Pembicaraan:Tiongkok/Arsip
Ini adalah halaman pembicaraan untuk diskusi terkait perbaikan pada artikel Tiongkok/Arsip. Halaman ini bukanlah sebuah forum untuk diskusi umum tentang subjek artikel. |
|||
| Kebijakan artikel
|
||
Cari sumber: "Arsip" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · HighBeam · JSTOR · gambar bebas · sumber berita bebas · The Wikipedia Library · Referensi WP |
Setelah diubah oleh Orde Baru menjadi RRC apa memang sempat diubah kembali menjadi RRT? Selama ini disiaran media massa lebih sering saya dengar yang RRC. Apa ada pertimbangan tertentu sehingga judul artikel yang dipilih adalah RRT? Maaf, soalnya saya tadinya sempatr bingung :D, Republik Rakyat Tiongkok tu negara mana :D Wiendietry Japri 04:43, 10 Oktober 2006 (UTC)
- Saya kurang pasti juga, tapi [1]. borgx(kirim pesan) 05:29, 10 Oktober 2006 (UTC)
- Menarik, rupanya asal-muasalnya kata "Cina" bermasalah. Secara pribadi sih, saya juga setuju kalau wikipedia menjadi salah satu yang memelopori penggunaan istilah Tiongkok/Tionghoa daripada menggunakan istilah Cina kalau alasannya memang seperti itu. Hanya saja secara politis justru menjadi sedikit aneh, karena seperti yang disampaikan di artikel ref diatas, bahkan dunia internasional pun memakai isitilah "China/Chinese", kalau dari konsensus wiki sendiri bagaimana, apakah sesuai dengan tatacara penulisan nama negara? NB: kasusnya mungkin mirip kata masjid yang menjadi Mezquita/Mosque, atau penggunaan kata "Nigga" untuk menyebut kulit hitam. Wiendietry Japri 08:28, 10 Oktober 2006 (UTC)
- Saya sarankan sebaiknya namanya diubah menjadi Cina bukan Tiongkok karena istilah "Cina" lebih umum dikenal dibandingkan "Tiongkok". Jika istilah cina dianggap merendahkan bangsa keturunan cina, saya rasa hal itu mengada-ada.
- Saya pribadi tidak terlalu menekankan apakah harus menggunakan istilah Tiongkok atau Cina (China). Pendirian saya konsisten adalah untuk tidak mempolitisir lebih lanjut pertentangan antara kedua istilah ini. Di Indonesia, memang istilah Cina lebih populer dibandingkan dengan istilah Tiongkok di kalangan grass-root, namun penggunaan istilah Tiongkok lebih digandrungi kalangan Tionghoa dengan alasan istilah Cina mengandung unsur penghinaan, apalagi dipolitisir secara resmi penggunaannya oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1966 pasca G30S.
- Sebenarnya, saya kira penggunaan istilah Tiongkok akan digunakan sejalan dengan istilah Cina, karena penggunaannya sekarang ini juga sama populernya dengan mengabaikan alasan2 politis yang menjadi latar belakangnya. Penggunaan istilah Tiongkok secara resmi dipopulerkan oleh bekas Presiden Megawati Sukarnoputri, juga pihak Kedutaan Besar RRC Jakarta konsisten menggunakan istilah Tiongkok untuk China dalam seluruh surat2nya.
- Kembali ke inti masalah, untuk nama negara, Tiongkok atau Cina yang akan digunakan oleh Wikipedia. Mengenai istilah2 Tiongkok di Wikipedia, saya selalu mengacu pada mainstream (misalnya dalam kasus Taoisme dan Daoisme), di sini, mainstreamnya apakah Cina atau Tiongkok, toh bukan dapat diputuskan oleh saya ataupun sekelompok orang. Bila dirasa perlu saya kira bolehlah diputuskan melalui pemungutan suara saja oleh anggota-anggota yang aktif. Rinto Jiang 11:47, 11 Oktober 2006 (UTC)
- Beberapa hari yang lalu, ditulis sebuah opini mengenai istilah-istilah "Cina", "Tionghoa", dan "Tiongkok". [2] bisa dilihat to Suara Pembaruan tgl 5 Maret 2007. Menurut artikel ini, pihak pemerintah (termasuk presiden) sudah ingin mengembalikan istilah "Cina" dan "China" kepada "Tionghoa" dan "Tiongkok". Saya harap artikel ini bisa membuka kembali diskusi ini supaya penggunaan istilah bisa diperjelaskan. Rhandjaja 08:29, 10 Maret 2007 (UTC)
- Kalau menurut saya kalau merujuk kepada negara Cina kita menggunakan kata Cina (Republik Rakyat Cina), tetapi kalau itu merujuk kepada masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia kita menggunakan kata Tionghoa. Bagaimana??Ada pendapat lain??Budse 03:57, 12 Maret 2007 (UTC)
- Masalahnya sudah banyak artikel yang menggunakan kata Tiongkok, bahkan lebih banyak dibanding kata China di Wikipedia, rasanya sudah terlanjur.--a_tumiwa(bicara) 04:19, 12 Maret 2007 (UTC)
- Kan bisa pakai bot merubahnya... ngga ada yang terlanjur, semua bisa dirubah. This is wiki Serenity 01:00, 10 Juli 2007 (UTC)
Tiongkok/Tionghoa vs Cina/China revisited
Saya lihat pengguna Bennylin kembali mengubah ejaan-ejaan Cina menjadi Tiongkok/Tionghoa. Hal ini tentu saja tidak apa-apa dilakukan karena memang sudah menjadi pedoman Wikipedia Indonesia (lihat ini). Saya sendiri juga dulu yang menyarankan (lihat milis WBI). Namun menurut saya beberapa hal tidak perlu diubah. Saya ingin memberikan beberapa catatan.
Misalkan nama tanaman: "pacar cina" tetap ditulis demikian. Lalu China Town dalam kosakata bahasa Indonesia adalah "pecinan" dan bukan "petionghoan" (kecuali ada masukan lain). Kemudian nama laut di sebelah barat laut Indonesia sebaiknya tetap dinamakan "Laut China Selatan" saja dan bukan "Laut Tiongkok Selatan". Dan akhirnya pemberontakan warga keturunan Tionghoa yang menyerang Keraton Mataram di Kartasura pada abad ke-18 seyogyanya tetap dinamakan Geger Pacinan dan bukan Geger Pationghoan atau apapun.
Jadi sebaiknya semua diambil yang lazim saja. Terima kasih sebelumnya. Mungkin ada masukan lain? Meursault2004ngobrol 21:31, 9 Juli 2007 (UTC)
- Ya, saya setuju. Sebaiknya nama atau istilah yang sudah umum memakai kata cina/china dibiarkan saja agar tidak membingungkan. Salam, Naval Scene 22:14, 9 Juli 2007 (UTC)
- Oh, saya sudah berusaha semampunya untuk tidak merubah hal-hal berikut:
- Cina sebagai nama ilmiah (tanaman, makanan, ataupun binatang)
- Cina sebagai judul buku / karya tulis
- Cina sebagai nama tempat (Kampung Cina)
- Cina sebagai bagian kata Pecinan, Pacinan
yang saya rubah:
- Cina sebagai nama negara (termasuk RRC -> RRT, Indocina -> Indochina)
- Cina sebagai nama sekumpulan orang
- Cina sebagai bahasa
- Cina sebagai budaya
- ... nanti saya lengkapi
yang saya tidak tahu adalah Laut China Selatan - Laut Tiongkok Selatan. Ini akan saya ubah kembali.
selebihnya, jika ada kesalahan, itu tidak disengaja ^_- karena saya memakai Ctrl-V, jadi beberapa tidak terlihat. namun tidak perlu khawatir karena hampir semuanya saya memperhatikan konteksnya sebelum saya merubah sesuatu.
trims semuanya bennylin 22:20, 9 Juli 2007 (UTC)
NB: saya juga menyadari di beberapa bagian saya ragu-ragu menggunakan antara Tiongkok-Tionghoa. Namun saya berusaha memakai istilah yang paling enak dipakai di dalam konteks tersebut. Masukan sangat diharapkan. (Contoh: dalam kalimat ini, manakah yang seharusnya dipakai: Mao membawa rakyat Tiongkok/Tionghoa ke dalam komunisme. Karena merujuk pada sekelompok orang, maka seharusnya digunakan kata Tionghoa, namun karena kalimat tersebut ingin menunjukkan rakyat negeri Tiongkok maka kata Tiongkok lebih pas dipakai walaupun kata tersebut tidak dipergunakan untuk sekelompok orang)
- Terima kasih atas tanggapannya. Mengenai hal terakhir ini mungkin lebih baik ditulis "Tiongkok" sebab bangsa Tionghoa juga banyak yang berada di luar RRT. Kemudian daftar anda mungkin bisa ditambah dengan sejarah. Naskah-naskah kuna dan tulisan lama saya lihat ada yang menulis Cina dan Tiongkok. Mungkin dibiarkan saja. Meursault2004ngobrol 23:19, 9 Juli 2007 (UTC)
RRC kenapa harus dirubah jadi RRT sih? Media saja udah sepakat untuk menggunakan RRC, dengan C-i-n-a nya dilafalkan dengan c-h-i-na.
