8), pp. 38–39
  14. ^ (Inggris) Documents of the Council of Ancyra, A.D. 314 Diarsipkan 2023-05-11 di Wayback Machine.
  15. ^ (Prancis) Charles Louis Richard, Jean Joseph Giraud (editors), Bibliothèque sacrée (Méquignon, 1823)
  16. ^ a b (Inggris) Enrico dal Covolo, "The Historical Origin of Indulgences" Diarsipkan 2022-12-05 di Wayback Machine.
  17. ^ (Inggris) Pope Paul VI, Apostolic Constitution on Indulgences Diarsipkan 2018-10-04 di Wayback Machine., norm 5
  18. ^ (Inggris) Catechism of the Catholic Church, 1471-1479 Diarsipkan 2013-03-06 di Wayback Machine.
  19. ^ (Inggris) Alister E. McGrath, Iustitia Dei (Cambridge University Press 1998 ISBN 978-0-521-62481-7), p. 212