Pabrik Gula Jenar atau Suikerfabriek Poerworedjo (Pabrik Gula Purworejo) adalah pabrik gula yang dahulu beroperasi di Desa Plandi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Pabrik gula ini didirikan pada 3 Agustus 1909 oleh Naamlooze Vennootschap (N.V.) Suikeronderneming Poerworedjo, yaitu sebuah perusahaan terbatas (PT) yang dibentuk di Amsterdam pada 1908 oleh dua orang pengusaha bernama Van Musschrenboek dan Van der Wijk, dengan menghabiskan dana sebesar 5 juta gulden. Pendirian pabrik gula tersebut sesuai dengan instruksi dari Residen Kedu dalam Surat No. 5432, tertanggal 26 Maret 1909. Surat tersebut berisi ketentuan pendirian Perusahaan Gula Purworejo dengan wilayah penanaman tebu meliputi Distrik Purworejo, Purwodadi, Cangkrep, Loano, dan Kutoarjo. Pabrik ini dalam perkembangannya lebih dikenal dengan nama Pabrik Gula Jenar, lantaran letaknya berada di dekat Distrik Jenar. Pabrik Gula Jenar ditutup pada 1933 dikarenakan adanya Krisis Malaise pada 1930-an.

Pabrik Gula Jenar ketika masih beroperasi.

Riwayat awal

sunting

Pembangunan Pabrik Gula Jenar didasari karena sebagian besar karesidenan di Jawa Tengah adalah daerah penghasil gula, tak terkecuali Karesidenan Bagelen. Atas dasar pertimbangan tersebut, dibangunlah Pabrik Gula Jenar pada 3 Agustus 1909 di Desa Plandi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.[1]

Rencana pembangunan pabrik gula di Purworejo telah ada sejak akhir abad ke-19. Van Benthem van den Bergh sebagai Residen Bagelen melalui Lembaran Negara Tahun 1899 No. 263 memerintahkan penanaman bibit tebu serta pendirian pabrik gula. Izin telah diminta untuk pendirian pabrik gula di sebidang tanah yang berlokasi di Distrik Jenar (Bataviaasche Nieuwsblad, 1899:55). Peletakan batu pertama dilakukan pada 1 Agustus 1909 (Bataviaasche Nieuwsblad, Suikerfabriek Poerworedjo, 1910:31). Gedung pabrik tersebut memiliki panjang 250 meter dan 2/3 bangunan sudah terpasang dengan boiler/ketel sebanyak tujuh buah serta berbagai instalasi lainnya. Boiler/ketel uap merupakan sebuah bejana yang dibuat untuk mengubah air menjadi uap dengan kapasitas dan tekanan tertentu. Dalam produksi gula, boiler digunakan untuk mengubah air tebu menjadi kristal-kristal gula.

Selama hampir seperempat abad berdiri, Pabrik Gula Jenar mengalami perkembangan yang pesat, terutama memasuki tahun 1920-an. Peningkatan produksi gula dari tahun ke tahun diimbangi dengan peningkatan luas area perkebunan yang mencapai 4.700 bau. Namun awal tahun 1930-an, Pabrik Gula Jenar mengalami masa sulit akibat adanya krisis malaise (Siswoyo, dkk, 2017:4-5). Hal ini menyebabkan Pabrik Gula Jenar mengalami kebangkrutan dan akhirnya tutup pada tahun 1933. Sepeninggal Pabrik Gula Jenar, bangunan pabrik dibongkar dan sebagian besar dibeli oleh seorang Belanda bernama Johannes Cornelis Suzenaar, sedangkan tanah bekas perumahan pegawai dibeli Van Mook untuk dijadikan lahan peternakan sapi (Ginaris, 2018:160-161).

Produksi

sunting

Produksi gula di Pabrik Gula Jenar diawali dari penyiapan lahan, penanaman, pemanenan, pemasakan, dan pemeliharaan yang bergantung pada jumlah tenaga kerja (Suhartono, 1991:112). Adapun sistem penanaman tebu yang dilakukan di wilayah Purworejo disebut dengan sistem reynoso. Sistem reynoso adalah sistem pengaturan tata air agar tebu di perkebunan mendapatkan air yang cukup. Sistem ini digunakan untuk menurunkan muka air tanah. Sistem tersebut memungkinkan dalam pemasukan air melalui irigasi ketika musim kemarau dan pembuangan air berlebihan ketika musim penghujan.