Inget kasus bukunya si Amir Syarifudin itu yang ngopi Wikipedia. Ini orang pemalas betul sampai artikel belum jelas juga dia salin+tempel, dengan satu perkecualian --> Tiongkoknya menjadi China (atau Cina). Ini menunjukan bahwa Bahasanya sendiri belum menerima Cina menjadi Tiongkok (walaupun orangnya mungkin sudah ngotot harus dirubah). Mungkin orang Tionghoa harus lebih mempopulerkan RRT yah, karena khalayak umum taunya RRC. Bahkan di buku panduan negara lain yang dikeluarkan deplu RRT adalah RRC (walaupun negara-negara lain namanya banyak yang ngga konsisten, tutapi RRC bukan salah satunya). Serenity 00:46, 10 Juli 2007 (UTC)
- Eh akhirnya beli bukunya si Amir Syarifudin juga ya? Jangan lupa nanti dibawa ke Taiwan, Republik China ya :-D OK, kembali ke inti permasalahan; kalau menurut saya pribadi sendiri kata Tiongkok itu merujuk ke negara kerajaan Tiongkok yang kuna, sedangkan kalau China/Cina itu negara yang modern. Dalam bahasa Melayu Malaysia misalkan (paling tidak di ms:), mereka memilih menggunakan nama Greece untuk merujuk ke Yunani yang mereka anggap memiliki konotasi kuna atau lama. Kalau menurut saya nama Tionghoa cukup lazim dipakai. Yang agak janggal nama negaranya. Memang lebih sering dengar China sih daripada Tiongkok. Meursault2004ngobrol 16:13, 10 Juli 2007 (UTC)
- Kalau dalam konteks bahasa Melayu/Indonesia istilah Tiongkok/Tionghoa malah sebenarnya modern. Buku-buku lama yang saya baca selalu menyebut Cina/Negeri Cina. --202.158.42.29 10:50, 11 Juli 2007 (UTC)
- Belum tentu. Buku-buku lama jaman kompeni banyak yang menyebut Tionghoa (atau ditulis sebagai "Tiong Howa" dan "Tiong Kok"). Kalau mau bisa saya carikan buktinya. Meursault2004ngobrol 15:24, 11 Juli 2007 (UTC)
Kemudian istilah "Bahasa Mandarin" kenapa juga diganti jadi "Bahasa Tionghoa"? borgx(kirim pesan) 00:18, 11 Juli 2007 (UTC)
- Ya udah lah. Tarik suara aja deh. Kapan mau dimulai halamannya. Trus yang kedua, bisa dirubah pakai bot ngga? Serenity 00:21, 11 Juli 2007 (UTC)
Yaah, ginian aja pake voting. Udah jelas masalahnya spesifik, silakan didiskusikan di masing2 artikel. Gak bisa digeneralisasi. Silakan diinventarisasi mana yg perlu dibahas, terus dirembuk di masing2 artikel. Kembangraps 08:42, 11 Juli 2007 (UTC)
- Whuu... pejabat anti voting *LOL* Serenity 09:35, 11 Juli 2007 (UTC)
- Saya tidak berani mengemukakan pendapat namun hanya ingin menyumbangkan bahan siapa tahu berguna kalau voting jadi dilaksanakan yaitu :
- Dalam situs resmi kedutaannya digunakan istilah Tiongkok ( duta besar Tiongkok, dll) ; [3]
- Tapi dalam situs salah satu bagian dalam kedutaan yaitu Bahagian Kebudayaan Kedutaan Besar Repubik Rakyat China di Indonesia [4] menggunakan istilah China.
- Dalam surat kawat dari Presiden People's Republic of China dalam bahasa Indonesia kepada Presiden Abdurrahman Wahid (ejaan nama dikutip dari situs tersebut) pada alinea pembuka kawat tersebut dikatakan : " Berkenaan dengan HUT Ke-50 terjalinnya hubungan diplomatik antara Republik Rakyat China dan Republik Indonesia, saya menyampaikan selamat yang hangat kepada Yang Mulia dan rakyat Indonesia melalui Yang Mulia". ( [5]
Nampaknya disini kedua istilah tersebut digunakan untuk menyebutkan nama negara sehingga tidak ditemukan istilah yang konsisten pada situs resmi pemerintah People's Republic of China tersebut.
Ini hanya sebagai bahan masukan tanpa bermaksud mendukung salah satu istilah ( karena saya juga bingung-hehehe)--Alcatrank 09:38, 11 Juli 2007 (UTC)
- Nah Kedutaan Besar RRC itu benar. Tiongkok itu berbeda dengan RRC. Taiwan, Hong Kong, Makau itu Tiongkok juga, tapi belum tentu mutlak RRC. Bahkan ada yang bilang Singapura itu bagian dari "Tiongkok Raya", suatu hal yang saya tentang. Singapura adalah bagian dari Alam Melayu atau Nusantara.
- Kalau pihak kedutaan sendiri bilang RRC (Republik Rakyat China) ya kita ambil istilah ini. Hal ini mirip dengan nama P(e)rancis. Kedutaannya sendiri menggunakan istilah "Perancis". Tapi jangan dipukul rata. Belum tentu nama resmi yang dipakai suatu negara juga harus kita pakai. Jadi kesimpulannya: seperti kata Serenity, semua suntingan Bennylin harus ada yang mengecheck satu-satu. Kalau saya sempat sebenarnya saya bersedia. Mungkin ada orang lain yang ingin melakukannya? Meursault2004ngobrol 15:24, 11 Juli 2007 (UTC)
- Turut menanggapi diskusi ini. Sebenarnya saya setuju menggunakan China, karena itu adalah nama internasional negara mereka (bahasa Indonesia: Republik Rakyat China, bahasa Inggris: People's Republic of China). Sedangkan Tiongkok asal katanya itu berasal dari bahasa daerah China, yaitu bahasa Fujian atau Hokian. Lalu kenapa ada banyak masyarakat China-Indonesia yang menganggap bahwa kata China berkonotasi negatif dan lalu menginginkan menggunakan Tiongkok saya sendiri kurang mengerti. Ada yang bisa menjelaskan? roscoe_x 15:26, 21 Juli 2007 (UTC)
- Saya lihat kembali situs Kedubes RRC/RRT di Jakarta ini ternyata tidak konsekuen. Di satu sisi ditulis Tiongkok, tapi di sisi lain Laut China Selatan. Kemungkin kawat Republik Rakyat China itu salah ketik karena di tempat lain semua ditulis RRT. Mengenai konotasi negatif Cina/China di Indonesia mungkin hanya sejarah yang bisa memperbaiki. Memang di banyak negara/daerah nama sebuah kelompok masyarakat yang dimarginalisasi atau di mana relasi dengan kelompok lain kurang harmonis entah apa alasannya, lantas sering menjadi kata makian atau dianggap demikian. Misalkan di Jawa Timur dan Bali kata/nama "Madura" menjadi makian, begitu pula di Aceh kata/nama "Jawa" menjadi makian pula. Sama halnya dengan kata/nama Cina di Indonesia, meskipun sebenarnya tidak ada kata yang salah mengenai "Cina". Kata ini konon merujuk kepada Kaisar Chin. Tapi bisa saja nanti di masa depan nama ini kembali menjadi normal. Meursault2004ngobrol 17:10, 21 Juli 2007 (UTC)
Saya lihat penggantian Cina->China/Tionghoa terkadang agak membabi-buta. Malah di entri Kamus salah satu judul kamus anekabahasa dihapus karena ada kata Cina di dalamnya. Dari:
Kamus Aneka Bahasa
Kamus ini sekurang-kurangnya menggunakan tiga bahasa atau lebih.Misalnya, Kata Bahasa Melayu Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin secara serentak. Contoh bagi kamus Aneka bahasa ialah Kamus Melayu-Cina-Inggeris Pelangi susunan Yuen Boon Chan pada tahun 2004.
menjadi:
Kamus Aneka Bahasa Kamus ini sekurang-kurangnya menggunakan tiga bahasa atau lebih.Misalnya, Kata Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Tionghoa secara serentak.
Suntingan seperti ini buruk karena menghilangkan informasi. Kalau mau mengubah mungkin dengan mengambil contoh kamus anekabahasa lain, bukan dengan menghapus begitu saja, cuma karena ada kata Cina dalam judulnya.
- Saya juga mikir (tidak asal-asalan) dalam artikel ini.
- Kamus Aneka Bahasa
- Kamus ini sekurang-kurangnya menggunakan tiga bahasa atau lebih.Misalnya, Kata Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Tionghoa secara serentak.
- Saya juga mikir (tidak asal-asalan) dalam artikel ini.
- yang saya ganti ini bagian dari kalimat, bukan judul bukunya.
Contoh bagi kamus Aneka bahasa ialah Kamus Melayu-Cina-Inggeris Pelangi susunan Yuen Boon Chan pada tahun 2004.
- yang ini jelas tidak diganti karena merupakan sebuah judul (ejaan kata "Inggeris" juga salah). yah, orang jaman dulu kan masih bodoh-bodoh (masih mau dibodohi Suharto).– komentar tanpa tanda tangan oleh Bennylin (b • k).
- Kalau Anda lihat lagi (1) bagian dari artikel tersebut berasal dari Wikipedia Bahasa Melayu (2) Kamus tersebut terbitan Malaysia, yang tidak menganggap kata Cina sebagai hinaan. Bagian di atas saya kembalikan lagi, karena tampaknya belum ada yang punya alternatif kamus anekabahasa lainnya. Gombang 01:01, 21 Oktober 2007 (UTC)
Saya sendiri berpendapat kalau mau mengganti kata Cina ganti ke Tionghoa, bukan China. Kata China itu bukan Bahasa Indonesia, dan tidak mematuhi EYD. Kalau alasannya kata itu digunakan dalam dunia internasional, apa kita mengganti kata "Perancis/Prancis" ke France? "Spanyol" ke Spain atau Espana? Kan tidak. --Gombang 09:20, 14 Agustus 2007 (UTC)
- Saya juga setuju dgn sdr Gombang. Menurut EYD kan kita tdk perlu menambahkan "h" untuk penyebutan huruf "c" seperti "ch" dalam bhs Inggris. Menurut saya seharusnya ada argumen yang tepat dan kuat dulu tentang alasan menggunakan "China" karena yang ini tidak cukup menjelaskan. Kalau kita ingin mengubah pelafalan "cina" menjadi seperti pelafalan "china" dalam bhs Inggris, bukan begitu cara penulisan yang sesuai dengan EYD. Saya sendiri tidak mengerti alasan tidak menggunakan "Cina". People say that it's deregatory, tp saya tidak mengerti kenapa. Katanya karena penggunaan dalam konteks menghina oleh orang Jepang pada saat perang, tapi pengucapan kita kan beda dengan orang Jepang? Tolong penjelasannya, karena saya benar-benar tidak mengerti. Terima Kasih Bhaskara 08:43, 21 Agustus 2007 (UTC)
- Dulu waktu kecil pas saya jalan2 di kampung sebelah, sering kali ada anak2 yg teriak "Eh ada Cina ada Cina!", "Ngapain lu Cina!" dsb. Trus kalo belanja di Glodok dapet barang kemahalan kan sering tuh kita denger "Ahh dasar Cina!". Mungkin ini yg bikin kata "Cina" jadi derogatory, soalnya blom pernah kan kita denger orang ngomong "Ahh dasar Tionghoa lu!" dsb. :p. Kalo menurut saya Tiongkok/Tionghoa/Cina bisa diperdebatkan, tapi kalo China udah salah secara penulisan. --ERd 09:25, 21 Agustus 2007 (UTC)
- Hehehe, kalau alasannya cuma itu aja kayaknya kok mengada-ada banget yah. Karena celetukan semacam itu kan tidak ditujukan secara khusus ke orang Indonesia keturunan Cina saja. Sering juga terdengar kata-kata seperti "Dasar Batak, "Dasar Jawa", "Dasar Sunda", atau bahkan "Dasar Perempuan"! Nah lho. Masa kan kita mau mengganti semua istilah itu juga? :D Iya, saya juga setuju penulisan "China" itu salah. Buat apa kita punya EYD, kalau begitu? Kalau kita mau menggunakan ejaan Bahasa Inggris yang notabene bahasa asing, sekalian saja kita pakai lagi ejaan lama seperti "oe", "tj" dan seterusnya. Lagian orang Cina aslinya juga nggak pakai istilah "China" untuk menyebut negerinya sendiri kok, jadi nggak bener itu nama internasional (kalau memang itu alasannya).Bhaskara 09:42, 21 Agustus 2007 (UTC)
- Dulu waktu kecil pas saya jalan2 di kampung sebelah, sering kali ada anak2 yg teriak "Eh ada Cina ada Cina!", "Ngapain lu Cina!" dsb. Trus kalo belanja di Glodok dapet barang kemahalan kan sering tuh kita denger "Ahh dasar Cina!". Mungkin ini yg bikin kata "Cina" jadi derogatory, soalnya blom pernah kan kita denger orang ngomong "Ahh dasar Tionghoa lu!" dsb. :p. Kalo menurut saya Tiongkok/Tionghoa/Cina bisa diperdebatkan, tapi kalo China udah salah secara penulisan. --ERd 09:25, 21 Agustus 2007 (UTC)
- Wah, panjang banget ya... moga-moga ada yang bisa back-up pernyataan saya ini, tapi istilah 'C' itu dianggap merendahkan sama seperti istilah-istilah "Nigger", "Chink", dan "Wetback" dalam bahasa Inggris. Anda mau bertanya kepada pakar yang sudah baca ratusan buku pun kalau dia orang kulit putih tetap tidak merasa tersinggung atas istilah "Nigger" dan "Chink", lha wong rasnya dia yang menciptakan istilah itu kok. Sebenarnya saya percaya setiap kata itu netral, entah kata makian, kata pisuhan, atau sumpah serapah yang lain. "Konotasi" yang timbul itu berbeda-beda untuk setiap orang, ada yang dimaki-maki senang, ada yang kebal, ada yang langsung membalas.
