Seni tradisional Banjar

Seni suku banjar
Revisi sejak 22 Oktober 2007 13.13 oleh 58.26.164.34 (bicara) (seni anyaman rotan)

Seni Tradisional Banjar :

.

Seni Tradisional Banjar Tak Berbasis Sastra

Suku Banjar mengembangkan seni dan budaya yang cukup lengkap, walaupun pengembangannya belum maksimal, meliputi berbagai bidang seni budaya.

Seni Tari

Seni Tari suku Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya :

  • Tari Baksa Kembang, dalam penyambutan tamu agung.
  • Tari Baksa Panah
  • Tari Baksa Dadap
  • Tari Baksa Lilin
  • Tari Baksa Tameng
  • Tari Radap Rahayu, dalam upacara perkawinan
  • Tari Kuda Kepang
  • Tari Japin/Jepen
  • Tari Tirik
  • Tari Gandut
  • Tarian Banjar lainnya

Lagu Daerah

Lagu daerah Banjar yang terkenal misalnya :

Seni Rupa Dwimatra

Seni Anyaman

Seni anyaman dengan bahan rotan, bambu dan purun sangat artistik. Anyaman rotan berupa tas dan kopiah.

Seni Lukisan Kaca

Seni lukisan kaca berkembang pada tahun lima puluhan, hasilnya berupa lukisan buroq, Adam dan Hawa dengan buah kholdi, kaligrafi masjid dan sebagainya. Ragam hiasnya sangat banyak diterapkan pada perabot berupa tumpal, sawstika, geometris, flora dan fauna.

Seni Tatah/Ukir

Seni ukir terdiri atas tatah surut (dangkal) dan tatah babuku (utuh). Seni ukir diterapkan pada kayu dan kuningan. Ukiran kayu diterapkan pada alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid, bagian-bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan diterapkan benda-benda kuningan seperti cerana, abun, pakucuran, lisnar, perapian, cerek, sasanggan, meriam kecil dan sebagainya. Motif ukiran misalnya Pohon Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal, kawung, geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.

Seni Rupa Trimatra (Rumah Adat)

Rumah adat Banjar ada beberapa jenis, tetapi yang paling menonjol adalah Rumah Bubungan Tinggi yang merupakan tempat kediaman raja (keraton). Jenis rumah yang ditinggali oleh seseorang menunjukkan status dan kedudukannya dalam masyarakat. Jenis-jenis rumah Banjar:

  1. Rumah Bubungan Tinggi, kediaman raja
  2. Rumah Gajah Baliku, kediaman saudara dekat raja
  3. Rumah Gajah Manyusu, kediaman "pagustian" (bangsawan)
  4. Rumah Balai Laki, kediaman menteri dan punggawa
  5. Rumah Balai Bini, kediaman wanita keluarga raja dan inang pengasuh
  6. Rumah Palimbangan, kediaman alim ulama dan saudagar
  7. Rumah Palimasan (Rumah Gajah), penyimpanan barang-barang berharga (bendahara)
  8. Rumah Cacak Burung (Rumah Anjung Surung), kediaman rakyat biasa
  9. Rumah Tadah Alas
  10. Rumah Lanting, rumah diatas air
  11. Rumah Joglo Gudang
  12. Rumah Bangun Gudang


Wayang Banjar

Wayang Banjar terdiri dari wayang kulit dan wayang orang yang disebut wayang Gung / wayang Gong.

Mamanda

Mamanda merupakan seni teater tradisonal suku Banjar.

Seni Tradisonal Banjar Berbasis Sastra (Folklor Banjar)

Lamut

Madihin

Madihin, Ikon Kecerdasan Linguistik Etnis Banjar di Kalimantan Selatan

Oleh Tajuddin Noor Ganie, MPd

Etimologi dan definisi

Madihin berasal dari kata madah dalam bahasa Arab artinya nasihat, tapi bisa juga berarti pujian. Puisi rakyat anonim bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari khasanah di luar folklor Banjar.

Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut : puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel.

Bentuk fisik

Masih menurut Ganie (2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya saling berkaitan secara tematis.

Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.

Status Sosial dan Sistim Mata Pencaharian Pamadihinan

Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar).

Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.

Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5) terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.

Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan rupiah.

Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).

Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik relatif tinggi frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah besar.

Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar : Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel

Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala. Selain Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.

Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin

Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin.

Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).

Datu Madihin yang menjadi sumber asal-usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.

Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin

Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar Berbentuk Madihin dalam buku Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119).

Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi, dan Nilai Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.

Etimologi dan Definisi

Secara etimologis, istilah peribahasa menurut Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari bahasa Sanksekerta pari dan bhasya, yakni bahasa (bhasya)yang yang disusun secara beraturan (pari). Etnis Banjar di Kalsel menyebut peribahasa dengan istilah paribasa (Hapip, 2001:137), istilah ini hampir sama dengan istilah paribasan dalam bahasa Jawa yang digunakan di DI Yogyakarta, Jateng, dan Jatim.

Menurut Tajuddin Noor Ganie (2006:1) dalam bukunya berjudul Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, peribahasa Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang pola susunan katanya sudah tetap dengan merujuk kepada suatu format bentuk tertentu (bersifat formulaik), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.

Berdasarkan karakteristik bentuk fisiknya, peribahasa Banjar menurut Ganie (2006:1) dapat dipilah-pilah menjadi 2 kelompok besar, yakni : (1) Peribahasa Banjar berbentuk puisi, terdiri atas : (a) Gurindam, (b) Kiasan, (c) Mamang Papadah, (d) Pameo Huhulutan, (e) Saluka, dan (f) Tamsil, dan (2) Peribahasa Banjar berbentuk kalimat, terdiri atas : (a) Ibarat, (b) Papadah, (c) Papatah-patitih, (d) Paribasa, dan (e) Paumpamaan.

Perbedaan bentuk fisik antara peribahasa Banjar yang berbentuk puisi dengan peribahasa Banjar yang berbentuk kalimat terletak pada jenis gaya bahasa yang dipergunakannya. Peribahasa berbentuk puisi mempergunakan gaya bahasa perulangan, sementara peribahasa berbentuk kalimat mempergunakan gaya bahasa perbandingan, pertautan, dan pertentangan.

Ragam/Jenis Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi

Istilah Gurindam tidak ada padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama dalam khasanah peribahasa Banjar berbentuk puisi.

Menurut Ganie (2006), Gurindam Banjar adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun dalam bentuk 2 baris puisi bersajak akhir a/a baik secara vertikal maupun horisontal, kata-kata pada baris 1 berstatus sebagai syarat (sebab) dan kata-kata pada baris 2 berstatus sebagai jawaban (akibat).

Contoh Gurindam Banjar : (1) Banyak muntung bagawi kada manuntung, (2) Kabanyakan guring awak kurus karing, (3) Kabanyakan rangka habis kada sahama-hama, (4) Ngalih mambuang batu di palatar, ngalih mambuang laku amun sudah dasar, (5) Talalu harap, tatiharap, (6)Talalu pilih, taplih bangkung, (7) Talalu puji, takujiji, dan (8) Talalu runding takujihing

Kias dalam bahasa Indonesia sama saja artinya dengan kias dalam bahasa Banjar.

Menurut Ganie (2006), Kiasan Banjar adalah kata-kata kiasan dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi yang dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan suatu maksud secara tidak langsung kepada orang lain.

Contoh Kiasan Banjar : (1) Baduduk salah, badiri salah, (2) Bapatah bilah, bapatah harang, (3) Dalas jadi habu jadi harang, (4)Disambat mati uma, kada disambat mati abah, (5) Kada ada kukus amun kada ada api, (6) Kaya kalambuai, naik kawa, turun kada kawa, (7) Kaya bulan lawan bintang, (8) Kuduk kada mati, ular kada kanyang (9) Lapas muntung harimau, masuk ka muntung buhaya (10) Makin tuha makin baminyak (11) Naik di kapuk turun di hanau (12) Naik di pinang turun di hanau, (13) Naik di pinang turun di rukam, (14) Pilanduk bisa kalumpanan lawan jarat, jarat kada kalumpanan lawan pilanduk (15) Salapik sakaguringan, sabantal sakalang gulu, (16) Sarantang saruntung samuak saliur, (17) Urang nangkanya, saurang gatahnya, dan (18) Wani manimbai, wani manajuni

Menurut Ganie (2006), Mamang Papadah adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi yang dipergunakan sebagai sarana untuk memberikan pengertian, menganjurkan, melarang, mengajarkan suatu pegangan hidup, memberi petuah, dan menyuruh kepada suatu kebaikan.

