Kerajaan Moro
Kerajaan Moro adalah salah satu kerajaan di Maluku yang berdiri pada abad ke-13.[1] Wilayah kekuasaannya meliputi pantai timur Pulau Halmahera bagian utara dengan pusat pemerintahan berada di Mamuya, Kecamatan Galela.[2] Kerajaan Moro merupakan salah satu penghasil pangan berupa beras, ikan, sagu dan daging.[3] Kerajaan ini berakhir setelah ditaklukkan oleh Kesultanan Ternate.[4]
Wilayah kekuasaan
suntingKerajaan Moro menjadi salah satu kerajaan yang berkuasa di Pulau Halmahera bagian utara sejak abad ke-14. Kerajaan ini membentuk aliansi dengan Kerajaan Loloda dan berbagi wilayah kekuasaan.[5] Wilayah Kerajaan Moro meliputi sekeliling pantai timur Pulau Halmahera bagian utara. Batas utara wilayahnya adalah Tanjung Biso, sedangkan batas selatannya adalah Tobelo. Wilayah daratnya disebut Morotia sedangkan wilayah lautnya disebut Morotai. Pusat pemerintahan dari Kerajaan Moro berada di Mamuya, Kecamatan Galela.[2]
Pada masa kekuasaan Portugis di Maluku, Kerajaan Moro diperintah oleh raja bernama Tioliza. Wilayah-wilayah penting dari Kerajaan Moro meliputi Sugala, Pune, Tolo, Cawa, Samafo, Sakita, Mira, Cio, dan Rao.[6] Secara keseluruhan, wilayah kekuasaan Kerajaan Moro meliputi Kecamatan Kao, Kecamatan Tobelo dan Kecamatan Galela.[7]
Kehidupan masyarakat
suntingKerajaan Moro adalah kerajaan yang berkuasa secara tradisional.[8] Penduduknya berasal dari suku Tobelo dan suku Galela.[9] Kerajaan Moro tidak memiliki pengaruh yang besar di Maluku. Keberadaannya tidak diperhitungkan dalam Persekutuan Moti yang disepakati oleh empat kesultanan Maluku atau Moloku Kie Raha.[10]
Kerajaan Moro merupakan salah satu penghasil pangan terbesar di Maluku. Bahan makanan yang dihasilkan berupa beras, ikan, sagu dan daging.[3] Penduduk Kerajaan Moro menggunakan batu lumpang sebagai alat pengupas kulit padi atau penumbuk umbi. Setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Kesultanan Ternate, hasil pangannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Ternate.[4]
Keagamaan
suntingPada awalnya, Kerajaan Moro menganut paham animisme dan dinamisme. Saat masa pemerintahan Tioliza, Kerajaan Moro menjadikan agama Katolik sebagai agama resmi. Pada tahun 1535, telah dibangun dua gereja yang berlokasi di Mamuya dan Tolo. Pembangunan ini dilakukan untuk tujuan penginjilan ke wilayah Kerajaan Moro.[11]
Referensi
sunting- ^ Rahman 2016, hlm. 228.
- ^ a b Surbakti 2015, hlm. 6.
- ^ a b Handoko 2017, hlm. 106.
- ^ a b Surbakti 2015, hlm. 9.
- ^ Surbakti 2015, hlm. 2.
- ^ Handoko 2017, hlm. 105.
- ^ Handoko 2017, hlm. 98.
- ^ Mansur, Sofianto, dan Mahzuni 2013, hlm. 65.
- ^ Handoko 2017, hlm. 105–106.
- ^ Junaidi 2009, hlm. 231.
- ^ Alputila 2014, hlm. 5.
Daftar pustaka
sunting- Alputila, C. E. (2014). "Pasang Surut Penyebaran Agama Katolik di Maluku Utara pada Abad 16-17". Kapata Arkeologi. 10 (1): 1–12. doi:10.24832/kapata.v10i1.213. ISSN 1858-4101.
- Handoko, Wuri (2017). "Ekspansi Kekuasaan Islam Kesultanan Ternate di Pesisir Timur Halmahera Utara". Kapata Arekologi. 13 (1): 95–108. doi:10.24832/kapata.v13i1.396. ISSN 2503-0876.
- Junaidi, Muhammad (2009). "Sejarah Konflik dan Perdamaian di Maluku Utara (Refleksi Terhadap Sejarah Moloku Kie Raha)". Academica. 1 (2): 222–247. ISSN 1411-3341.
- Mansur, M., Sofianto K., dan Mahzuni D. (2013). "Otoritas dan Legitimasi Kedudukan Pemimpin Tradisional di Loloda Maluku-Utara (1808-1958)". Sosiohumaniora. 15 (1): 64–72. doi:10.24198/sosiohumaniora.v15i1.5240. ISSN 1411-0911.
- Surbakti, Karyamantha (2015). "Tinggalan Batu Lumpang di Desa Ruko, Kecamatan Tobelo: Tinjauan atas Konteks Sejarah dan Sosial Budaya Kerajaan-Kerajaan Lokal di Halmahera Utara". Kapata Arkeologi. 11 (1): 1–10. doi:10.24832/kapata.v11i1.277. ISSN 2503-0876.
Buletin
sunting- Rahman, Abd. (2016). "Identitas Historis Orang Loloda di Pesisir Halmahera hingga Pasca Era Reformasi Indonesia 1999-2010". Al-Turas. 12 (2): 223–237. doi:10.15408/bat.v22i2.4043. ISSN 2579-5848.