- Saya pribadi merasa "begidik" setiap kali disebut demikian (walaupun yang menyebut juga orang Tionghoa), entah mereka bermaksud atau tidak menghina seperti yang dilakukan pada jaman Soeharto (keparat) itu. Memikirkannya saja sudah membuat orang-orang "sensitif" seperti saya muntab, tapi saya selalu berusaha menerapkan asas "praduga tak bersalah" sebelum menghakimi orang lain.
- Arti kata itu sendiri simpang siur, apa yang diajarkan kepada saya dan apa yang saya baca, dan apa yang dipropagandakan oleh sekelompok orang seringkali berbeda. Asal muasalnya juga lebih rumit, apalagi kalau melihat terjemahan asing (bahasa Spanyol, Italia, dll) maupun nama Inggris resmi yang disandang pemerintah RRT sendiri menggunakan varian 'China'. Namun satu ajaran yang sampai saat ini masih saya percayai yaitu bahwa pada mula Orde Baru istilah ini berarti/bersinonim/menyamakan orang Tionghoa dengan BABI, entah karena mereka dikenal pengkonsumsi binatang ini, atau entah disamakan dengan kelakuan binatang ini, atau malah lebih buruk lagi disamadengankan binatang ini. Coba kalau Anda dimaki ANJING atau dalam bahasa Jawa yang lebih kasar lagi, atau MONYET, atau nama-nama binatang di kebun binatang Ragunan yang lain, sebagian besar (saya tidak bilang semuanya, karena ada teman-teman juga yang tertawa kalau dikatai demikian) pasti marah. Demikian pula saya pribadi juga merasa demikian.
- Mengenai media cetak maupun media informasi yang lain, saya secara selektif memilih media-media yang tidak menggunakan kata "C" tersebut. Jawapos adalah koran favorit saya untuk alasan tersebut. Detik, Kompas, serta mayoritas surat kabar yang lain tidak pernah saya sentuh karena hingga detik ini masih tidak mau menggunakan istilah Tionghoa-Tiongkok. Radio online Indonesia otomatis saya matikan dan saya kirimi surat jika penyiarnya menggunakan kata ini. Artis Indonesia otomatis saya blacklist sebagai rasis jika mereka menggunakan kata ini karena di posisi mereka yang sebagai selebritis mereka memberikan citra buruk (bayangkan selebritis Amerika mana yang berani mengucapkan kata ini? pasti langsung dituntut pengadilan seperti beberapa kasus yang pernah terjadi).
- Apakah ini hal yang besar untuk mengkonvesikan istilah Tionghoa-Tiongkok di wikipedia Indonesia? Tentu saja! Bayangkan berapa ratus ribu bahkan juta orang yang mengunjungi wikipedia Indonesia, dan jika mereka melihat bahwa istilah "C" tersebut masih dapat digunakan, mereka tidak merasa harus mengubah perilaku mereka. Namun jika mereka terekspos istilah Tionghoa-Tiongkok, maka secara bawah sadar mereka mulai melihat alternatif kata yang lebih baik daripada kata "C" tersebut.
- Kesulitannya? mari kita pecahkan bersama-sama.bennylin 13:30, 14 September 2007 (UTC)
saya rasa lebih baik tidak mengginakan kata "Cina" karena kita harus gunakan yang baku, yang baku adalah Tiongkok dan Tionghoa.. selain itu, China itu bahasa Inggris sebenarnya kan? Dengan orang ke wikipedia, "china" dan "cina" akan hilang, kalau wikipedia menggunakan kata2 yang biasa dipakai orang, kalau gitu aku/saya boleh diganti gua dong? istilanya ya mirip gitu :) Mimihitam (Kirim Pos Sihir! Cheers..) 13:40, 14 September 2007 (UTC)
- Aku setuju sama gombang dan bhaskara. You guys have a point. Memang salah sih kalau ditulis negaranya jadi China secara bahasa.
Tapi kalau orangnya kalau mau ditulis Tionghoa kayaknya ngga masalah, tapi untuk negara, nama tempat, nama benda dan lokasi setuju dengan Cina. Ya udah dari pada panjang-panjang kata mbah kembang juga (bless his heart), voting aja di halamannya sendiri-sendiri langsung. BennyLin kayaknya udah emosi yah, jadi ngga terlalu netral. Mimi Hitam juga alasannya tidak bisa diterima karena aku dan saya itu sudah baku dalam bahasa Indonesia dan gua hanya dipakai di Jakarta dan disebarkan oleh media (yang rata-rata medianya kumpul di jakarta). Serenity 00:59, 20 September 2007 (UTC)
- Aku setuju sama gombang dan bhaskara. You guys have a point. Memang salah sih kalau ditulis negaranya jadi China secara bahasa.
- Ok, gue baru sadar betapa salahnya pernyataan yang tadi. Ini kutipan dari Chester A. Arthur:
“ | Mem-veto konstitusi yang melarang orang Tiongkok masuk sebagai imigran ke Amerika Serikat | ” |
- Mustinya kalau taat azas masak gue bilang orang Tionghoa? Ya otomatis orang Cina dong yah. Btw, dari puluhan orang umum (non wikipedian) yang gue tanya quiz dadakan pas ketemu: " Tembok Raksasa Cina atau Tembok Raksasa Tiongkok? "
- Ngga ada yang beli tuh yang kedua... termasuk gue. Voting deh Serenity 01:10, 20 September 2007 (UTC)
- Saya sudah baca diskusi diatas, dan saya cenderung setuju dengan Bhaskara. Penggunaan "Tiongkok" agak janggal, karena yang terbayang justru kebudayaan kuno (Dinasti-dinasti itu lho...). Mungkin Tionghoa bisa digunakan untuk merujuk keturunan Cina (yang enggak harus tinggal di RRC, misalnya di Indonesia, Singapura, AS, dll. ) Saya juga tidak setuju bahwa "Cina" itu mirip nigger. Mungkin ada yang menghina dengan cara "Dasar Cina", tapi bukankah penyebutan ras/suku itu praktik umum dalam penghinaan di Indonesia (seperti cotoh baskara)? Apa semua nama suku mesti diganti sehingga tidak ofensif? Mengenai media massa, website kompas yang merupakan koran terbesar di Indonesia menggunakan [6], [7], [8], dan [9], kok saya ga pernah mendengar berita ada yang menuntut kompas? kalau ga salah pendiri kompas sendiri merupakan warga Tionghoa, kenapa ia (atau ahli warisnya) enggak ter-offense dengan pengggunaan ini? Masih dari hasil search tersebut, penggunaan tiongkok lebih mencerminkan kebudayaan kunonya (lukisan tiongkok, keramik tiongkok), dan penggunaan Tionghoa merujuk pada keturunan Cina di Indonesia. -- Arkwatem Bicara 03:15, 20 September 2007 (UTC)
Ark, gue jadi inget di negara-negara yang berbahasa Inggris ada perdebatan yang sama tentang orang tuli atau orang buta menjadi "hearing impairment" atau apa yah "troubled vision" gitu deh. Bacanya sampe ngakak karena orang-orang jadi bingung, sementara orang buta dan orang tulinya sendiri ngga berkeberatan disebut buta atau tuli. Dikita masih cantik deh ditulis tuna rungu atau tuna netra. Kalau orang keturunan cina di Indonesia mau dikatakan Tionghoa, ngga masalah - tapi orang Cina yang dari Cina nya sendiri kayaknya tetap harus jadi orang cina ... Serenity 03:56, 20 September 2007 (UTC)
jadi bagaimana nih sikap wikipedia? Oya, kan ni diskusi udah panjang banget, kenapa enggak dibikin halaman sendiri terus dimasukkan ke deretan Diskusi yang muncul di halaman Perubahan terbaru, supaya peserta diskusi semakin ramai? -- Arkwatem Bicara 08:19, 20 September 2007 (UTC)
- Nah biar tambah seru nih saya tambahin pembanding [10]. --AlCatrank(kirim pesan) 09:17, 20 September 2007 (UTC)
- hmm, saya coba masukkan isi artikel itu ke Tiongkok. Ngomong-ngomong, apa benny di artikel itu bennylin? -- Arkwatem Bicara
Ya bukan dong. Bennylin kan masih muda. Meursault2004ngobrol 09:27, 20 September 2007 (UTC)
- Kebetulan banget yang protes namanya juga Benny. Kalo melihat dari artikel itu mah mentah lagi. Karena seperti yang sudah dibahas panjang lebar diatas, walaupun ada muatan perasaan (dari logika kesesatan namanya argumentum ad hominem 1 & 2) secara taat asas bahasa bentrok.
