Onryō (怨霊) atau hantu penasaran, adalah makhluk gaib dalam cerita rakyat Jepang yang memiliki kemampuan untuk muncul di alam hayat/dunia manusia untuk membalas dendam.[1] Dalam legenda dan cerita rakyat, kebanyakan onryō merupakan arwah wanita, tetapi onryō pria juga pernah disebutkan, khususnya dalam pementasan kabuki.

Lukisan Onryō karya Hokusai, seniman jepang zaman Edo.

Menurut legenda, onryō merupakan perwujudan arwah manusia yang saat masih hidup dilanda masalah dan berujung pada kematian mereka. Masalahnya meliputi persaingan, politik, atau penderitaan karena perubahan tingkah kekasih mereka. Setelah meninggal, arwah mereka menjadi hantu penasaran. Dunia arwah menurut kepercayaan Jepang terdiri dari tiga lapisan: surga (高天原, Takama ga hara), alam hayat atau alam kehidupan (葦原の中つ国, Ashihara no nakatsukuni), dan alam maut atau alam kematian (黄泉の国, Yomi no kumi). Tidak peduli siapa pun orangnya, setelah meninggal maka arwahnya akan pergi ke Yomi, bahkan bagi para Kami (dewa) sekalipun. Meskipun menurut mitologi Jepang jiwa yang sudah berada di alam maut tak dapat kembali lagi ke alam hayat, tetapi jiwa yang kuat dapat mempengaruhi alam hayat entah berdasarkan niat yang baik maupun buruk. Dalam Kojiki (711-2) (kitab tertua tentang sejarah Jepang yang dimulai dari mitos penciptaannya) diceritakan bahwa ketika dewi Izanami wafat, dia mampu memberi kutukan dari Yomi ke alam hayat. Dalam arti yang sama, onryō mengacu pada arwah—khususnya manusia—yang berubah karena emosi luar biasa untuk melakukan kejahatan tersebut.

Asal mula

sunting

Asal mula onryō tidak pasti, tetapi dapat ditelusuri sampai abad ke-8 M tentang gagasan bahwa jiwa yang marah dan penuh dendam dapat memberi pengaruh pada dunia manusia. Kultus mengenai onryō yang paling awal terbentuk adalah tentang Pangeran Nagaya yang meninggal pada tahun 729.[1] Catatan paling awal mengenai keberadaan onryō dapat ditemukan dalam buku sejarah Shoku Nihongi. Buku tersebut menjelaskan bahwa seorang pejabat tinggi, Fujiwara no Hirotsugu (藤原広嗣, wafat tahun 740), kehilangan kekuasaan dan dikalahkan dalam pemberontakannya yang gagal melawan Genbō. Kemudian disebutkan pula bahwa setelah kematiannya, arwahnya mencelakai Genbō hingga meninggal.[2]

Diyakini onryō digerakkan oleh keinginan untuk membalas dendam, seperti contohnya Hirotsugu melawan Genbō. Perwujudan pembalasan dendam mereka dipercaya berbeda-beda mulai dari kesialan yang menimpa musuhnya sampai bencana alam: gempa bumi, kebakaran, badai, wabah, dan kelaparan.[3]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ a b The Cambridge history of Japan. John Whitney Hall, 耕造. 山村. Cambridge, UK: Cambridge University Press. 1988–1999. ISBN 0-521-22352-0. OCLC 17483588. 
  2. ^ Titsingh, Isaac. (1834). Annales des empereurs du japon, p. 72., hlm. 72, pada Google Books; Herman Ooms. (2009).Imperial Politics and Symbolics in Ancient Japan: the Tenmu Dynasty, 650-800, p. 219., hlm. 219, pada Google Books
  3. ^ Iwasaka, Michiko (1994). Ghosts and the Japanese : cultural experience in Japanese death legends. Barre Toelken. Logan, Utah: Utah State University Press. ISBN 978-0-87421-379-9. OCLC 706077300. 

Pranala luar

sunting