Kerajaan Palu

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 3 Desember 2015 12.43 oleh Siddicq (bicara | kontrib) (Ini adalah suntingan kecil)

Kota Palu sekarang ini adalah bermula dari kesatuan empat kampung, yaitu : Besusu, Tanggabanggo (Siranindi) sekarang bernama Kamonji, Panggovia sekarang bernama Lere, Boyantongo sekarang bernama Kelurahan Baru. Mereka membentuk satu Dewan Adat disebut Patanggota. Salah satu tugasnya adalah memilih raja dan para pembantunya yang erat hubungannya dengan kegiatan kerajaan. Kerajaan Palu lama-kelamaan menjadi salah satu kerajaan yang dikenal dan sangat berpengaruh.

Sejarah Kerajaan palu

Kerajaan Palu yang terletak di dataran sungai Palu didirikan oleh seorang pangeran yang berasal dari Vonggi, Kampung Topotara pada perbukitan bagian timur Tanah Kaili (Masyhuda,1997:84) yang bernama “Pue Nggari” sekitar abad 16. Pue Nggari bersama rakyatnya turun dan tinggal beberapa lama di “Pantosu”, dan setelah itu pindah lagi di Valangguni kemudian pindah lagi dilokasi penggaraman saat ini, kemudian pindah lagi ke “Pandapa”  Atau sekarang ini dikenal dengan nama Kelurahan Besusu Barat.

Setelah tinggal dibesusu dibuatlah Istana untuk Pangeran Pue Nggari yang tempatnya dibuat dari bahan tanah disusun secara tinggi dan bertingkat dan di Besusu itulah pusat Kerajaan Palu Pertama (Lokasinya saat ini tepat di depan RSU Undata Besusu), dilokasi ini pula terdapat sumur yang dibuat oleh salah satu anggota keluarga Pue Nggari yang bernama Rasede, hingga sekarang sumur tersebut di kenal dengan nama "Buvu Rasede".

Setelah dibuatkan Istana di Besusu, Pue Nggari kawin lagi dengan Sangapinile (Pue Puti) dari Dolo, Pue Puti ini, anak dari Penguasa Dolo yang bernama Dg. Mbaso.

Dari hasil perkawinan Pue Nggari dengan istri pertama Vua Pinano mempunyai tiga orang putera dan satu orang puteri yaitu:

Putera :

Lasamaingu

Pue Songu

Andi Lana

Puteri

Pue Rupia

Hasil perkawinan Pue Nggari dengan Istri Kedua Pue Puti  :

Putera :

Labugulili

Puteri :

Yenda Bulava

Tidak lama Pue Nggari mendiami Lembah Palu kemudian datanglah keluarganya dari “Malino” yaitu :

–  Rombongan Yantakalena turun dan mendiami Kayu Malue (Kelurahan Kayumalue saat ini)

–  Rombongan Pue Voka  turun dan mendiami Vatu Tela (Kelurahan Tondo saat ini)

Raja Kerajaan Palu

MAGAU Pue Nggari (Raja Pertama Kerajaan Palu)

Kerajaan Palu saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Gowa yang berada di Sulawesi Selatan hal itu terlihat dari pemakaian gelar kebangsawanan pada Kerajaan Palu. Gelar-gelar tersebut adalah sebagai berikut:

  • Magau = Maha Raja
  • Madika Malolo = Raja Muda atau Pangeran (Madika Malolo berhak menjadi Raja setelah Magau wafat)
  • Madika Matua = Pelaksana Pemerintahan atau Setara dengan Perdana Menteri sekarang
  • Baligau = Ketua Dewan Adat
  • Galara = Urusan Kehakiman
  • Pabisara = Penyampai atau Penerus Perintah dari Raja kepada rakyat
  • Punggava = Urusan Pertanian dan Perekonomian

Terlihat dari susunan pemerintahan di Kerajaan Palu dapat dikatakan bahwa Kerajaan Palu pada saat itu sudah sangat matang, hal ini yang membuat rakyat mendesak Magau Pue Nggari untuk memisahkan diri dari Kesultanan Gowa untuk bisa mandiri dan tidak lagi harus membayar upeti ke kerajaan lain. Pada saat yang sama di Kerajaan Palu datanglah seorang penyebar Agama Islam dari Sumatera yang bernama Abd. Raqie (Masyarakat Palu umumnya mengenal dengan nama "Dato Karama" Dato artinya Tuan atau Yang Dipertuankan, Karama artinya Keramat, Jadi Dato Karama Adalah "Tuan Yang Di Keramatkan", atau "Orang Keramat", bisa juga "Seseorang yang memiliki ilmu yang sakti") yang di utus oleh Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh.