- Secara bahasa negara cina harus tetap cina, dan orang cina dari cina akan dinamakan cina, kalau keturunan cina di Indonesia lebih suka dipanggil Tionghoa, maka ya kita bisa melakukan itu.
- Jadi sikap wikipedia mentingin perasaan atau bahasa yang taat asas? Serenity 09:31, 20 September 2007 (UTC)
- Taat asas dong. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap komunitas Tionghoa, terutama di Indonesia, sebuah ensiklopedia harus deskriptif. Tiongkok itu merujuk ke kebudayaan lama dan kuna. Tapi kalau kurang sreg dengan "Cina" pakai saja istilah/ejaan "China" sebagai kompromi meski ini melanggar EYD. Harap diingat bahwa nama Cina sebenarnya juga nama yang menghormat sebab konon berdasarkan nama seorang kaisar. Apalagi nama ini sudah sangat lama dikenal di Nusantara dan disebut dalam sebuah prasasti Jawa Kuna dari abad ke-9. Apakah sang penulis prasasti ini mau menghujat? Tentu saja kan tidak. Meursault2004ngobrol 09:47, 20 September 2007 (UTC)
- Selain taat asas, pendapat bahwa kata "Cina" itu menghina, belum dibuktikan oleh sumber terpercaya, apalagi klaim bahwa istilah tersebut setara dengan "nigger" atau "babi". Menurut kompas sudah ada penelitian mengenai hal tersebut, dan hasilnya hanya kalangan tua Tionghoa yang masih menganggap hal tersebut negatif[11] -- Arkwatem Bicara 09:55, 20 September 2007 (UTC)
Jadi saya cenderung berpendapat bahwa secara umum, seharusnya digunakan kata Cina, sedangkan Tiongkok digunakan dalam konteks kerajaan atau kebudayaan kuno, dan Tionghoa digunakan untuk keturunan/etnis Cina yang tinggal di Indonesia. -- Arkwatem Bicara 10:01, 20 September 2007 (UTC)
- Sebagai pribadi, saya akan memilih Tiongkok dan Tionghoa :), tapi kalau konsensus nantinya memilih lain, tentunya saya akan mengikuti konsensus. Well, ini masih wiki yang dinamis kan. ^^ ~Rex••pesan•• 10:19, 20 September 2007 (UTC)
- Apa ada alasannya? -- Arkwatem Bicara 10:32, 20 September 2007 (UTC)
- Saya pribadi juga lebih memilih "Tiongkok" dan "Tionghoa". Untuk "Tionghoa" rasanya kata ini sudah makin lazim digunakan sekarang jadi saya kira tak bermasalah (kalau tak salah KBBI pun mempunyai entri "Tionghoa" meskipun entrinya menyuruh pembaca melihat ke entri "Cina" - kalau tak salah?). Untuk "Tiongkok"... hmm, pertama kali melihat istilah ini mulai digunakan sebenarnya jujur saja rasanya agak janggal (soalnya kalau liat media massa istilah ini jarang dipakai) namun lama-kelamaan jadi terbiasa. Saya sendiri termasuk kelompok yang melihat perkataan "Cina" sebagai istilah berkonotasi negatif, karena itu saya lebih suka jika "Tiongkok" atau setidaknya "China" digunakan. Meskipun begituuu.... kalau memang konsensus menginginkan "Cina" untuk merujuk kepada negara, selama istilah baku merupakan "Cina" maka saya tetap akan menerima. (btw, "Cina" harusnya digunakan untuk merujuk pada negara saja kan? Untuk budaya etnis, dll harusnya menggunakan "Tionghoa") Hayabusa future (\0-0/) 14:02, 20 September 2007 (UTC)
- Jadi gimana nih? Chineese Food or Tiongkokneese Food? Jadi laper --Andri.h 14:13, 20 September 2007 (UTC)
- Wah, dipindah kesini ya. Emg hrs dibicarakan lbh serius yah. Terus terang saya ga suka sama istilah China, itu jelas2 bkn Bhs Indonesia yg baik. Mengenai Tiongkok dan Tionghoa, tidak semua orang Indonesia tahu lho, istilah ini, karena emang ini istilah asing. Bahkan istilah "Cina" sendiri masih dipakai sama yang punya etnis kok :D .
- Saya keberatan kalau "Cina" itu disamakan dengan "Chink" atau "Nigger", karena istilah-istilah itu jelas dipakai untuk merendahkan. Sementara bangsa Indonesia sudah menggunakan istilah Cina bahkan sebelum negara ini dibentuk. Apakah "Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina" memiliki makna menghina/merendahkan? Nggak kan? Malah memuji, karena negeri itu merupakan tempat menuntut ilmu.
- Seperti kata manapun, "Cina" bisa memiliki embel-embel negatif ataupun positif. Seperti contoh saya yang lalu, "Jawa", "Batak" ataupun "Perempuan". Perempuan itu bisa "mulia karena ia adalah seorang sumber kehidupan", ataupun "nggak becus karena ia perempuan" (maaf, lho cuma contoh). Saya orang Kalimantan. Kalau istilah "Cina" bisa diganti karena dianggap menyinggung, saya juga bisa menuntut kata "Dayak" diganti juga dong? Kalau ada beberapa orang yang menganggap "Cina" bersinonim dengan "Babi", saya juga boleh dong mengganti istilah "Dayak" yang bersinonim dengan "Suku terbelakang haus darah yang suka memenggal kepala orang"? :D Tapi nggak kok, saya nggak mau menuntut. Semoga nggak ada yang tersinggung dengan contoh saya ya.
- Sedangkan untuk penggunaan "Tionghoa" dan "Tiongkok", perlu dicermati lagi karena bagaimanapun juga ini adalah kata asing. Untuk ngomong "Orang Tionghoa" atau "Negeri Tiongkok" itu sudah salah banget dalam bahasa, karena masing-masing "hoa" dan "kok" sendiri sudah berarti "orang" dan "negeri". Saya serhakan sama yang lebih jago bahasanya deh.
- Jadi, sudah jelas, saya lebih memilih untuk menggunakan istilah "Cina" karena alasan-alasan (yang panjang, maaf) diatas. :) Bhaskara 04:12, 21 September 2007 (UTC)
- Untuk menanggapi bung Andri, saya sekarang hanya melihat rumah makan/restoran "Chinese" saja di Jakarta. Belum pernah melihat restoran Cina, China atau Tionghoa di Jakarta. Padahal jaman dulu disebut rumah makan Tiong Hwa. Untuk bung Bhaskara jika istilah "Dayak" menghina tentu saja bisa membuat seminar, forum dan sebagaimana minta diganti :-D Meursault2004ngobrol 05:13, 21 September 2007 (UTC)
Informasi Tambahan
Coba baca [12] dan [13], yang membahas soal sejarah pemakaian kata Cina, Tiongkok dan Tionghoa. Bukan yang paling otoritatif memang.
Bagi yang malas membaca, saya kutipkan yang menurut saya paling penting:
.... Sejarahnya setahu saya begini. Dalam sastra lama, baik yang Melayu maupun yang Jawa dll., istilah yang dipakai cina. Sejak permulaan timbulnya pers berbahasa Melayu dengan abjad Latin pertengahan abad ke-19 pun, yang dipakai yalah cina. Istilah tionghoa, kalau tidak salah, mulai timbul dalam periode antara kedua perang dunia, sebagai akibat satu pertalian idiel antara gerakan nasional kaum pribumi Indonesia dengan organisasi-organisasi masyarakat non-pribumi (baik Tionghoa, maupun Arab dll.). Dalam hal ormas Tionghoa, ikatannya dengan gerakan nasional pribumi dipererat lagi karena gerakan yang dipimpin oleh Sun Yat-sen di Tiongkok yang mendapat sambutan positif baik di kalangan gerakan nasional pribumi, maupun di kalangan ormas Tionghoa di Indonesia.
Setelah Proklamasi 1945 dan Konperensi Meja Bundar 1949 di Indonesia, dan perpindahan kekuasaan di Tiongkok dengan didirikannya "Republik Rakyat" pada tahun 1950, terjadi penjalinan hubungan diplomatik resmi. Pada waktu itu pun nama negara tersebut resminya dinyatakan "Republik Rakjat Tiongkok" (dalam ejaan waktu itu). Pemakaian kata-kata Tiongkok dan Tionghoa itu tambah mantap pada masa Konperensi Asia-Afrika di Bandung 1955, ketika menjadi populer untuk mendahulukan nama negeri orang yang sesuai dengan nama pribumi negeri bersangkutan. Misalnya populerlah negeri Siam / Thailand disebut Muangthai, begitu pun Sailan / Ceylon disebut Serilangka (walaupun di negeri itu sendiri, pengantian nama resmi menjadi Sri Lanka baru dilakukan belakangan).
Jadi, terlepas dari segala aspek lainnya, istilah bahasa bakunya pada periode 1950 - 1965 itu tionghoa dan tiongkok, dan bahkan dalam bahasa kolokuial pun orang umumnya memakai kedua kata tersebut, sedangkan kata cina itu penggunaannya minimal sekali. Selain itu, pada period itu ada satu perbedaan, yaitu kalau memisuh seorang keturunan sana secara "penasaran" atau "dongkol" atau "benci", maka pisuhannya itu cina' lu!, dan tidak pernah tionghoa lu! (dimana yang dimaksud dengan lu ialah kau-nya bahasa Jakarta).
Artinya, dalam periode tersebut, tionghoa itulah kata yang baku dan netral, sedangkan cina itu sangat kolokuial dan bertendens menghina. Sudah lumrah, waktu pihak penguasa merasa perlu melancarkan kampanye politik melawan negara yang bersangkutan, kata cina lah yang dipakai, dan kemudian diseragamkan untuk seluruh masyarakat. ...
Jadi buat orang Melayu dan Jawa, kata Cina adalah yang pertama kali dikenal, kemudian baru kata Tionghoa/Tiongkok Menurut Revo di atas kata Tionghoa/Tiongkok juga sudah digunakan, tapi di kesusastraan Melayu Klasik yang saya pernah baca (cuma Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu) kata Tiongkok dan Tionghoa tidak pernah dipakai. Yang digunakan selalu Cina. Keduanya ditulis sekitar abad ke-17.
Oh, Tambo Alam Minangkabau seingat saya menggunakan kata Cina (raja Minangkabau pertama konon bersaudara dengan raja Cina dan raja Rum, dan keduanya keturunan Iskandar Zulkarnain) . Kata Tionghoa tidak dikenal.
