Ratu Sakti Pancering Jagat
Ratu Sakti Pencering Jagat merupakan dewa tertinggi yang dipuja di Pura Pancering Jagat Terunyan. Ia merupakan salah satu Batara Kawitan (dewa yang asalnya merupakan leluhur yang telah lama wafat), yaitu raja pertama yang memimpin di Trunyan. Meskipun memiliki istri sebanyak pe satus (4100), permaisurinya adalah Ratu Ayu Pingit Dalam dasar.[1]
Ratu Sakti Pancering Jagat | |
---|---|
Dewa tertinggi | |
Pasangan | Ratu Ayu Pingit Dalam dasar |
Orang tua | Dalem Solo |
Saudara | Ratu Sakti Dukuh Ratu Sakti Sang Hyang Jero Ratu Ayu Mas Maketeg |
Anak | Ratu Gede Dalam Dasar |
Kendaraan | kilin |
Nama dan gelar
Berikut ini merupakan variasi nama dan gelar yang diberikan kepada Ratu Sakti Pancering Jagat:
- Bhatara Da Tonta, Datonta, atau Donta. Da Tonta merupakan nama asli yang diberikan oleh penduduk asli Trunyan sebelum kedatangan agama Hindu. Nama "Da Tonta" berasal dari kata dasar -tu dengan awalan da- (Datu, "Ratu") yang diberi akhiran "-nta" ("kita") sehingga artinya menjadi "Tuhan kita".[1][2]
- Betara Katon ("yang dapat dilihat").[3]
Legenda
Pencarian sumber bau harum
Pada zaman dahulu, terdapat bau wangi yang aromanya tercium hingga ke Solo. Hal tersebut membuat keempat anak Dalem Solo (tiga putra dengan satu wanita yang bungsu) merasa penasaran dan pergi untuk mencari sumber bau. Akhirnya mereka berempat sampai ke Bali dan terus berjalan menuju Gunung Batur mengikuti aroma yang semakin tajam. Di kaki selatan Gunung Batur, putri bungsu Dalem Solo memutuskan untuk tinggal karena merasa tidak mampu melewati medan yang curam dan bertebing. Ia berhenti di lokasi Pura Batur yang sekarang dan bergelar Ratu Ayu Mas Maketeg.[1]
Ketiga putra Dalem Solo menyusuri Danau Batur hingga sampai di tempat datar (belongan) sebelah barat daya. Di tempat itu, mereka mendengar suara burung (Bali=kedis) sehingga pangeran ketiga merasa gembira dan berteriak. Hal tersebut dianggap tidak pantas karena teriakan kegirangan tidak sesuai dengan perjalanan yang mereka lakukan dalam mencapai tujuan yang luhur. Saat pangeran sulung menyuruh adiknya tinggal di sana, pangeran ketiga menolak sehingga akhirnya ditendang oleh kakaknya dan jatuh bersila. Tempat pangeran ketiga ditinggalkan kini menjadi Desa Kedisan. Di desa tersebut terdapat patung Ratu Sakti Sang Hyang Jero, si pangeran ketiga, dalam posisi duduk bersila.[1]
Kedua pangeran meneruskan perjalan menyusuri sisi timur Danau Batur hingga sampai di belongan lain. Di sana mereka bersua dengan dua orang wanita yang sedang saling mencari kutu rambut. Pangeran kedua yang gembira bertemu manusia lain buru-buru menyapa keduanya. Pangeran sulung melihat sikap adiknya tidak sopan karena langsung menyapa tanpa didahului menyela kegiatan keduanya sehingga menyuruhnya tinggal. Karena pangeran kedua tidak bersedia, pangeran sulung menendangnya hingga jatuh tertelungkup. Pangeran kedua akhirnya menjadi kepala desa di tempat tersebut yang selanjutnya diberi nama Desa Abang Dukuh. Pada mulanya, desa tersebut diberi nama Air Hawang yang selanjutnya berubah menjadi Abang, sedangkan kata dukuh memiliki arti "menelungkup". Di desa tersebut terdapat patung pangeran kedua dalam kondisi menelungkup dengan gelar Ratu Sakti Dukuh, tetapi kini telah tertimbun lahar dingin akibat letusan Gunung Agung di tahun 1963.[1]
Pangeran pertama meneruskan perjalanan menyusuri sisi timur Danau Batur hingga menemukan belongan ketiga dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik di bawah Taru Menyan (Bali=taru berarti "pohon"). Saat gadis tersebut hendak melarikan diri, pangeran pertama menangkap kemudian memperkosanya. Setelah kejadian tersebut, pangeran pertama menghadap kakak dari si gadis untuk melamarnya. Kakak si gadis bersedia menerima lamaran asalkan pangeran sulung mau menjadi pancer jagat ("pasak dunia") di tempat tersebut, yaitu Desa Trunyan yang selanjutnya menjadi kerajaan kecil. Pangeran sulung menerimanya dan memperoleh gelar Ratu Sakti Pancering Jagat. Gadis tersebut menjadi permaisurinya dengan gelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar, sementara kakak si gadis bergelar Ratu Sakti Meduwe Ujung Sari.[1]