Penyiapan lahan tebu dilakukan sejak Bulan Maret. Pada lahan kebun lantas dibuat parit-parit untuk saluran pengairan dan lubang tanaman (juring). Lubang tanaman dibuat dengan ukuran 32-35 cm dan kedalaman 27-30 cm. Tanah hasil galian itu diletakan di sebelah kanan dan kiri lubang tanaman dengan membentuk gundukan tanah. Setelah mengalami pengeringan selama tiga minggu, sebagian tanah gundukan dimasukan ke dasar lubang tanaman sebagai kasuran tanam, sehingga kedalaman lubang tanaman tinggal 15-20 cm. Pada kasuran tersebut bibit tebu ditanam. Setelah memasuki usia 10-12 bulan, tebu siap untuk dipanen dan diproses menjadi gula.

Produksi Pabrik Gula Jenar dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun pertama produksi, gula yang dihasilkan sebanyak 108.566 pikul. Produksi terus mengalami peningkatan hingga tahun 1912, yaitu sebesar 298.908 pikul. Pada tahun berikutnya, produksi gula mengalami penurunan menjadi 290.033 pikul.

Memasuki akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an, Pabrik Gula Jenar mengalami penurunan produksi akibat adanya krisis malaise. Krisis tersebut menyebabkan harga komoditas tebu menurun dan permintaan gula juga berkurang, sehingga berdampak pada menurunnya produksi gula. Selain itu, hal ini juga berdampak pada pengurangan lahan perkebunan tebu untuk menguatkan kembali harga komoditas gula serta sektor tenaga kerja karena sebagian besar buruh mengalami pemecatan akibat adanya pengurangan produksi.

Beberapa pabrik gula di Jawa juga mengalami nasib serupa, bahkan hingga sampai tahap kebangkrutan (Siswoyo, dkk, 2017: 4-5). Sementara itu, aktivitas produksi Pabrik Gula Jenar terus mengalami penurunan. Penurunan produksi terus dialami hingga tahun 1931. Setahun berikutnya, tahun 1932, Pabrik Gula Jenar tidak lagi memproduksi gula dan akhirnya berhenti beroperasi tahun 1933 (Algemeene Handelsblad, 1932: 2).

Infrastruktur Pabrik Gula Jenar

sunting

Kompleks Pabrik Gula Jenar terdiri atas bangunan pabrik, rel lori, lokomotif, stasiun tenaga listrik, bengkel depo lokomotif, gudang, dan bangunan tempat tinggal para buruh yang disebut dengan barak. Selain itu, ada sebuah klinik dengan seorang juru rawat yang dibangun oleh zending. Masih dalam lingkup pabrik, terdapat rumah pegawai administrasi, petinggi pabrik, serta pegawai Eropa yang pada malam-malam tertentu selalu diramaikan dengan pasar malam (Kartodirjo, 1977: CXXIV).

Emplasemen (tanah terbuka) pada kompleks Pabrik Gula Jenar didirikan di lahan persawahan yang terletak di antara jalur kereta Purworejo-Kutoarjo dan jalan raya Purworejo-Yogyakarta. Dengan luas lahan + 4.700 bau, Pabrik Gula Jenar menjadi salah satu pabrik gula terbesar di Jawa Tengah. Ketika musim giling tiba, tenaga kerja yang dikerahkan lebih dari 1.000 orang. Tebu diperoleh dari perkebunan tebu yang tanahnya disewa dari penduduk lokal. Untuk mempermudah pengangkutan tebu, Pabrik Gula Jenar memiliki jaringan kereta lori sepanjang 184 kilometer, lokomotif sebanyak 17 buah, serta gerbong pengangkut tebu sebanyak 1.216 buah (Knight, 2013: 110-111).

Emplasemen Pabrik Gula Jenar dikelompokan menjadi dua, yaitu emplasemen pabrik dan emplasemen pegawai. Emplasemen pabrik mencakup bangunan-bangunan pengolahan tebu yang di dalamnya terdapat mesin-mesin pengolah, gudang, lori dan lokomotif. Adapun emplasemen pegawai mencakup perumahan pegawai, kantor administrasi, rumah pegawai administrasi, dan taman (Knight, 2013: 112).

