Hikayat Siak adalah sebuah karya Sastra Melayu berbentuk hikayat yang asal usul dan perkembangan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Manuskripnya, berjumlah empat buah, ditulis paling awal sekitar pertengahan abad ke-19 oleh keturunan Siak yang berada di Kalimantan.[1] Hikayat Siak dianggap merupakan karya yang mengungkap perubahan identitas masyarakat yang hidup di pesisir timur Sumatera.[2][3]

Keberadaan

sunting

Dengan melihat akhir tarikh narasi, Hikayat Siak setidaknya ditulis pada tahun 1850-an oleh Tengku Said, seorang keturunan Raja Akil (raja Sukadana, sekaligus anak Sultan Alamuddin Syah).[1] Satu salinannya sampai ke tangan von de Wall (W.191) bertanggal 23 Safar 1271 (5 November 1857).[3] Bersama koleksi-koleksinya yang lain, naskah ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dua salinan naskah yang lain berada di Leiden dalam tulisan Arab Melayu; satu naskah (Cod. Or. 6342) diduga diketik oleh Winstedt berdasarkan naskah W.191, sedangkan naskah satu lagi (Cod. Or. 7304) ditulis tangan dengan tarikh 24 Juni 1893 di Batavia. Salinan naskah Cod. Or. 6342 berada di Royal Asiatic Society of London (Mal. 138).[3] Salinan tersebut pada dasarnya sama, dengan sedikit ejaan yang berbeda.[1]

Kandungan Isi

sunting

Hikayat Siak dapat dibagi menjadi dua bagian.[3][4] Bagian pertama memuat narasi ulang Sejarah Melayu. Karena hal ini, Hikayat Siak dianggap juga sebagai versi tambahan[5] dan perpanjangan yang diperbarui[6] dari Sejarah Melayu. Versi kedua yang lebih panjang merupakan porsi sejarah Siak. Bagian ini dapat pula dibagi dua: Raja Kecil dan kehidupannya, dan pemerintahan keturunan-keturunannya. Hikayat Siak diakhiri dengan naiknya Tengku Anum (putra Tengku Akil) sebagai Panembahan Anum Sukadana.[3]

Analisis

sunting

Hikayat Siak ditulis dari narasi lisan orang Siak–atau setidaknya keturunan sultan Siak di Sukadana–yang lestari di kalangan masyarakat tersebut.[3]

Hikayat Siak sering disandingkan dan dibandingkan dengan Tuhfat al-Nafis, karena selain memberikan sejarah Johor dan orang Bugis di dalamnya, tulisan tersebut juga memberi porsi yang besar untuk sejarah Siak. Tuhfat al-Nafis dalam hal ini dianggap sangat membela Bugis serta menjelek-jelekkan pihak Siak dan Minangkabau yang telah merebut kekuasaan Johor dan berperang dengan orang Bugis.[3] Hikayat Siak, di sisi lain, membela tokoh Raja Kecil sebagai pewaris Sultan Mahmud Syah II sebagai raja Johor. Roolvink menambahkan pula sifat Hikayat Siak sebagai "naskah suntingan berkaitan sejarah Melayu dari sudut pandang Siak".[6]

Leonard Andaya melihat Hikayat Siak sebagai gambaran proses etnisiasi rumpun Melayu, dalam hal ini Minangkabau, yang memberi perbedaan corak yang jelas antara etnis tersebut dengan Melayu pada umumnya.[2] Hikayat tersebut menandakan mulai terpisahnya Minangkabau dan Melayu sebagai etnis berbeda, yang ditandai dengan beberapa karakteristik khas. Meskipun ditegaskan sebagai keturunan raja Melayu, Raja Kecil dibesarkan dalam keluarga kerajaan Pagaruyung, diasuh langsung oleh Puti Jamilan yang merupakan tokoh penting istana. Keberpihakan Tuhfat al-Nafis dan Hikayat Siak memperlihatkan fenomena tersebut. Hikayat Siak, menurutnya, "menyediakan keseimbangan yang baik terhadap kecondongan Bugis di Tuhfat al-Nafis.[7] Narasi legendaris Hikayat Siak juga menggambarkan tema sastra bernuansa politik di Nusantara. Pada kisah hamilnya Encik Apong, Barnard menyebut bahwa mitos air mani–yakni ikatan genealogi–merupakan hal penting yang mengukuhkan legitimasi kekuasaan di Asia Tenggara, sebagaimana juga cerita Pangeran Puger.[1]

Hal yang juga mencolok pada Hikayat Siak adalah narasi Tengku Akil, keturunan dari Tengku Buwang Asmara. Tengku Akil dituliskan berperan dengan porsi lebih besar dan teliti. Oleh sebab itu, hikayat ini disebut oleh Roolvink sebagai Hikayat Raja Akil.[6]

Rujukan

sunting
  1. ^ a b c d Barnard, Timothy. Multiple centres of authority; Society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827'. Leiden: KITLV Press, 2003.
  2. ^ a b Andaya, Leonard Y. (2019). Selat Malaka: sejarah perdagangan dan etnisitas. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 978-623-7357-04-9. 
  3. ^ a b c d e f g Hashim, Muhammad Yusoff (1988). "Di Antara Fakta dan Mitos: Tradisi Pensejarahan di Dalam Hikayat Siak atau Sejarah Raja-Raja Melayu". Sejarah: Journal of the Department of History. 1 (1): 63–116. doi:10.22452/sejarah.vol1no1.3. ISSN 2756-8253. 
  4. ^ Barnard, Timothy P. (2001). "Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 331–342. ISSN 0022-4634. 
  5. ^ Winstedt, Richard (1958). "A History of Classical Malay Literature". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 31 (3 (183)): 3–259. ISSN 2304-7550. 
  6. ^ a b c Roolvink, R. (1967-01-01). "The variant versions of the Malay Annals". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). 123 (3): 301–324. doi:10.1163/22134379-90002896. ISSN 0006-2294. 
  7. ^ Andaya, Leonard Y. (1975). The Kingdom of Johor: 1641-1728 (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-580262-7. 

Pranala luar

sunting