Contoh Mamang Papadah : (1) Adat urang main, ada kalah ada manang, (2) Akal diakali, pikir dipikirakan, (3) Allahhu wahadah, Inya mambari kada bawadah, Inya maambil kada bapadah, (4) Badiri sadang baduduk sadang, (5) Baik sakit di mata pada sakit di hati, )6) Baik manyasal di hulu riam, pada manyasal sudah ka hilir riam, (7) halus-halus iwak, ganal-ganal biawak, (8) Kada diam parang kada diam pisau, (9) Kambang kada sakaki, kumbang kada saikung, alam kada batawing, (10) Lain danau lain iwaknya, (11) Raja lawan putri, pantul lawan amban, dan (2) Tabarusuk batis kawa dicabut, tabarusuk basa jadi hual.

Menurut Ganie (2006), Pameo Huhulutan adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi yang dipergunakan sebagai sarana untuk mengolok-olok, mencaci-maki, mengejek, mengeritik, menghina, atau menyindir seseorang atau suatu keadaan.

Contoh Pameo Huhulutan : (1) Ada kada malabihi, kada ada kada mangurangi, (2) Ada sifat ada kijik, (3) Asam janar, siapa marasa banar, (4) Diam parang, diam pisau (5) dicari sahari dimakan sahari, (6) Di situ makan di situ bahira, (7) Diulah baju kaganalan, diulah salawar kahalusan, (8) Handak angkung langsat tadapat bangkung tiwadak, (9) Ia kandang ia babi, (10) Imbah satabul satabul pulang, (11) Kada purun tikus, matan purun banar, (12) Lagi di banua saurang kaya macan, sudah di banua urang kaya acan, (13) Lain nang disurung, lain nang dikalang, (14)Lancar paandir bahira maucir, (15) Mana manyatang mana manyatupur, (16) Mata kaya mata maling, (17) Salagi bungkuk, salagi dihantak, (18) Tabang nani rabah ka natu, tabang natu rabah ka nani, (19) Tangga urang diulur, tangga saurang ditarik, (20) Turun hayam naik hayam, (21) Urang manyurung tungkat, inya manyurung galagar, (22) Ya surak ya maling.

Menurut Ganie (2006), Saluka Banjar adalah kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk puisi 2 baris atau 4 baris bersajak akhir vertikal a/a, a/a/a/a, a/a/b/b, a/b/a/b.

Contoh Saluka Banjar : {1) Nang manis, jangan lakas ditaguk. Nang pahit, jangan lakas diluak, (2) Parak bau tahi, jauh bau kambang. Parak bakalahi, jauh bagaganangan, (3) Tik nung kalikir pacah. Itik bakunyung kada basah, dan (4) Ujar habar banyak baiwak, saikung-ikung kada mawadi. Ujar habar banyak nang handak, saikung-ikung kadada nang jadi.

Menurut Ganie (2006), Tamsil Banjar adalah kata-kata kiasan yang bersajak dan berirama dalam bahasa Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk barias-baris puisi.

Contoh Tamsil Banjar : (1) Baundur supan, bamara takutan, bagana kada tahan, dan (2) Mambatat mangadalun, dijamur kada mau karing, dirandam kada mau bangai, dibanam kada mau hangit.

Simpulan

Berdasarkan paparan dan contoh-contoh di atas, maka dapat disimpulkan semua ragam/jenis peribahasa Banjar berbentuk puisi, setidak-tidaknya memiliki salah satu dari 3 ciri karakteristik bentuk, yakni : (1) adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama, (2) adanya kosa-kata yang hampir sama secara morfologis, dan (3) adanya kosa-kata yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a baik secara vertikal maupun secara horisontal di awal, di tengah, atau di akhir baris/larisk. Ciri-ciri karakteristik bentuk yang demkian itu identik dengan gaya bahasa perulangan (repetisi).

Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar Berbentuk Peribahasa Berbentuk Puisi dalam Jatidiri Diri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119).

Peribahasa Banjar Berbentuk Kalimat

Pantun Banjar

Nasib Buruk Pantun Banjar di Kalimantan Selatan

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd. Pengelola Harian Rumah Pustaka Folkor Banjar

Etimologi, Definisi, dan Bentuk Fisik

Pantun merupakan pengembangan lebih lanjut dari Peribahasa Banjar. Istilah pantun sendiri menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).

Sesuai dengan asal-usul etimologisnya yang demikian itu, maka pantun memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang disusun sedemikian rupa dengan merujuk kepada sejumlah kriteria konvensional menyangkut bentuk fisik dan bentuk mental puisi rakyat anonim.

Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini, yakni : (1) setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah, (2) jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris (pantun biasa dan pantun berkait), (3) pola formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait), (4) khusus untuk pantun kilat, baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi, (5) khusus untuk pantun biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus isi, dan (6) lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.

Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik 3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini, pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun tak mulia.

Disebut pantun mulia jika sampiran pada larik 1-2 berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah pantun yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja, tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4.

Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.

Hampir semua suku bangsa di tanah air kita memiliki khasanah pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik local genius bangsa Indonesia sendiri.

Istilah pantun tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor Banjar).

Dalam definisi yang sederhana pantun Banjar adalah pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar. Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam khasanah folklor Banjar.

Fungsi Sosial Pantun Banjar

Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya.

Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.

Status Sosial Pamantunan

Pamantunan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengolah kosa-kata berbahasa Banjar sehingga dapat dijadikan sebagai sarana retorika yang fungional.

Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamantunan, yakni : (1) terampil mengolah kosa-katanya sesuai dengan tuntutan yang berlaku dalam struktur bentuk fisik pantun Banjar, (2) terampil mengolah tema dan amanat yang menjadi unsur utama bentuk mental pantun Banjar, (3) terampil mengolah vokal ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional di depan khalayak ramai, (4) terampil mengolah lagu ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional, (5) terampil dalam hal olah musik penggiring penuturan pantun (menabuh gendang pantun), dan (6) terampil dalam menata keserasian penampilannya sebagai seorang Pamantunan.

Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk dipenuhi oleh seorang Pamantunan membuatnya tergoda untuk memperkuat tenaga kreatifnya dengan cara-cara yang bersifat magis, akibatnya, profesi Pamantunan pada zaman dahulu kala termasuk profesi kesenimanan yang begitu lekat dengan dunia mistik. Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan Pamantunan ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya dengan kekuatan supranatural yang disebut Pulung.

Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat Pulung inilah seorang Pamantunan dapat mengembangkan bakat alam dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).

Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung hanya diberikan kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).

Datu Pantun adalah seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal pantun di kalangan etnis Banjar di Kalsel.

Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun, jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan pada malam-malam gelap tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.

Datu Pantun diundang berhadir dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh secukupnya. Jika Datu Pantun berkenan memenuhi undangan, maka Pamantunan yang bersangkutan akan kesurupan (trance) selama beberapa saat. Sebaliknya, jika Pamantunan tak kunjung kesurupan itu berarti mandatnya sebagai seorang Pamantunan sudah dicabut oleh Datu Pantun. Tidak pilihan baginya kecuali mundur secara teratur dari panggung Baturai Pantun (pensiun).


Pantun Banjar Masa Kini : Bernasib Buruk

Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya pantun Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan tahun tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.

Pantun Banjar yang masih bertahan hanya pantun adat yang dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset (bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau dalam naskah-naskah tausiah para ulama.

Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang fungsional (bukan sekedar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan informal, memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik pemerintah atau swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel. Tulisan saya di Wikipedia ini boleh jadi termasuk salah satu usaha itu.

Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh kali digelar kegiatan lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka acara Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan.

Sumber Rujukan : Tajuddin Noor Ganie, 2006. Identitas Puisi Rakyat Berbentuk Pantun Banjar dalam buku Identitas Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119, Propinsi Kalimantan Selatan

Syair Banjar

Mantra Banjar (Bacaan)