Bangunan Pabrik Gula Jenar dari arah Yogyakarta terlihat menjulang tinggi dan besar seperti halnya bangunan-bangunan Belanda lainnya. Pabrik ini dilengkapi dengan lori dan lokomotif untuk mempermudah pengangkutan tebu hasil panen ke pabrik penggilingan. Selanjutnya, di dalam pabrik tersebut juga terdapat rumah pegawai administrasi yang berada di wilayah emplasemen pegawai. Rumah ini berfungsi sebagai pengawas sekaligus pengontrol kendali pabrik (Bataviaasche Nieuwsblad, 1912: 2-4).

Taman pada Pabrik Gula Jenar berada di sebelah barat rumah pegawai administrasi, sedangkan perumahan untuk pegawai atau buruh yang berjumlah 88 rumah berada di sebelah utara rumah pegawai administrasi yang dipisahkan oleh jalan. Sementara itu, di sisi selatan rumah pegawai administrasi terdapat lapangan tenis, kantor administrasi, serta societeit (tempat hiburan). Orang-orang Eropa dapat mencari hiburan di societeit, seperti minum-minuman keras, berdansa, bermain bilyar, bermain kartu, dan sebagainya. Bangunan yang berada di sebelah selatan rumah pegawai administrasi adalah perumahan untuk pegawai-pegawai Eropa yang berjumlah 40 rumah (Ginaris, 2018: 167-168). Tempat-tempat seperti taman, lapangan tenis, dan societeit sengaja dibuat terpisah dengan kompleks perumahan pribumi agar hanya dapat dinikmati oleh orang-orang Eropa saja. Pemisahan antara letak rumah pegawai Eropa dengan pribumi juga dimaksudkan untuk membatasi interaksi antara keduanya karena orang-orang pribumi dipandang rendah oleh orang-orang Eropa (Inagurasi, 2010: 114).

Pada kompleks Pabrik Gula Jenar dibangun pula saluran irigasi sebagai pengairan tanaman tebu, sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Selain dari segi kuantitas, pengairan yang tercukupi menghasilkan tebu dengan kadar gula lebih tinggi dan kualitas yang lebih baik. Sistem pengairan lahan perkebunan di Purworejo disalurkan melalui sungai-sungai. Adapun pembangunan irigasi dimulai sejak diterapkannya Sistem Tanam Paksa. Pada waktu itu, saluran irigasi digunakan untuk mengairi tanaman indigo sebagai komoditas ekspor utama sebelum gula. Pada 1840, dibangun Saluran Induk Boro untuk mengalirkan air dari Sungai Bogowonto menuju Distrik Jenar.

Dalam pelaksanaanya, gubernemen tidak menyediakan dana, tetapi seluruh biaya dan pelaksanaannya diserahkan kepada bupati dan aparatnya. Penduduk dikenakan kerja wajib, terutama bagi penduduk yang lahannya mendapatkan pengairan dari pembangunan saluran tersebut (Penadi, 2000:93). Perkebunan tebu di wilayah Purworejo telah mendorong meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana yang penting bagi proses kelangsungan industri. Pembangunan sarana pendukung tersebut di antaranya adalah pembuatan dan perbaikan jalan raya, baik di kota-kota kabupaten maupun dari kota kabupaten ke distrik-distrik serta desa-desa di pedalaman. Pembangunan dan perbaikan jalan raya dilakukan oleh pemerintah kabupaten karena para bupati memiliki kepentingan dalam hal komunikasi dengan pemerintah pusat. Selain itu, perkembangan sarana dan prasarana mempermudah pengangkutan hasil bumi (Fetiana, 2013:58).

Salah satu transportasi yang digunakan oleh Pabrik Gula Jenar dalam mengangkut hasil tebu adalah trem lori. Pembangunan rel untuk trem lori dilakukan oleh Pabrik Gula Jenar dengan biaya sendiri, sama halnya seperti biaya pelebaran jalan yang juga ditanggung sendiri oleh pihak pabrik. Ketentuan ini juga berlaku bagi jalan yang dilalui trem troli, yang penggunaannya hanya bersifat sementara, yaitu hanya dipasang saat musim panen tiba. Ketentuan ini diatur dalam Surat Residen Kedu No. 299 tanggal 28 Desember 1929. Penggunaan trem lori sangat efektif dan efisien. Hal ini disebabkan karena tebu yang baru dipanen dapat sampai lebih cepat ke tempat penggilingan. Untuk menghasilkan kadar gula yang baik, tebu yang baru dipanen harus segera digiling dan diproses menjadi gula.