Ratu Sakti Pancering Jagat kemudian memerintahkan agar jenasah orang-orang yang meninggal untuk diletakkan di bawah taru menyan agar menyerap bau wangi yang dikeluarkan pepohonan tersebut. Hal itu dilakukan supaya bau wangi yang dikeluarkan jangan sampai tercium hingga jauh dan menarik kerajaan lain untuk menyerang.[1][2]
Tradisi murub
Salah seorang putra Dalem Solo yang memerintah di Tirta Empul, Tampak Siring memohon kepada ayahnya untuk dikirimi seperangkat gamelan. Dalem Solo menyanggupi dan akan mengirimnya ke Tampak Siring setelah gamelan yang diminta selesai dikerjakan. Da Tonta mendengar hal tersebut kemudian mengutus pesuruhnya yang bernama Pasek Trunyan untuk ke Majapahit untuk meminta hal yang sama. Dalem Solo menyanggupi permintaan putranya tersebut. Saat Pasek Trunyan hendak kembali, Dalem Solo menitipkan perangkat gamelan kepada Raja Tirta Empul yang sudah selesai dibuat sekaligus sebuah labu kuning berisi kerbau untuk Da Tonta.[1]
Saat mencapai Mengwi, Pasek Trunyan penasaran melihat isi labu kuning yang dibawanya kemudian membelahnya, ternyata beberapa ekor kerbau hidup di dalam labu keluar semua. Pasek Trunyan tidak berhasil menangkap kerbau-kerbau tersebut sehingga berputus asa. Salah seorang penduduk setempat menghiburnya, bila penduduk Trunyan hendak mengadakan upacara odalan, mereka boleh mengambil seekor kerbau dari sana. Akhirnya Pasek Trunyan kembali dan menyerangkan perangkat gamelan kepada Da Tonta.[1]
Raja Tirta Empul yang lama menunggu datangnya gamelan yang ia pesan kemudian bertanya kepada ayahnya. Dalem Solo bergegas datang ke Trunyam dalam keadaan marah. Pasek Trunyan yang berbohong bahwa gamelan yang dititipkan jatuh ke Danau Batur ia kutuk tidak memiliki keturunan. Selain itu, Da Tonta yang dianggap melindungi utusannya juga dikutuk bahwa setiap menjelang perayaan ulang tahunnya, keturunan Da Tonta wajib murub di luar Desa Trunyan. Tradisi murub adalah barter|menukarkan barang dengan barang lain]] yang nilainya lebih tinggi dibandingkan barang yang ditukarkan. Gamelan yang digelapkan oleh Pasek Trunyan tetap ditinggalkan di sana.[1]
Patung Ratu Sakti Pancering Jagat
Lokasi Desa Trunyan sekarang awalnya adalah Dalem (pemakaman jenasah yang telah diaben berupa hutan yang penuh dengan kijang. Desa Trunyan sebelumnya berada di belongan Cimelandung yang berada di selatan lokasi yang sekarang.[1]
Pada suatu hari, seorang petani hendak berburu kijang dengan ditemani anjingnya yang tiba-tiba menggonggong ribut. Saat dilihat, ternyata ada sebuah patung batu sebesar jamur payung (9 cm) yang melekat kuat ke tanah. Petani tersebut menutupi patung itu dengan saab (penutup sajian upacara) kemudian menceritakannya kepada penduduk desa. Ternyata patung tersebut membesar tiap hari sehingga mereka membangun pelinggih gedong untuk menaunginya. Namun, atapnya ditembus patung yang terus membesar hingga akhirnya dibangun méru tingkat sebelas (kini hanya tujuh tingkat karena empat tingkat teratas roboh) yang menjadi Pura Bali Dèsa Pancering Jagat Bali. Patung berhenti tumbuh setelah ukurannya mencapai 4 meter. Penduduk desa kemudian pindah ke lokasi sekitar pura sementara lokasi yang terdahulu diubah fungsinya untuk berladang.[1][2]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l James Danandjaja (1989). Kebudayaan petani desa Trunyan di Bali. Penerbit Universitas Indonesia. ISBN 979-456-034-0.
- ^ a b c Tim Arkeologis (30 Desember 2013). "Studi Teknis Arkeologi Di Pura Pancering Jagat Trunyan, Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali". Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali. Diakses tanggal 30 Oktober 2015.
- ^ James Danandjaja. Cerita rakyat dari Bali, Volume 1. PT Gramedia Widiasarana. Diakses tanggal 30 Oktober 2015.