Kesimpulannya? Saya cuma mau menunjukkan pada awalnya kata Cina itu netral. Dalam kasus Tambo Alam Minangkabau malah bisa dianggap positif, kalau tidak orang Minang tidak akan mau mengaku-ngaku bersaudara jauh dengan orang Cina. Dan kenapa tidak kita kembalikan lagi kata Cina jadi netral? Orang yang ingin memaki2 etnis Cina jadi terhalang kehilangan kata makian kan :) --Gombang 07:21, 25 September 2007 (UTC)
- Menarik sekali pandangan yang diulas, terutama ingatan tentang Tambo Alam Minangkabau (entah apa artinya). Kedua paragraf yang menyusul kutipan di atas pun saya pikir juga menyuarakan dengan tepat tentang hal ini yang saya cuplik sebagai berikut:
Adalah di luar segala kesangsian, bahwa pergantian istilah sekitar 1966 itu memang dilakukan dalam rangka "menyakiti hati". ... . Dalam hal ini, saya pikir, kita terbentur pada satu persoalan etik bahasa (kalau istilah tradisionalnya, yang perlu kita ingatkan kembali disini mungkin budi bahasa). Yang saya maksud: tak soal apakah RRC (dulu RRT) itu tersangkut atau tidak tersangkut, tepatkah menggantikan nama seluruh bangsa yang notabene tidak semuanya tinggal di dalam negara tersebut, itu sedemikian rupa, dengan kata yang berkonotasi memisuhi? Mengapa orang Tionghoa di Taiwan, di Singapura, di Indonesia, di Amerika Serikat, dst., dst., harus turut kena getahnya lantaran pemerintah Orde Baru lagi cekcok dengan RRT/RRC? Dan kemudian, kenapa tidak dibatalkan setelah pemerintah Orde Baru akur kembali dengan RRT/RRC?
- Saya juga ingin menambahi bahwa rasanya tidak ada orang Indonesia yang masih hidup sejak jaman 'kata ci-na belum berkonotasi negatif'. Kenyataannya adalah semua orang yang sedang kita permasalahkan ini (tmsk saya) tinggal dalam bayang-bayang Orde Barunya aSoeharto. Selanjutnya tinggal sejarah. bennylin 08:39, 25 September 2007 (UTC)
- Soal pembahasan nenek moyang orang Minang dan hubungannya dengan Cina di dalam Tambo Alam Minangkabau coba lihat di [14] (bhs Melayu). Mungkin saya harus bikin artikelnya juga :). Kata yang digunakan adalah Cina bukan Tiongkok/Tionghoa (yang memang dulu tidak dikenal). Tambahan lagi: setahu saya Bahasa Latin Sino/Sinica, dan Bahasa Arab Tsin untuk kawasan Tiongkok juga berasal dari kata yang sama dengan Cina. Jadi contohnya hadits Nabi Muhammad Tuntutlah ilmu ke negeri Cina yang digunakan adalah kata Tsin. Poin saya sama seperti kata bung Arkwatem di bawah: istilah Cina sudah digunakan dalam arti netral jauh sebelumnya. --Gombang 10:35, 25 September 2007 (UTC)
Bung Benny, perlu diingat bahwa istilah "Cina" bukan ciptaan Soeharto atau pemerintah orde baru, melainkan sudah merupakan istilah yang digunakan Bangsa Indonesia sejak dulu untuk tujuan netral (bukan menghina), sebagaimana telah dijelaskan secara panjang lebar diatas. Jadi terlepas dari motif apapun yang mendasari perubahan nama tahun 1966, perubahan tersebut adalah sah dan memiliki dasar dari budaya Indonesia. Masa' gara-gara Soeharto menggunakan istilah tersebut, lantas bangsa Indonesia harus melupakan istilah tersebut, yang notabene sudah digunakan sejak dahulu kala? Bukankah itu sama artinya melarang umat Hindu menggunakan swastika, hanya karena lambang tersebut digunakan oleh Hitler?
Selain itu, dalam wikipedia, argumen yang tidak memiliki referensi sumber yang terpercaya tidak bisa dianggap valid, sebagaimana argumen anda bahwa "penggantian nama 1966 bertujuan untuk menyakiti hati", "tidak ada orang yang hidup sejak zaman Cina belum berkonotasi negatif", dan lain-lain. Bahkan saya menemukan sumber yang menyatakan sebaliknya, generasi sekarang tidak lagi menganggap kata Cina bermakna menghina, karena sudah terbiasa hidup di zaman orde baru.[11] Ini saya tulis kutipannya:
Dalam studinya tentang pemakaian kata Cina di Indonesia, Asim Gunarwan (1999) sebetulnya telah memperlihatkan bahwa kata Cina itu pada zaman sekarang tidak lagi berkonotasi negatif. Generasi muda yang besar dan tumbuh pada masa Orde Baru semuanya sudah terbiasa dengan kata Cina dan tidak merasakan penghinaan. Generasi tuanya yang masih merasakan adanya konotasi peyoratif. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa bagi orang pribumi, kata Cina juga tidak peyoratif.
Arkwatem 09:42, 25 September 2007 (UTC)
Hak memberikan istilah
bennylin 11:16, 23 September 2007 (UTC) Saya merasa ini adalah hal yang 'absurd' dan tidak masuk di akal. Orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan (saya gunakan istilah bahasa Inggris ini untuk menjaga kenetralan, tapi Anda tahu posisi saya) harus menerima nama apapun yang akan dipakai untuk menyebut mereka oleh sekelompok orang lain. Oh, ironis sekali. Bayangkan skenario ini. PBB membentuk suatu badan untuk menstandarkan penamaan negara-negara dan orang-orang di dunia, dan tidak ada satupun orang Indonesianya, lalu tiba-tiba mengumumkan bahwa karena pemerintah negara Z di benua Y pada tahun XXXX menyebut Indonesia dengan istilah Negara Gajah, maka mulai saat ini semua orang Indonesia akan disebut Gajah, dan orang Indonesia tidak dapat berbuat apapun kecuali menerima bahwa mereka sekarang disebut Gajah oleh orang-orang lain, beberapa menganggap istilah Gajah tidak menyakitkan, beberapa menganggap istilah Gajah menyamakan diri mereka sebagai binatang sehingga marah, beberapa mengajarkan anak-anak mereka supaya menerima bahwa mereka adalah Gajah, beberapa mengingatkan anak-anak mereka bahwa pada jaman dahulu mereka adalah orang Indonesia, sebelum mereka disebut Gajah. [Perumpamaan ini banyak keterbatasannya, jadi mohon jangan diartikan melebihi yang dikehendaki penulis.]
Itulah menurut saya yang terjadi di sini, dan Anda, para Wikipedawan/wati adalah anggota badan PBB tersebut. Anda tidak peduli konotasinya karena ANDA BUKAN ORANG YANG DISEBUT, Anda hanya sekumpulan orang yang menyukai standar, mungkin ada satu-dua ahli bahasa. Semua orang tahu politik Soekarno, bagaimana kedekatan bung Karno dengan semua etnis, dan semua orang tahu politik Soeharto, bagaimana ia menjadikan etnis tertentu sapi perahan, etnis yang satu kambing hitam, dan etnis lainnya babi panggang. Nah, kecuali Anda adalah orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan, saya sungguh sangat merasa sekali bahwa Anda tidak punya hak bicara untuk menamakan kami apapun sekehendak Anda. Beberapa alasan umum yang digunakan oleh orang-orang yang bukan orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan, saya kutip tanpa menyebut nama:
- Janggal, tidak nyaman di lidah. Absurd, tapi inilah Indonesia, lebih baik gampang daripada benar
- Hanya kalangan tua yang menanggapnya negatif & istilah ci-na masih dipakai di antara orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan sendiri. Setuju, KARENA banyak yang sudah menyerah dan tidak mau susah payah meneruskan kebenaran masalah ini kepada keturunannya. Apakah semakin tua semakin tidak dapat dipercaya? Tentu saja tidak, malah sebaliknya, mereka adalah saksi-saksi sejarah yang masih hidup dan masih dapat diwawancarai. Bagaimana perasaan mereka ketika harus menerima tanpa perlawanan sebutan hinaan yang dialamatkan kepada mereka oleh rezim Soeharto? Jika ada yang mau bersusah payah melakukannya, Anda akan mendapatkan kebenarannya. Dan bagaimana dengan kita kaum-kaum muda yang terbuai selama puluhan tahun indoktrinasi Soeharto? Saya akui ada orang-orang yang tidak peduli, tapi apakah hal tersebut menjadikan penggunaan istilah tersebut dapat dibenarkan? Sekali lagi, bayangkan jika etnis/suku/ras Anda di posisi kami, dengan sejarah kami, dengan pengetahuan yang sekarang Anda ketahui, apakah Anda masih mau menggunakan istilah tersebut?
- Semua nama suku diganti agar tidak ofensif. Setahu saya hanya orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan saja yang mengalami perlakuan demikian, mohon pencerahannya
- Jawa, Batak, serta nama suku lainnya dapat dijadikan negatif. Namun aslinya tidak negatif bukan? Nah, "Ci-na" dari awalnya sudah negatif.
- Nama suku Dayak yang berkonotasi negatif. Maaf, bukan meragukan pernyataan Anda, melainkan ini adalah pertama kalinya saya mendengarnya, jadi, ya saya ragu-ragu :P dan perlu opini kedua. Kalau benar, saya juga menganjurkan orang-orang Dayak berjuang untuk mengganti istilah tersebut, karena saya bukan orang Dayak. Namun jika Anda ragu-ragu bahwa istilah "Ci-na" tidak selalu berkonotasi negatif, Anda dapat menanyakannya pada saksi-saksi sejarah yang saya maksud di atas.
- Situs surat kabar terbesar menggunakannya. Maka kita harus membenarkan yang salah??? Atau yang saya lakukan adalah mendukung yang benar (seperti Grup Jawa Pos) untuk menjadi surat kabar yang terbesar.
- Jumlah pencarian google maupun mesin pencari lain. Sejak kapan kita mencari kebenaran di mesin pencari??? Jumlah hits yang banyak menandakan istilah yang benarkah? Seribu orang menceritakan kebohongan akan menjadikannya benarkah? (dalam hal ini namanya kebenaran palsu)
- Hanya orang yang dari negara China yang akan disebut Ci-na. Terus terang saya harus berpikir dulu apakah orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan termasuk saya akan tersinggung dengan hal ini.