Kedatangan Abd. Raqie atau Dato Karama ini bertujuan untuk menyebarkan Agama Islam di lembah Palu, yang mana pada saat itu masyarakat Suku Kaili masih memiliki kepercayaan Animisme. Maka berlabuhlah kapal Dato Karama yang turut serta membawa 50 orang muridnya dari Sumatera di pantai Besusu, turut serta istrinya yang bernama Ince Jille, iparnya yang bernama Ince Saharibanong, dan anaknya yang bernama Ince Dingko kedatangan Dato Karama ini disambut baik oleh Keluarga Kerajaan serta rakyat dan langsung menerima tawaran untuk memeluk Agama Islam karena persyaratan Sombarigowa mengatakan, jika ingin melepaskan diri dari wilayah kesultanan Gowa, maka penduduknya harus memeluk Agama Islam. Setelah seluruh persyaratan dari Sombarigowa diterima Pue Nggari maka diadakanlah prosesi sebagai berikut :

  • Pengislaman terhadap Magau Pue Nggari bersama keluarganya yang dilaksanakan oleh Dato Karama dengan istilah “PoVonju Tevo

Anggota keluarga Pue Nggari yang turut di Islamkan adalah sebagai berikut :

  • Vua Pinano (isteri Pertama dari Pue Nggari)
  • Lasamaingu (Anak Pertama Pue Nggari)
  • Pue Songu (Anak Kedua Pue Nggari) tidak mau di Islamkan
  • Andi lana (Anak Ketiga Pue Nggari) bersama isteri dari Tatanga
  • Pue Rupia (Anak Keempat Pue Nggari)
  • Yenda Bulava (Anak Kelima Pue Nggari) , suaminya bernama Bulava Lembah tidak mau di Islamkan dan tidak menerima agama Islam

Setelah persyaratan Sombarigowa di penuhi semuanya, akhirnya Kerajaan Palu di Proklamirkan sebagai kerajaaan yang berdiri sendiri dan terlepas dari Kesultanan Gowa.

Namun ada beberapa hal yang dipertahankan antara Kerajaan Palu dan Kesultanan Gowa antara lain:

Jika Kesultanan Gowa menjadi Rusuh maka Kerajaan Palu pun ikut menjadi menjadi Susah, sampai Kerajaan Palu membantu untuk menyelesaikan masalah di Kesultanan Gowa. Maka secara tidak langsung Kerajaan Palu harus siap sedia mengirim Pasukan Perang atau mensuplai bahan makanan jika terjadi kerusuhan di Kesultanan Gowa. untuk mendukung perjanjian tersebut maka disusunlah pemerintahan sebagai berikut :

  • Magau adalah Pue Nggari
  • Madika Malolo keluarga Silalangi Dolo (Dari Istri Kedua Pue Nggari)
  • Madika Matua tetap dipegang keluarga di Besusu (Dari Istri Pertama Pue Nggari)
  • Baligau dipegang oleh keluarga Tatanga
  • Sisanya diatur oleh Pue Nggari sendiri

Pue Nggari Memerintah selama kurun waktu antara 1796-1805.

MAGAU I Dato Labugulili

Setelah Pue Nggari mangkat, ia digantikan oleh Madika Malolo Labugulili dari keluarga Silalangi Dolo. Keluarga Silalangi menjabat sebagai Madika Malolo pada masa pemerintahan Pue Nggari. Labugulili kemudian di kenal dengan sebutan I Dato Labugulili. Ia merupakan anak Pue Nggari dari istri kedua. I Dato Labugulili merupakan Raja perempuan pertama di Kerajaan Palu ia memerintah selama kurun waktu antara tahun 1805-1815. Selama masa pemerintahan Labungulili, pusat pemerintahan masih berada di Besusu.

