PROBLEM BANGSA INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman suku dan bahasa. Keanekaragaman ini tentu saja menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya, tetapi di sisi lain, jika keberagaman ini tidak dipahami secara baik, maka akan menjadi sumber perpecahan yang akan merusak persatuan bangsa Indonesia itu sendiri. Kehidupan yang multikultur bangsa Indonesia, bukan merupakan peroses kehidupan bersama yang tidak pernah terdapat konflik didalamnya. Jika dilihat dari perspektif komunikasi antar budaya, maka kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa persoalan yang sering terjadi di dalam kehidupan bangsa Indonesia, seperti : • Adaptasi Budaya Indonesia merupakan negara yang besar, dimana setiap daerah yang berdekatan sekalipun tentu memiliki ciri khas budaya yang berbeda satu sama lain. Hal ini sering menjadi kendala apabila terdapat anggota masyarakat dari sebuah daerah yang berkunjung ataupun pindah ke daerah lain yang sudah berbeda secara budayanya. Hal ini tentu akan menimbulkan sidikit banyak benturan dari kedua masyarakat yang berbeda latar belakang budaya ini. Sebagai contoh, masyarakat di wilayah timur Indonesia, khususnya muda-mudinya memiliki kebiasaan bernyanyi di depan rumah dengan suara keras sambil menggunakan alat musik akustik. Ketika mereka membawa kebiasaan ini di Pulau Jawa, tentu akan menimbulkan penolakan dari masyarakat sekitar karena dianggap menganggu ketenagan warga lain. Jika tidak ada komunikasi yang baik di antara kedua masyarakat yang berbeda latar belakang budaya ini, tentunya akan mudah sekali terjadi konflik yang memicu perpecahan. Disinilah pentingnya komunikasi antar budaya, dalam artian setiap kelompok masyarakat yang majemuk ini harus mampu untuk saling memahami dan menghargai perbedaan tanpa ada perasaan superioritas dari salah satu daerah.


• Superioritas dan Inferioritas Budaya/Suku Perasaan superioritas dan inferioritas suatu budaya seringkali menjadi permasalahan khusus yang dapat dilihat dari perspektif komunikasi antar budaya. Salah satu suku merasa bahwa budayanya lebih baik dari budaya yang lain dan juga suku yang lain merasa bahwa budayanya lebih rendah dibanding dengan budaya yang lain. Perasaan-perasaan seperti ini jika terus menerus dibiarkan maka akan memberikan ruang dan jarak yang jauh antar suku-suku tersebut. Kasus seperti ini seringkali juga semakin terpicu oleh pemberitaan di media massa yang selalu mengekspose secara berlebihan mengenai keberadaan suatu suku dibandingkan dengan suku yang lain. Seperti halnya pemberitaan-pemberitaan media yang Jawa sentris, secara tidak langsung telah menmbulkan perasaan superioritas bagi anggota masyarakat dalam suku ini, sehingga sebagian mengangap bahwa suku yang diluar Jawa merupakan suku yang tebelakang dan lain sebagainya. Begitu pula dengan suku di luar Jawa, seperti Papua ataupun daerah di wilayah Timur Indonesia yang akhirnya merasa bahwa keberadaan suku mereka jauh terbelakang dibanding dengan suku Jawa. Jika rasa inferioritas ini semakin bertumbuh, maka masyarakatnya tidak akan mampu melihat potensi yang dapat dikembangkan dari daerah mereka, sehingga ketertinggalan akan semakin nyata terasa.

• Primordialisme yang Berlebihan Rasa bangga terhadap kebudayaan yang dimiliki seseorang tentu merupakan hal yang wajar. Tetapi jika rasa bangga tersebut muncul secara berlebihan sehingga seseorang tidak mampu menilai secara objektif lagi mengenai budayanya maka hal inilah yang menjadi persoalanya. Contoh rasa primordialis yang berlebihan dapat kita lihat saat pemilihan calon Legislatif atau pun eksekutif. Masyarakat cenderung memilih calon yang berasal dari daerah yang sama tanpa mempertimbangkan kualitas yang dimiiliki oleh calon pemimpin tersebut.

• Pengetahuan Budaya Indonesia secara Holistik Pengetahuan budaya oleh masyarakat Indonesia yang tidak menyeluruh seringkali menjadi persoalan khusus saat seseorang berada di budaya yang berbeda. Kesalahpahaman akan sangat mudah sekali terjadi jika seseorang tidak memiliki pengetahuan mengenai budaya lain. Contohnya jika seseorang yang berkunjung ke Bali saat hari raya Nyepi, jika ia tidak memiliki pengetahuan mengenai kebiasaan seluruh masyarakat Bali saat Nyepi, tentunya ia harus menerima teguran dari masyarakat maupun pemimpin adat di Bali saat ia menyalakan lampu rumah secara terang benderang.