- Istilah Tiongkok merujuk ke kebudayaan lama dan kuna. Berapa lama tepatnya? Tepat sekali, sejak Soekarno kalah dan Soeharto berkuasa, 11 Maret 1966. Menurut saya justru sebaliknya, kita harus menganggap (dan saya setuju-setuju saja) kata "ci-na" merupakan relik/artefak kuna yang hanya digunakan dari tahun 1966 hingga 21 Oktober 2007 di Indonesia, nama-nama yang dipakai dalam kurun waktu itu, entah 'petai cina', 'pecinan', 'seperti cina kebakaran jenggot', 'tuntutlah ilmu sampai ke negri Cina' (saya ingat yang terakhir menggunakan kata "negri" tapi karena tidak sesuai dengan EYD diganti dengan "negeri" atau "negara", kenapa hal yang sama tidak berlaku untuk "Cina"?) maupun yang lain-lain, adalah peninggalan sejarah Orde Baru yang sudah kadaluarsa.
- Tidak semua yang menulis/mengucapkan kata ini bermaksud negatif. Saya seratus satu persen setuju. Mengapa tidak sekalian diganti, meskipun harus berhadapan dengan Yang Maha Besar Panitia Penyusun EYD Bahasa Indonesia
- KBBI. Apakah benar entri Tionghoa/Tiongkok diredireksikan ke "Cina" di dalam KBBI? Saya tidak tahu, namun kalaupun demikian, saya revisi terbaru perlu diusulkan yang sebaliknya.
- "Cina" tidak sama dengan kata hinaan Inggris "Chink" atau "Nigger". Masalah ini adalah unik di Indonesia, saya rasa kita semua kesulitan mencari persamaannya di sejarah Indonesia, maka saya beralih ke sejarah berikutnya yang saya akrabi, sejarah rasisme di Amerika Serikat modern. Mungkin contoh ini tidak sempurna, tapi paling tidak memberikan gambaran kasar tentang persamaan rasisme di kedua negara dalam hal istilah yang dipergunakan. Saya percaya orang-orang Asia, yang umumnya diwakili oleh orang-orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan di seluruh dunia mendapat nama-nama rasis dalam berbagai-bagai bahasa yang diciptakan oleh orang-orang yang menyedihkan (pathetic). Dalam konteks Indonesia, istilah tersebut adalah "ci-na", dalam konteks Amerika Serikat, kata tersebut adalah "chink" untuk ras kulit kuning, dan "nigger" untuk ras kulit hitam.
-Dan seperti yang bung Meursault sudah ungkapkan dengan jelas di atas, sadar-tidak sadar tidak ada orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan yang menggunakan kata "ci-na" untuk nama usaha mereka, biasanya mereka memilih jalan tengah istilah "Chinese" (Saya tidak tahu apa yang terjadi ketika Soeharto tidak puas dan menyuruh mengindonesiakan semua nama usaha asing, apa nama yang Chinese food restaurants pilih?). Untuk membuktikan saya masih bisa bercanda, mungkin karena mereka tahu bahasa Indonesia yang baik tidak menganjurkan repetisi, "Restoran Babi Cina" cuman berarti "Restoran Babi Babi", maka mereka memilih "Restoran Babi Chinese". Tertawa supaya sehat...
Sekali lagi saya ungkapkan posisi saya kalau Anda malas mengikuti diskusi di atas (dan saya yakin posisi sebagian besar orang Indonesia Tionghoa yang bebas dari cuci otak Soeharto):
- Kami tidak ingin dipanggil Ci-na
- Kami lebih suka dipanggil Tionghoa, atau kalau tiga suku kata terlalu panjang, gunakan ejaan Chai-na
- Kami lebih suka mengikuti istilah jaman Soekarno (buka Penjelasan UUD'45 Anda) yang menggunakan istilah Tiongkok dan Republik Rakyat Tiongkok, orang Tiongkok, bahasa Tionghoa, budaya Tionghoa untuk hal-hal yang berkenaan dengan Tiongkok
- Karena perbedaan politik, kami juga menggunakan istilah Republik China (baca: Chai-na) untuk menyebut pemerintahan daratan Taiwan atau Formosa dan orang Taiwan, bahasa Tionghoa, budaya Tionghoa untuk hal-hal yang berkenaan dengan Taiwan
- Daftar ini tidaklah lengkap, dan sewaktu-waktu dapat ditambah untuk hal-hal yang belum tercantumkan
Nah, kecuali ada lebih banyak orang Tionghoa Indonesia yang lebih suka disebu Ci-na daripada yang tidak suka, maka apa mau dikata, kadang-kadang yang salah pun bisa menang dalam proses demokrasi. Kita sedang menghadapi masalah benar-salah, bukan gampang-susah, atau umum-tidak umum.
NB: Mohon yang mencantumkan pranala luar (yang kalau dicari bisa didapat banyak) dapat memberikan sinopsis bagi mereka yang tidak sempat membacanya bennylin 11:16, 23 September 2007 (UTC)
- Menurut saya hak memberikan istilah itu ada pada sang penyebut, bukan pada sang disebut. Contoh yang lebih ringan, kroasia menyebut dirinya Hrvatska, kenyataannya disebut Kroasia (atau variasinya) hampir di seluruh dunia. Jadi dalam skenario Anda, walaupun saya tidak percaya hal tersebut akan terjadi, tapi kalau hal itu benar-benar terjadi, menurut saya orang-orang PBB tersebut akan tetap memanggil Indonesia "Gajah" dalam keperluan resmi, dan dalam ensiklopedia yang mereka buat namanya juga Gajah, walaupun kita begitu keberatan, kecuali kalau keputusan itu telah dicabut. Saya juga heran kenapa saudara Benny menganggap kata Cina itu sinonim dengan babi, saya baru pertama kali mendengar hal tersebut. Apa anda mempunyai sumber kenapa demikian? Arkwatem 10:03, 25 September 2007 (UTC)
- Tanggapan pertama: intinya kita keberatan kalau disebut gajah dan kita akan menempuh berbagai cara untuk menggantinya. Kalau orang Kroasia merasa kata tersebut menghina seperti Gajah, maka sudah seharusnya mereka bersuara, kalau mereka tidak bersuara, kita bisa mengganggapnya istilah tersebut tidak mem-'binatang'-kan mereka.
- Tanggapan kedua: Google
- bennylin - Bicara 09:07, 1 Oktober 2007 (UTC)
Lihat juga en:Names of China, dan halaman pembicaraannya. --Gombang 08:45, 1 Oktober 2007 (UTC)
- Satu nama yang menarik perhatian adalah Morokoshi en:Names of China#Morokoshi, disebutkan istilah ini dulu digunakan di Jepang. yang tidak disebutkan, nama ini berhenti digunakan ketika tahun 1895 Jepang menang perang atas Tiongkok dan perjanjian "Ma Kwan" ditandatangani. Jepang mendapatkan pampasan perang 200.000 kg emas dan pulau Formosa. Ketika itu orang Jepang berteriak girang, "Jepang menang! Cina kalah!" Dengan demikian, sejak saat itu mulailah dari menghormati Tiongkok menjadi memandang rendah dan menghina. Dari peperangan itulah, Jepang menyebut Tiongkok yang semula Morokoshi Kara menjadi "Qin-a" (entah ejaan latinnya bagaimana) sebagai istilah yang menghina. bennylin - Bicara 09:07, 1 Oktober 2007 (UTC)
- Mungkin Latinnya Shina. Asalnya katanya mungkin sama seperti kata Cina di Nusantara, yaitu kata Cin dalam bahasa Sansekerta. Lihat en:Shina (word). Ada pautan soal cerita peralihan nama itu? Di en:Shina (word) cerita itu tidak disebut-sebut, padahal di sana disebut juga kata ini kemudian mendapat makna ofensif. --Gombang 09:58, 1 Oktober 2007 (UTC)
Garis waktu
Berikut adalah kronologi/garis waktu metamorfosis/evolusi penggunaan istilah untuk menyebut orang/keturunan Chinese asli maupun perantauan (Kronologi ini bukan kronologi yang lengkap dan jangan dijadikan bahan rujukan hingga tercapai kata sepakat):
- sekitar seribu tahun lalu: pendatang dari daratan Tiongkok pertama datang. Mereka menyebut diri mereka Tenglang [yang berarti orang dinasti Tang, bukan orang dinasti Qin]
- Awal abad ke 20: di Jakarta beberapa tokoh Tionghoa dipimpin Phoa Keng Hek mendirikan perkumpulan 'Tionghoa Hwe Koan' dan orang-orang saat itu menolak sebutan yang lain
- pra-1928: bahasa Melayu masih merupakan lingua franca di wilayah Indonesia. Beberapa tulisan menggunakan kata 'tjina' (ejaan lama) atau 'tsina' (dari ejaan Arab) yang diserap ke dalam bahasa tersebut (entah dari mana, kemungkinannya Jepang). (ref: komentar bung Gombang)
- tahun 1928: Pada 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berutang budi" kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan tersebut, sepakat mengganti sebutan Tjina dengan Tionghoa
- setelah 1945: bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan Indonesia, istilah yang digunakan adalah 'tionghoa' (dari asal katanya Zhong Hua - 中華 atau 中华) dan 'tiongkok' (dari asal katanya Zhong Guo 中国/ negara tengah, keduanya dari dialek Amoy/Amoi/Xiamen/Hokkian) yang disepakati kedua negara. Indonesia saat itu dibawah pemerintahan Soekarno. (ref: Pembukaan UUD'45, dokumen-dokumen lain).
- Pada masa ini kata 'tjina' juga digunakan, namun khusus untuk maksud-maksud yang menghina, sedangkan kata 'tionghoa' dan 'tiongkok' tidak pernah digunakan untuk maksud ini. (ref: tautan yang diberikan bung Gombang)
- setelah 1966: Soeharto berkuasa, dikeluarkanlah ketetapan MPR (atau MPRS? lupa) serta Surat Edaran Presidium yang menghidupkan kembali istilah yang jelas-jelas pada jaman Soekarno dipakai sebagai hinaan, 'cina' dengan empat huruf: c-i-n-a (ejaan yang disempurnakan menggantikan ejaan Soewandi), yang selalu dipakai sebagai dasar pembenaran pengguna istilah ini. (ref: hampir semua media menggunakan istilah ini, mereka yang lahir setelah 1966 hanya akrab dengan istilah ini karena informasi yang ditutup-tutupi oleh pemerintah)
- Pada kurun waktu ini, dipergunakanlah istilah 'china' dan 'chinese' yang sebenarnya menyalahi aturan ketata-bahasaan, namun dianggap jauh lebih baik daripada istilah yang beredar. Istilah 'tionghoa' dan 'tiongkok' "diharamkan" oleh pemerintahan Soeharto
- Terjadi pula kekerasan anti-Tionghoa di Jakarta pada 22 April 1967
- Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis yang tidak pernah menggunakan istilah 'Cina' akhirnya ditutup oleh Soeharto.