Upah dan Tenaga Kerja

sunting

Pabrik Gula Jenar dalam menjalankan produksinya, dikelola oleh seorang administrateur (manajer) yang dibantu oleh staf pegawai berjumlah 37 orang (Knight, 2013:111). Staf pegawai terdiri dari orang-orang Eropa yang memiliki keahlian dan menduduki jabatan pimpinan di dalam pabrik, yaitu kepala administrasi, kepala keuangan, insinyur ahli mesin dan lokomotif, serta ahli kimia (kepala laboratorium) yang masing-masing membawahi para pekerja pribumi (Sulistyo, 1995:27). Sementara itu, pembagian tenaga kerja perkebunan dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu manajer menempati golongan teratas dan sebagai pucuk pimpinan pabrik, pegawai staf berada di bawah manajer, mandor yang biasanya dijabat oleh seorang pribumi yang mengepalai para buruh, serta buruh perkebunan yang berada di lapisan terbawah (Mubyarto, dkk, 1992:8-10).

Pada musim tanam dan musim panen tahun 1919, Pabrik Gula Jenar mempekerjakan sebanyak 9.000 orang buruh (ANRI, 1910:303). Selanjutnya, pada 1929, Pabrik Gula Jenar memiliki 15.950 orang buruh yang bekerja selama masa tanam dan panen, sedangkan pekerja tetap yang aktif bekerja setiap harinya berjumlah 380 orang (Kartodirdjo, 1977:180). Ketika musim tanam dan musim giling tiba, Pabrik Gula Jenar mendatangkan tenaga kerja dari Wates (Yogyakarta) dan Kebumen dikarenakan tenaga kerja di Purworejo banyak bermigrasi ke luar Jawa (Lampung) (Bataviaasche Nieuwsblad, 1931:2-4).

Upah terendah pekerja harian laki-laki yang bekerja sebagai buruh di Pabrik Gula Jenar sebesar 40 sen atau 0,4 gulden. Upah ini lebih rendah dibandingkan dengan upah pekerja laki-laki di perkebunan Sumatra, yaitu sebesar 0,6 gulden sampai 1 gulden. Upah tersebut disesuaikan dengan jenis kelamin. Upah untuk pekerja laki-laki umumnya lebih besar dibandingkan dengan pekerja perempuan. Pada 1921 misalnya, upah pekerja laki-laki mencapai 57 sen, sedangkan upah pekerja perempuan dan anak-anak masing-masing sebesar 47 sen dan 38 sen (Kartodirdjo, 1977: CXLV).

Selain disesuaikan dengan jumlah kelamin, upah yang diberikan oleh pabrik gula juga disesuaikan dengan keadaan harga-harga kebutuhan bahan pangan. Ketika harga bahan pangan naik, upah buruh juga ikut naik. Sebaliknya, ketika harga bahan pangan turun, upah buruh juga ikut turun. Hal ini dapat dilihat pada 1922, yaitu ketika harga bahan pangan turun, upah buruh juga mengalami penurunan. Hal serupa juga terjadi ketika terjadi krisis malaise pada 1929-1933. Selain produksi gula menurun, upah para pekerja pabrik maupun perkebunan tebu juga mengalami penurunan. Upah para buruh di kebun sebelum depresi setiap harinya mencapai 40-50 sen, tetapi setelah periode depresi hanya sebesar 10-14 sen. Adapun upah para buruh harian di pabrik sebelum depresi sebesar 25-35 sen, tetapi berkurang menjadi 10 sen ketika masa depresi (Djojohadikusumo, 1989: 34-35).

Pengaruh

sunting

Hadirnya pabrik gula tentunya harus diimbangi dengan jumlah tenaga kerja atau buruh yang tidak sedikit jumlahnya. Tenaga kerja yang jumlahnya banyak dibutuhkan, terutama pada saat musim panen yang bisa melonjak dari hari-hari biasa. Buruh tidak hanya dibutuhkan saat panen tebu, tetapi juga pada saat pengangkutan dan pengolahan tebu di pabrik. Dibukanya Pabrik Gula Jenar pada 1909 mendorong munculnya golongan sosial baru di Bagelen, yaitu kuli (Kano, dkk, 1996: 179).

