Suku Nage

suku bangsa di Indonesia

Suku Nage (Ata Nagé) adalah kelompok etnis yang mendiami bagian tengah-timur Pulau Flores, Indonesia.[2] Suku ini merupakan keturunan penduduk asli Flores.[3] Masyarakat suku Nage sebagian besar berasimilasi dengan masyarakat Keo yang bertetangga. Mereka berbicara dalam bahasa Nage, salah satu bahasa utama dalam kelompok bahasa Austronesia.

Nage
Ata Nagé
Istri dan anak perempuan Raga Noli, raja sebuah desa di Nage, Pulau Flores.
Jumlah populasi
68.400[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Pulau Flores (Nagekeo dan Ngada)
Bahasa
Nage, Indonesia
Agama
Katolik Roma (dominan), Islam, kepercayaan asli
Kelompok etnik terkait
Keo • Ngada • Lio

Pertanian

sunting

Masyarakat Nage umumnya melakukan pertanian manual tebang-bakar (umbi-umbian, padi, jagung), berburu dan meramu. Hingga pertengahan abad ke-20, kepemilikan tanah komunal dengan partisipasi keluarga besar masih dipertahankan. Mereka tinggal di permukiman tipe kumulus, terletak di lereng pegunungan dan dikelilingi tembok batu. Rumah-rumah disusun dalam posisi persegi panjang dan dihubungkan oleh galeri terbuka menjadi satu kompleks, yang diperuntukkan bagi tempat tinggal bersama beberapa keluarga besar.[4]

Gaya hidup

sunting

Pakaian orang Nage adalah cawat dan rok atau kain. Wanita mengencangkannya di dada, dan pria di pinggang. Pola makannya didominasi makanan nabati (menir dan umbi-umbian yang dimasak dengan bumbu pedas), sedangkan daging hanya dimakan pada hari raya. Sistem agraria masih bertahan dan dipraktikkan. Sebelum menabur, upacara pembersihan ladang dan bulir padi akan dilakukan pada bulan baru pertama, sebelum mulai mengolah ladang.[5]

Studi penelitian

sunting
 
Peta sebaran kelompok etnis dan bahasa di Pulau Flores dan pulau-pulau kecil sekitarnya.

Pada tahun 1940, Perwira Louis Fontijne membuat penelitian Dinas Kolonial Belanda yang berjudul Grondvoogden di Kelimado (Penjaga tanah di Kelimado), Kelimado merupakan wilayah yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nagekeo. Ditugaskan sebagai investigasi kepemilikan dan kepemimpinan tanah adat, penelitian ini merupakan satu-satunya gambaran komprehensif tentang masyarakat dan budaya Nage yang dihasilkan selama masa kolonial.[6]

Pada tahun 1983, antropolog Gregory Forth memperbarui minatnya terhadap suku tersebut, mengunjungi kembali pulau-pulau tersebut sambil mencari salinan studi lengkap Fontijne.[6]

Forth juga menghipotesiskan kemungkinan hubungan antara cerita lokal Ebu Gogo, makhluk dalam mitologi Nage,[7] dan penemuan Homo floresiensis, kemungkinan spesies hominid yang telah punah, sehingga muncul kembali minat terhadap suku tersebut.[8]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Nage in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 2014-09-24. 
  2. ^ Институт этнографии имени Н.Н. Миклухо-Маклая (1966). Александр Андреевич Губер, ed. Народы Юго-Восточной Азии. Наука. hlm. 576. 
  3. ^ В.А Тишков (1966). "Научное издательство "Большая российская энциклопедия"". Александр Андреевич Губер. Большая Российская Энциклопедия. hlm. 321. ISBN 58-527-0155-6. 
  4. ^ Бернова А. А. (1998). Население острова Тимор. Советская этнография. hlm. 119. 
  5. ^ В.А Тишков (1966). "Научное издательство "Большая российская энциклопедия"". Александр Андреевич Губер. Большая Российская Энциклопедия. hlm. 322. ISBN 58-527-0155-6. 
  6. ^ a b Forth, Gregory (March 2003). "A small world after all". University of Alberta. Diarsipkan dari versi asli tanggal June 13, 2008. Diakses tanggal 2009-12-01. 
  7. ^ John Hawks (24 June 2005). "Stalking the wild ebu gogo". Diakses tanggal 2016-11-01. 
  8. ^ Forth, Gregory (2005). "Hominids, hairy hominoids and the science of humanity". Anthropology Today. 21 (3): 13–17. doi:10.1111/j.0268-540X.2005.00353.x. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-05. Diakses tanggal 2009-12-01.  (Abstract, Wiley Interscience)

Bacaan lebih lanjut

sunting

Pranala luar

sunting