- Tahun 1990: Terjadi perundingan membuka kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), terjadi hambatan soal sebutan. Pemerintah RI ingin mempertahankan sebutan Republik Rakyat Cina, sebaliknya pemerintah RRT ingin menyebut dirinya Republik Rakyat Tiongkok. Setelah terjadi perundingan cukup alot, dicapai kesepakatan menggunakan kata 'China' [dan 'Chinese' ], sehingga sebutannya menjadi Republik Rakyat China, dengan singkatan tetap RRC. Sebutan itu sungguh membingungkan, sehingga masyarakat Indonesia tetap saja menyebutnya [Republik Rakyat] Cina, bukan [Republik Rakyat] China dengan lafal Inggris.
- Pemerintahan Suharto mencoba tetap menggunakan sebutan "CINA" pada saat penyerahan Surat Kuasa Duta Besar Pertama RI untuk Tiongkok pada saat pencairan hubungan diplomatik tahun 1990, dan berakibat tertunda sesaat setelah ditolak oleh Pemerintah Tiongkok dan minta diganti dengan "CHINA" sesuai dengan perjanjian yang diterima kedua belah-pihak.
- setelah 1998: menurut studi yang dilakukan Asim Gunarwan (1999) (ref?), kata ini masih mengandung konotasi negatif, namun banyak anak muda yang tidak merasa tersinggung dan jarang digunakan sebagai hinaan (saya rubah sedikit susunan kalimatnya, namun intinya masih sama). (ref: catatan kaki Kompas di bawah)
- Setelah jatuhnya Soeharto, banyak seruan yang meminta supaya istilah hinaan tersebut diganti ke istilah aslinya yang digunakan sejak Indonesia merdeka, yaitu 'tionghoa' dan 'tiongkok'
- Peristiwa Mei '98 menyisakan kesedihan yang mendalam, banyak aksi kekerasan yang ditujukan kepada etnis tertentu dengan meneriakkan yel-yel/slogan ini (kecuali Anda tidur atau < 10 tahun Anda pasti tahu ceritanya)
- Presiden Habibie tidak berkomentar dalam masa tugasnya yang sebentar
- Presiden Megawati berpidato menggunakan istilah
- Presiden Gus Dur mendukung perubahan ini
- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung perubahan ini. Presiden Yudhoyono bersama Presiden Hu Jindao pada 2005 menandatangani Perjanjian Kemitraan antara RI dan RRT. ([15])
- Surat kabar Suara Pembaruan dan Jawa Pos mulai menggunakan kedua istilah ini (ref: [16] dan pranala sebelumnya)
- Jaringan Muda Tionghoa, INTI, dan banyak organisasi kemasyarakatan/kepemudaan terang-terangan menolak istilah ci-na (ref: pranala SBY dan Tiongkok/Tionghoa)
Jika dilihat kronologinya, kelihatan jelas bahwa Soeharto yang menghidupkan kembali istilah ini (saya setuju bukan dia yang menciptakan berdasarkan bukti-bukti di atas, dia tidak secerdas itu) lengkap dengan konotasi negatifnya tanpa:
- memperhatikan/memikirkan perasaan yang tersebutkan
- berusaha mengurangi/menghilangkan konotasi negatif tersebut
- bersusah payah menawarkan alternatif istilah 'tionghoa' dan 'tiongkok'
Semua sumber untuk kronologis ini diambil dari diskusi ini dan tautan/pranala yang disediakan di diskusi ini. mungkin tidak semua statemen saya beri referensinya, namun semuanya ada di diskusi ini. kalau ada yang bisa melengkapi dipersilakan, apalagi kalau ada pranala-pralana lain. bennylin 05:17, 26 September 2007 (UTC)
NB: Oh iya, kalau ada yang mau menghubung-hubungkan dengan bahasa lain kecuali Indonesia dan Mandarin/Tionghoa jangan di sini deh, mereka tidak ada hubungannya selain memperkeruh kebahasaan Indonesia. – komentar tanpa tanda tangan oleh Bennylin (b • k).
- Bung benny, padahal etnis Cina sudah berada di Indonesia sejak ribuan tahun yang lalu, kenapa timeline nya dimulai dari abad ke-20 saja. Setelah saya baca artikel ini [17], hal-hal yang terjadi sebelum abad ke-20 adalah:
- lk. seribu tahun yang lalu: komunitas Cina/Tionghoa mulai berada di berbagai wilayah Nusantara. Mereka menamakan diri Tenglang atau orang dari dinasti Tong (dialek Hokkien)
- orang-orang belanda datang ke Indonesia, dan mereka menyebut bangsa ini "Chineesen" dan dan negerinya disebut Chi'na, diduga berasal dari nama dinasti Chin. Penduduk asli ikut ikutan menyebut Cina, sedangkan orang Jawa menyebut Cino atau Cinten. Tidak ada konotasi buruk dari nama ini, bahkan orang Cina sendiri pun menyebut dirinya Cina. Hal ini berlangsung hingga abad ke-19.
- abad ke-19 pemerintah belanda mendatangkan buruh-buruh dari daratan Cina/Tiongkok dan mereka berusaha berbaur dengan warga asli. Namun, karena berasal dari keluarga miskin sifat mereka cenderung pelit, sehingga stereotip mereka saat itu adalah pelit dan egois, hingga stereotip itu melekat pada istilah "Cina" itu sendiri.
- Selanjutnya seperti diterangkan bennylin, kata "Cina" menjadi ofensif sehingga diubah menjadi Tiongkok/Tionghoa, namun pada masa Soeharto dikembalikan menjadi Cina. Dan penelitian 1999 menunjukkan istilah Cina kini tidak lagi ofensif. (sumber:Kompas)
- Ringkas kata, istilah "Cina" awalnya biasa saja, terus sesaat di tengah-tengah menjadi negatif, terus akhirnya kembali normal lagi. jadi menurut saya tidak ada yang salah mengenai istilah ini. Arkwatem 15:30, 26 September 2007 (UTC)
Istilah "Cina" nggak mungkin dari istilah "Shina" dari Jepang karena tidak ada bukti hubungan Nusantara dengan Jepang di masa kuna. Menurut kebahasaan, istilah "Cina" yang kita pakai sekarang lebih mungkin kita dapat dari Bahasa Sanskerta (Cin) dan atau Bahasa Arab (Tsina) karena bangsa-bangsa ini sendiri termasuk dari beberapa bangsa yang telah berhubungan dengan Negeri Cina sejak lama. Bisa diperhatikan bahwa beberapa bangsa yang memiliki panggilan serupa dengan "Cina" mengambil dari Kekaisaran Qin. Selain Sanskerta (Cin) Arab (Tsin), ada Korea (Jin, Chin), Malayalam (Cheenan/Cheenathi), Persia (Chin), Tamil (Cheenaa), Urdu (Čīn), Thai (Jiin), Tagalog (Tsina) dst. Kebanyakan bangsa ini telah memiliki hubungan dengan Cina sejak lama (baik secara langsung maupun tidak langsung), khususnya pada masa Qin. Dapat dilihat bahwa penggunaan istilah "Cina" di Nusantara berlangsung alami seperti juga di negara-negara lainnya yang memiliki pengucapan serupa.Bhaskara 10:10, 26 September 2007 (UTC)
Tabel perbandingan pro-kontra
Silakan ditambahi pro-kontranya menurut Anda.