Golongan kuli menduduki strata sosial terendah di Bagelen. Golongan kuli ini terdiri atas penduduk pribumi, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak. Penduduk yang bekerja sebagai buruh di pabrik maupun perkebunan tebu biasanya tidak memiliki tanah garapan, sehingga mereka harus menggantungkan hidupnya pada industri gula. Penduduk pribumi yang memiliki tanah garapan sebagian juga bekerja sebagai buruh ketika musim panen tiba, sedangkan pada hari-hari biasa mereka bekerja sebagai petani padi. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menambah penghasilan (Kano, dkk, 1996: 179-180).

Industri gula memunculkan perputaran sistem ekonomi uang tidak hanya di perkotaan dan pedesaan. Ekonomi uang telah meresap dalam kehidupan penduduk desa, masuk ke dalam semua kegiatan masyarakat, sehingga uang menjadi sesuatu yang sangat bernilai (Suhartono, 1991: 134). Monetisasi menyebabkan masyarakat menjadi bergantung pada uang. Masyarakat membutuhkan uang untuk berbagai keperluan, yaitu membeli berbagai barang kebutuhan sehari-hari serta untuk membayar penarikan pajak (pungutan) desa (Kano, dkk, 1996:96). Peredaran uang di pedesaan Purworejo sebagian besar berasal dari upah kerja dan sewa tanah perusahaan perkebunan. Uang yang berasal dari sewa tanah, upah, dan lainnya dari pabrik gula di Bagelen sebesar 3.961.000 gulden setiap tahunnya (Kartodirdjo, 1977: CXVIII).

Dampak lain yang ditimbulkan akibat pendirian Pabrik Gula Jenar adalah meningkatnya laju pertumbuhan penduduk. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk banyak terjadi di daerah-daerah industri gula, pusat perdagangan, dan pusat pemerintahan. Laju pertumbuhan di Purworejo sendiri tergolong tinggi. Pada kurun waktu sepuluh tahun sejak 1920-1930, laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,06%. Namun, jumlah tersebut masih lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan penduduk di Jawa dan Madura yang mencapai 7% (Kartodirdjo, 1977: CXVI).

Sementara itu, masalah sosial baru yang muncul dalam masyarakat di sekitar Pabrik Gula Jenar adalah aksi perlawanan terhadap perusahaan perkebunan. Perlawanan buruh dilakukan secara sembunyi-sembunyi, yaitu dengan membakar lahan perkebunan tebu yang sudah siap panen. Pembakaran lahan itu dilakukan untuk mempercepat penyerahan sawah-sawah dan kebun kepada para petani. Selain itu, pembakaran juga dilakukan untuk mengimbangi tindakan perusahaan perkebunan yang membabat padi petani sebelum panen (Suhartono, 1991: 159).

Tindakan seperti itu banyak terjadi ketika musim kemarau atau sebelum masa panen tiba. Pada 1925, terjadi kebakaran sebanyak 25 kali dengan luas area perkebunan yang terbakar mencapai 56 hektar. Pada tahun berikutnya, terjadi 33 kebakaran dengan luas area perkebunan yang terbakar mencapai 66 hektar (ANRI, 1909: 22).

Kegiatan perlawanan lain yang dilakukan masyarakat terhadap perusahaan perkebunan tebu adalah aksi protes. Para buruh melakukan protes dengan menyampaikan langsung kepada perwakilan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Selain itu, aksi protes juga dilakukan dengan tindakan mogok kerja agar diberikan perbaikan nasib. Aksi pemogokan biasanya dilakukan pada musim giling, yaitu pada bulan Mei-Oktober (Suhartono, 1991: 159-160).

Akhir riwayat

sunting

Pada dekade 1930-an terjadi Krisis Malaise yang melanda di seluruh dunia, termasuk di Hindia Belanda. Akibat dari Krisis Malaise ini juga berdampak pada Pabrik Gula Jenar sehingga pabrik ini berhenti beroperasi pada 1933.[2] Krisis tersebut menyebabkan harga komoditas utama pengolahan gula, yakni tebu menurun serta menurunnya permintaan gula.

Rujukan

sunting
  1. ^ Aprianto, Iwan Dwi (2020-12-14). "DINAMIKA PABRIK GULA JENAR DI KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 1909-1933". Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya. 11 (2): 203–215. doi:10.36869/wjsb.v11i2.66. ISSN 2502-2229. 
  2. ^ Aprianto, Iwan Dwi (2020-12-14). "DINAMIKA PABRIK GULA JENAR DI KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 1909-1933". Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya. 11 (2): 203–215. doi:10.36869/wjsb.v11i2.66. ISSN 2502-2229.