Tony Wen (lahir di Sungailiat, Bangka Belitung, 1911 - meninggal di Jakarta, 30 Mei 1962) adalah pejuang Indonesia keturunan Tionghoa.

Riwayat Singkat

Tony Wen atau Boen Kin To, lahir di Sungailiat, Bangka, pada 1911 dari keluarga yang berada. Ayahnya seorang kepala parit Bangka Biliton Tin Maatschapij. Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Sungailiat, dia meneruskan studinya di Singapore, kemudian di U Ciang University, Shanghai dan Liang Nam University, Canton. Setelah kembali ke Jakarta ia menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa (T.H.H.K.).

Kembali kepada cerita Tony Wen, disamping kegemarannya dengan dunia olah raga, dimana ianya banyak mengambil peran dalam berbagai organisasi yang berhubungan, ia juga seorang pemainan sepak bola nasional yang sangat handal. Gesit dan cergas dalam pertandingan.Sebelum Perang Dunia II ,  ia menjadi pemain sepakbola terkenal kesebelasan UMS (Union Makes Strength). Pada masa pendudukan Jepang ia bekerja sebagai jurubahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) salah satu bagian pusat intelijen Jepang (Sambu Beppan). Setelah Jepang menyerah ia menghilang dari Jakarta dan menetap di Solo memimpin Barisan Pemberontak Tionghoa.

Ia kemudian menjadi pembantu R.P. Suroso membentuk kantor urusan minoritas di Departemen Dalam Negeri. Pada akhir masa perjuangan fisik Tony Wen menjadi pembantu Mukarto, kepala Opium en Zoutregie dan ia sering mondar-mandir ke Singapura untuk menukar candu dengan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik.

Perawakannya gagah ganteng penampilannya rapih, tata bahasanya ramah dan teratur mencerminkan latar orang terpelajar, ditambah dengan kumis ala Errol Flynn bintang film Hollywood tenar, dan senyum murah yang menggiurkan, Tony Wen berupa sosok nasional yang sangat digemari ramai. Ia banyak menyibukkan diri dalam menggalang masyarakat Tionghoa menunjang kegiatan revolusi dibawah bendera nasionalis bimbingan Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya dibuang ke Pulau Bangka, ia yang menyediakan seluruh keperluan para pemimpin tersebut. Pada tahun 1950-an ia diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia dan pengurus PSSI. Pada 1952 ia masuk menjadi anggota PNI. Sejak Agustus 1954 sampai Maret 1956, ia diangkat menjadi anggota DPR mewakili PNI dan duduk di Kabinet Interim Demokrasi dan pada tahun 1955 pernah duduk di Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Tony Wen meninggal dunia karena sakit pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta. Banyak sekali sanak saudara dan temen seperjuangan datang memberi penghormatan terakhir.


Peristiwa Surabaya

Keterangan dari Henry Boen, keponakan Tony Wen dan lihat (Siauw Giok Tjhan , 1981) , (Leo Suryadinata ,1981) , etc Apakah Almarhum Tony Wen menjadi salah satu pemrakarsa merobek bagian biru dari bendera Holland, dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih tidak ditulis dalam buku ini. Tentunya akan baik sekali kalau kita dapat mendengar/membaca keseluruhan peristiwa ini. Sebenarnya peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato (Oranye) itu terjadi tanggal 19 September 1945.

Ternyata memang banyak sekali keturunan Tionghoa yang punya kontribusi dalam sejarah termasuk perkembangan budaya dan ekonomi di Indonesia. Saya katakan ternyata karena lewat buku ini saya membaca (data + tulisan) banyak nama keturunan Tionghoa yang tidak familiar banyak jasa, paling tidak berjuang ber-sama2 bangsa Indonesia di Indonesia.

Sebagai tambahan: Bung Tomo yang disebut sebagai pahlawan karena peristiwa di Surabaya ini adalah Pemimpin Besar BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) yang melalui radio melakukan pidato yang ber-kobar untuk membakar semangat para pemuda di Surabaya dan sekitarnya. Namun sayangnya pidato2 Bung Tomo tersebut tidak bebas dari sikap rasialisnya yg anti-Tionghoa. Tema2 anti Tionghoa dlm pidatonya sudah tentu menumbuhkan sentimen anti Tionghoa di kalangan masyarakat Jawa Timur.

Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda Tionghoa (AMT) mengucapkan pidato yang menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda. Ia juga menyatakan bahwa etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda.

Siaw Giok Tjhan bersama kawan2nya pergi menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya terhadap etnis Tionghoa, namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar entis Tionghoa pro-Belanda. Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo dan sejumlah tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono dan Soedisman di Nangkajajar, sebuah kota kecil yang terletak antara Surabaya dan Malang. Di dalam pertemuan tersebut berhasil disepakati bahwa para pemuda Tionghoa akan bergabung dengan BPRI dan Pesindo.