Pro | Kontra | |
---|---|---|
Tionghoa/Tiongkok | *Presiden Soekarno, Megawati, Gus Dur, SBY memilih istilah ini *Orang Tionghoa memilih istilah ini * |
*Terlalu panjang (3 suku kata) *lidah Indonesia tidak terbiasa mengucapkannya * |
Chinese/China | *Jalan tengah antara kedua pihak *Digunakan sebagai nama Kedutaan Besar * |
*Tidak sesuai tata bahasa Indonesia *Sebagian orang masih mengucapkannya seperti Cina, bukan dengan ejaan Inggris 'Caina' (dengan demikian tidak ada bedanya) * |
Cina | *Banyak orang non-Cina memilih menggunakan istilah ini *Pernah digunakan sebelum munculnya istilah Tionghoa/Tiongkok dan sesudahnya masih tetap digunakan (historis) * |
*Dianggap menghina oleh sebagian kalangan *Didesak untuk diganti oleh etnis Tionghoa (antara lain Jaringan Muda Tionghoa dan INTI) * |
Lain-lain
Keturunan di Negara lain
Bagaimana dengan keturunan Cina/Tionghoa yang ada di luar negeri tapi bukan Cina sendiri? Misalnya di Amerika, Australia, Singapura, dll? kan tidak tercover diatas? -- Arkwatem Bicara
- Sama seperti di China sendiri menurut saya. Meursault2004ngobrol 13:52, 21 September 2007 (UTC)
Indochina
Banyak artikel yang saya perhatikan juga mencantumkan istilah 'Indocina'/'Indo cina'/'Indo china' yang semuanya saya ganti menjadi 'Indochina' apakah tidak ada masalah dengan hal ini? bennylin 00:03, 23 September 2007 (UTC)
Mandarin
Lalu ada pula masalah Mandarin (bukan makanan lho ya, bung Meursault, *wink*wink*) yang saya kira relevan dengan isu yang kita bahas, yang biasanya dilekatkan dengan kata bahasa untuk menyebut bahasa yang digunakan di negara China atau oleh orang/keturunan Chinese asli atau perantauan. Apakah ada yang berniat mempertahankannya? Pendapat pribadi sih kata ini merupakan turunan dari sebutan Manchuria/Dinasti Qing yang notabene bagian negara China sendiri yang dihuni oleh etnis minoritas suku Manchu yang pada era pembukaan negara China dengan peradaban Eropa kebetulan sedang menguasai seluruh negeri tersebut, dan bangsa-bangsa Eropa salah kaprah menyebut bahasa Han (Hanzi) sebagai bahasa Mandarin, yang pada akhirnya dibawa ke Indonesia dan membuat bingung linguistik-linguistik setanah air. bennylin 12:46, 23 September 2007 (UTC)
- Kueh Mandarijn maksudnya buatan Orion ... Kalau menurut saya nama bahasa Mandarin tetap dipertahankan saja. Nama Mandarin ini asalnya bukan dari Mansuria tetapi, percaya tidak konon bahkan dari bahasa Melayu. Nama ini berdasarkan kata Menteri yang lalu pelafazan menjadi berubah dalam bahasa Eropa. Mengapa disebut bahasa Menteri? Karena inilah bahasa para pejabat. Orang biasa menuturkan bahasa daerah seperti bahasa Hokkien, Hakka, Min, Kanton dsb. Kata ini malahan netral dan orang langsung mengerti apa yang dimaksud sebenarnya. Meursault2004ngobrol 13:51, 23 September 2007 (UTC)
Artikel Tiongkok
Bagaimana nasib artikel Tiongkok? menurut saya keberadaan artikel tersebut dengan judulnya sekarang cukup mengganggu (liat aja pranala baliknya). Saya usul "Tiongkok" diredirect ke artikel ini, dan isi artikel tersebut sekarang dipindahkan ke Cina (istilah) atau Tiongkok (istilah), mana yang menurut Saudara-saudara bagus. -- Arkwatem Bicara 13:49, 21 September 2007 (UTC)
- Mungkin Tiongkok (istilah) yang baik, jangan dihapus. Meursault2004ngobrol 13:54, 21 September 2007 (UTC)
- Ah saya ada ide baru: dibuat saja menjadi halaman disambiguasi. Tapi info yang ada di halaman tersebut jangan dihapus. Meursault2004ngobrol 04:49, 22 September 2007 (UTC)
apa maksud Anda halaman bernama "Tiongkok" adalah halaman disambiguasi? menurut saya itu tetap mengganggu, mengingat banyaknya artikel yang berpranala ke "Tiongkok" dan sebenarnya merujuk pada RRC. Kalau pendapat saya, "Tiongkok" dan "Cina" redirect ke halaman ini (RRT/RRC, tergantung yang mana yang dipilih nanti), terus ada tulisan
Nah di artikel "Tiongkok (istilah)" artikel "Tiongkok" sekarang dipindahkan. bagaimana? Arkwatem 05:33, 22 September 2007 (UTC)
Diperbaiki sajalah pranala baliknya. Jadi langsung ke RRC. Ya memang susah sih harus dilihat satu-satu. Kecuali ada bot. Meursault2004ngobrol 05:39, 22 September 2007 (UTC)
- Walaupun yang sekarang kita ubah semua, in future orang tetap cenderung menulis [[Cina]] saja, karena lebih sederhana dibanding harus menulis [[Republik Rakyat Cina|Cina]]. Menurut saya solusi saya diatas yang lebih bagus. Arkwatem 05:43, 22 September 2007 (UTC)
- Coba lihat en:China. Artikel di en: lebih cenderung mirip dengan artikel Tiongkok kita. Karena Cina/Tiongkok harus dilihat sebagai konsep budaya dan berbeda dengan RRC atau Republik China. Meursault2004ngobrol 05:47, 22 September 2007 (UTC)
- Hmm, artikel en: itu nampaknya membahas kebudayaannya. Sedangkan punya kita membahas istilahnya. Kita tidak punya artikel mengenai kebudayaannya :( jadi gimana? Arkwatem 06:17, 22 September 2007 (UTC)
Di Wikipedia bahasa Malaysia
Terima kasih kepada Meursault2004 karena menjemput saya memberikan pendapat saya tentang persoalan ini. Bagi saya, kerajaan Indonesia ialah penganjur rasmi untuk bahasa Indonesia, tiada badan rasmi yang lain. Maka dengan itu, apa yang diputuskan oleh badan bahasa yang rasmi adalah rasmi.
Kekadangnya, sesuatu negara juga akan menukarkan nama sendiri apabila terdapat pertukaran kerajaan. Dengan itu, kita pun kena ikut. Tiada pilihan juga.
Bagi saya, istilah dan ejaan "Tionghoa" dan "Tiongkok" mungkin hanya digunakan di Indonesia dan merupakan sebutan loghat Minang (iaitu Hokkien dalam bahasa Malaysia). Wikipedia bahasa Melayu menggunakan "orang Cina" tetapi "China" dan "Republk Rakyat China" kerana istilah-istilah itulah yang diisytiharkan oleh kerajaan Malaysia yang merupakan penganjur bahasa Malaysia/Melayu.
Mengapakah Malaysia menggunakan ejaan "Republik Rakyat China" dan bukannya "Republik Rakyat Cina" yang menepati sistem ejaan bahasa Malaysia? Karena Mao Zedong telah meminta Tun Abdul Razak (Perdana Menteri Malaysia ketika itu) supaya mengekalkan ejaan "China" semasa Tun Abdul Razak melawatinya pada tahun 1974 sejurus sebelum pemilu. Oleh yang demikian, ejaan "China" yang salah kini dipergunakan di Malaysia, walaupun atas alasan politik. — PM Poon 08:57, 22 September 2007 (UTC)
- Terima kasih banyak saudara PM Poon atas keterangannya mengenai situasi di Malaysia. Saya kira hal ini bisa menjadi bahan masukan pula bagi kami yang sedang membicarakan hal ini di Wikipedia bahasa Indonesia. Meursault2004ngobrol 09:14, 22 September 2007 (UTC)
Bagaimana menukarkan perkataan untuk lebih daripada satu halaman
Hi Mersault2004, jika Anda hendak menukarkan semua perkataan "Cina" kepada "Tiongkok", Anda boleh berbuat demikian dengan mengikut panduan di halaman MediaWiki Project:Support. Dengan itu, Anda tidak perlu mengambil banyak masa untuk melakukan perkara ini. — PM Poon 19:16, 23 September 2007 (UTC)
- Terima kasih banyak atas tipnya. Nanti jika sudah ada suatu keputusan bisa dicuba penjelasan ini. Tapi sementara ini masih dalam diskusi untuk satu bulan ke depan. Meursault2004ngobrol 19:19, 23 September 2007 (UTC)
Catatan kaki
- ^ http://www.indonesiamedia.com/2006/02/early/berta/jawa%20pos.htm link satu ini bisa jadi bahan referensi
- ^ http://www.suarapembaruan.com/News/2007/03/05/Editor/edit03.htm Artikel ini
- ^ http://id.china-embassy.org/indo/ Situs resmi termaksud
- ^ http://id.china-embassy.org/indo/whjy/t305195.htm situs termaksud
- ^ http://id.china-embassy.org/indo/zgyyn/zywx/t87511.htm Kawat ucapan selamat atas ulangtahun ke 50 hubungan diplomatik
- ^ http://www.google.co.id/search?hl=en&q=China+site%3Akompas.com&btnG=Search&meta= China 28600 kali
- ^ http://www.google.co.id/search?hl=en&q=Cina+site%3Akompas.com&btnG=Search&meta= Cina 16200 kali
- ^ http://www.google.co.id/search?hl=en&q=Tionghoa+site%3Akompas.com&btnG=Search&meta= Tionghoa 3730 kali
- ^ http://www.google.co.id/search?hl=en&q=Tiongkok+site%3Akompas.com&btnG=Search&meta= Tiongkok hanya 569 kali
- ^ http://www.snb.or.id/?page=artikel&id=367&subpage=Artikel&lan=&year=2007/03/05 suatu artikel berjudul "Cina, Tionghoa dan Tiongkok" yang ditulis oleh seorang pengamat sosial dan politik (Benny G Setiono)
- ^ a b Kutipan dari Kompas:Dalam studinya tentang pemakaian kata Cina di Indonesia, Asim Gunarwan (1999) sebetulnya telah memperlihatkan bahwa kata Cina itu pada zaman sekarang tidak lagi berkonotasi negatif. Generasi muda yang besar dan tumbuh pada masa Orde Baru semuanya sudah terbiasa dengan kata Cina dan tidak merasakan penghinaan. Generasi tuanya yang masih merasakan adanya konotasi peyoratif. Penelitian itu juga menunjukkan bahwa bagi orang pribumi, kata Cina juga tidak peyoratif.KOMPAS
- ^ laman web ini
- ^ ini
- ^ sini
- ^ SBY dan Tiongkok/Tionghoa
- ^ ini
- ^ [1]
Pranala luar
- [2] Boleh juga dibaca sebagai tambahan referensi
- Dewan Pers Perlu membuat pedoman sebutan Tionghoa bagi media - Antara 20/07/07 Dewan Pers belum dan perlu membuat pedoman atau peraturan untuk media mengenai penyebutan yang tepat apakah Cina, China atau Tionghoa. Penggunaan istilah Cina/China untuk warga suku Tionghoa semestinya sudah dihapus dari media setelah terbit Undang-undang No 29/1999
Referensi
- Undang-undang No 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.
- Keputusan Presidium Kabinet, 25 Juli 1967 yang memutuskan penggantian sebutan "Tiongkok/Tionghoa" menjadi "Cina"
Pemungutan suara
- dipindahkan ke Pemungutan suara
Tidak perlu maki-maki
Diskusi ini akan lebih baik jika tidak memaki-maki borgx(kirim pesan) 23:46, 26 September 2007 (UTC)
- apa "penghinaan" terhadap beberapa mantan presiden RI tersebut perlu dihapus? di en: harus segera dihapus lo, [3] di id: belum ada aturannya. Arkwatem 23:55, 26 September 2007 (UTC)
- sori borgxbennylin 00:04, 27 September 2007 (UTC)
Analisis Pemungutan Suara
RRC (Republik Rakyat Cina)
Total pemilih 11 suara sah.
RRC (Republik Rakyat China)
Total pemilih 3 suara sah.
RRT (Republik Rakyat Tiongkok)
Total pemilih 6 suara sah
Hasil
- Apakah masuk quota untuk RRC menang?
- Kalau tidak masuk quota apakah mau pemungutan suara babak dua untuk RRC (Cina) dan RRT saja?
Tiongkok
- 5 pemilih setuju pada : Merujuk pada situasi pra 1911 ketika negara masih berbentuk Kekaisaran/Kerajaan dan belum berbentuk Republik.
- 1 pemilih setuju pada entah apa (that would be you REX)
- 1 pemilih setuju dengan definisi yang berbeda: Merujuk kepada wilayah yang disebut "China" dalam bahasa Inggris, bukan kepada "The People's Republic of China". (Stephen)
Karena definisi persetujuan berbeda apakah sah untuk berkata 5 vs 1 vs 1 -- apakah memenuhi kuota atau mau menunggu?
Orang (merujuk pada orang keturunan/berdarah campuran di Indonesia)
Orang/Keturunan Tionghoa
- 12 pemilih setuju (orang) dan berlapis dengan 4 pemilih (keturunan dan/atau orang).
- Total suara untuk orang+keturunan = 18 suara
Orang/Keturunan Cina
- 3 suara
Hasil
- Apakah masuk quota untuk orang/keturunan Tionghoa untuk menang?