Nano Suratno
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus. |
Nano Suratno | |
---|---|
Lahir | Nano Suratno |
Pekerjaan | karawitan sunda kesenian sunda seniman budayawan |
Tahun aktif | 1970-2010 |
Nano Suratno lahir di Garut, Jawa Barat, 4 April 1944. Karena minatnya yang besar kepada musik karawitan, setelah lulus SMP, melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar) di Bandung (1961) . Setelah tamat, ia mengajar di SMP 1 Bandung dan kemudian pindah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Beberapa tahun kemudian melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dan STSI Jurusan Karawitan Sunda sampai selesai. Ia menghabiskan hidupnya di sebuah rumah di Kota Bandung, tepatnya Gang H Ahmad, Jalan Muhammad Toha.
Ia merupakan salah satu maestro musik sunda yang melegenda. Banyak karya-karya yang ia hasilkan terutama di musik karawitan dan lagu-lagu sunda. Banyak juga penyanyi-penyanyi sunda yang populer bekat lagu ciptaannya.
Kehidupan Awal
Nano Suratno lahir di Pasar Kemis, Tarogong, Garut, Jawa Barat, pada 4 April 1944. Sejak umur lima tahun sudah dibawa mengadu nasib ke Bandung. Kedua orang-tuanya, almarhum Iyan S dan almarhumah Ny Nonoh termasuk keluarga pecinta seni, walaupun sehari-harinya sebagai wiraswastawan. Di lingkungan keluarga, sejak kecil Nano dianggap memiliki kemampuan menyanyi. Ketika masih di SD, ia sering diminta memperlihatkan kemahirannya dalam pertemuan-pertemuan keluarga. Kelebihan ini yang mendorong kakaknya menganjurkan agar sang adik memasuki konservatori. Karena minatnya yang besar kepada musik karawitan, setelah lulus SMP, ia melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar) di Bandung (1961)
Karir
Setelah tamat dari pendidikan di Konservatori Karawitan (Kokar) Bandung, Nano Suratno kemudian mengajar kesenian dan bahasa daerah di SMP 1 Bandung (1965-1970). Kemudian ia pindah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (1970-1995) dimana dia pernah menjabat Ketua Jurusan Karawitan dan Wakil Kepala SMKI. Beberapa tahun kemudian melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dan STSI Jurusan Karawitan Sunda sampai selesai. Terakhir Nano diangkat menjadi Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Barat sejak 1995 sampai pensiun (2000).
Karir bermusik
Nano S. mulai mencipta lagu sejak tahun 1963 dengan kumpulan hampir seratus album. Tahun 1964, ia bergabung dengan kelompok Ganda Mekar pimpinan Mang Koko, namun beberapa tahun kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama Gentra Madya (1972). Banyak menciptakan lagu karawitan Sunda, di awal masih memperlihatkan pengaruh gurunya, Mang Koko, tetapi kemudian mulai memperlihatkan cirinya sendiri.
Jika Mang Koko, gurunya, mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat, Nano juga, tetapi di samping itu seakan-akan menertetawakan diri sendiri, yang sering terjebak dalam situasi yang lucu. Cara ini dibawakannya dalam pergelaran yang disebut Prakpilingkung(keprak, kacapi, suling, angklung). Hasilnya, pada Festival Komponis Muda Indonesia 1 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (1979), komposisinya, Sang Kuriang mendapat perhatian sebagai komposisi yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan Sunda yang penuh inovasi pengembangan.
Popularitasnya semakin menanjak setelah album-album rekaman kasetnya banyak diminati oleh masyarakat, diantaranya Kalangkang (Bayangan 1989), lewat suara Nining Maeda yang sekaligus mengorbitkan nama penyanyi itu, Kalangkang dalam versi pop Sunda meraih penghargaan BASF Award (1989), dan setahun kemudian meraih penghargaan HDX Award yang terjual dua juta kopi.
Tiga tahun kemudian Cinta Ketok Magic (1992), melalui suara penyanyi dangdut Evie Tamala meledak di pasaran sehingga mendapat HDX Award tingkat Nasional. Meskipun lagu-lagu ciptaannya berjenis karawitan, namun dengan cepat memperoleh penggemar di seluruh Indonesia, bukan hanya dari kalangan orang sunda saja, apalagi setelah lagu-lagu itu dijadikan pop Sunda. Selain itu, Ia juga membuat lagu untuk Gending Karesmen bersama Wahyu Wibisana, Raf, dll. Gending Karesmen ciptaannya antara lain Deugdeug Pati Jaya Perang, Raja Kecit, 1 Syawal di Alam Kubur, Perang, dll.
Kemudian ia sukses dalam pagelaran Karawitan Gending Sangkuriang di Festival Komponis Muda yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki tahun 1979 telah mengantarkan dirinya dalam forum nasional.
Ia juga dikenal sebagai penulis sajak dan cerita pendek berbahasa Sunda. Karyanya pernah di muat dalam majalah Mangle, Hanjuang, dll. Cerita pendeknya dikumpulkan dengan judul Nu Baralik Manggung (Yang Pulang sehabis mengadakan pertunjukan). Ia juga menyusun Buku Kawih untuk bahan pelajaran di Sekolah Menengah dengan judul Haleuang Tandang (1976).
Prestasi Internasional
Pada tahun 1980 salah satu karyanya, yaitu Karawitan Gending Sangkuriang pernah diikutertakan di Festival Musik Internasional di Taiwan. Nano Suratno pernah mendapat beasiswa fellowship dari The Japan Foundation selama setahun di Tokyo National University of Fine Arts and Music (Universitas Kesenian Tokyo), untuk mempelajari perbandingan tangga nada Sunda dan Jepang, terutama antara alam musik Kecapi dan Koto. Selain itu, ia juga belajar meniup Sakuhachi dan memetik Shamisen, yang kemudian membuat kolaborasi alat-alat itu pada ciptaannya dan membuat beberapa lagu karawitan Sunda yang berbahasa Jepang, diantaranya Katakana Hiragana Uta, Ueno Koen dan D'enshano Uta (1981-1982). Pada bulan Oktober 1999, di Jepang, ia memainkan lagu ciptaannya yang berjudul “Hiroshima“, yang dibuat khusus untuk memenuhi permintaan Wali Kota Hiroshima yang mengenalnya sebagai pencipta lagu.
Selain itu, ia juga pernah di undang oleh departemen musik Universitas Santa Cruz untuk mengajar dan membuat pergelaran dalam Spring Performance (1990).
Keprofesionalannya dalam dalam kesenian Sunda semakin terbukti ketika ia di minta oleh Min on, impresario, sebuah kelompok kesenian Jepang yang besar, untuk mengadakan pertunjukan kesenian Sunda di berbagai kota di seluruh Jepang selama 40 hari dengan 22 kali pertunjukan. Pertunjukan ini mendapat sambutan antusias karena keindahan yang ditampilkan dengan disiplin yang tinggi (1988). Pertunjukan itu dimintaa untuk diulang lagi berkali-kali untuk tampil di kota-kota lain.
Negara-negara yang pernah dikunjunginya untuk mengadakan pertunjukan antara lain Jepang, Hongkong, Philipina, Belanda, Australia, Amerika Serikat, dll.