MAGAU Malasigi Bulupalo

Setelah Labungulili wafat kemudian digantikan oleh Malasigi yang bergelar Malasigi Bulupalo. Malasigi merupakan anak dari Panjororo (Pue Bongo) dengan Dei Bulava. Pue Bongo adalah Raja Di Daerah Bangga (Masuk dalam Wilayah Kerajaan Sigi Biromaru) yang merupakan anak dari Bulava Lembah dan Yenda Bulava. Yenda Bulava merupakan anak dari Pue Nggari dan Pue Puti. itu artinya Malasigi adalah cicit dari Pue Nggari. Malasigi memerintah dalam kurun waktu antara tahun 1815-1826. Pada masa pemerintahannya, pusat Kerajaan Palu tetap berada di Besusu. Tetapi kawasan Panggovia (Kelurahan Lere sekarang) mulai ditempati dan dikembangkan.

MAGAU Daelangi

Malasigi kemudian digantikan oleh Daelangi dari kelurga Besusu (Keturunan Pue Nggari dari istri pertama Vua Pinano) yang memerintah antara tahun 1826-1835. Daelangi merupakan raja perempuan kedua di Kerajaan Palu.

MAGAU Yololembah

Kemudian Daelangi digantikan oleh anaknya yang bernama Yololembah yang memerintah selama 15 tahun yaitu antara tahun 1835-1850.

MAGAU Lamakaraka

Setelah Yololembah, tahta Kerajaan Palu dipegang kembali oleh keluarga Silalangi Dolo (Keturunan Pue Nggari dari istri kedua Pue Puti) yang bernama Lamakaraka. Lamakaraka adalah anak dari Malasigi dan Indjola. Lamakaraka bergelar Madika Tondate Dayo. Lamakaraka mempunyai istri bernama Dei Donggala. Perkawinan ini dikaruniai empat orang anak yaitu:

  • Suralembah
  • Panundu
  • Yodjokodi
  • Bidadari

Lamakaraka memerintah selama 18 tahun antara 1850-1868. Pada masa pemerintahan Lamakaraka, pusat pemerintahan tetap berada di Besusu.

MAGAU Radja Maili

Setelah Lamakaraka, yang menduduki tahta Kerajaan Palu adalah Radja Maili (Mangge Risa). Ia merupakan anak dari Suralembah dan merupakan cucu dari Lamakaraka. Raja Maili memerintah selama 20 tahun antara tahun 1868-1888. Pada masa pemerintahan Radja Maili inilah Belanda pertama kali berkunjung ke Palu untuk mendapatkan perlindungan dari Manado di tahun 1870. Namun seiring berjalannya waktu pada tahun 1888, Gubernur Belanda untuk Sulawesi berkhianat terhadap Rada Maili yang telah memberi mereka perlindungan, bersama dengan bala tentara dan beberapa kapal tempur, Gubernur Belanda tiba di Kerajaan Palu untuk menyerang Kayumalue. Radja Maili yang merasa telah di khianati Belanda tidak tinggal diam, Dia pun mengumpulkan bala tentara untuk menghadapi Belanda yang dipimpin sendiri oleh Radja Maili.

Namun karena perang yang tidak seimbang dari segi persenjataan dan personil akhirnya Pasukan Kerajaan Palu dapat dikalahkan, Kayumalue pun jatuh ketangan Belanda, sedangkan Radja Maili sendiri terbunuh oleh pihak Belanda dan jenazahnya dibawa ke Palu.

Radja Maili mempunyai istri bernama Timamparigi dan seorang putri bernama Mpero (Mpero inilah yang nantinya di nikahkan dengan Idjazah dan melahirkan "Tjatjo Idjazah" Raja Terakhir Palu). Pasa masa pemerintahan Radja Maili pusat Kerajaan Palu masih berada di Besusu.

MAGAU Yodjokodi

Pada tahun 1888, Radja Maili tewas terbunuh oleh Belanda dalam Perang Kayumalue kemudian tahta kerajaan kembali di pegang oleh pamannya Radja Maili yang bernama Yodjokodi (anak ketiga dari Lamakaraka). pada tanggal 1 Mei 1888 Raja Jodjokodi di paksa menandatangani perjanjian pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda yang tentunya isi perjanjian itu menguntungkan pihak Belanda. Yodjokodi biasa dipanggil dengan sebutan Toma I Sima.

Yodjokodi memerintah selama 18 tahun dari tahun 1888-1906. Setelah empat tahun memerintah tepatnya 1892, Raja Yodjokodi kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Besusu ke daerah Panggovia (Kelurahan Lere) dan sebagian masuk ke dalam wilayah Tanggabanggo (Kelurahan Kamonji) karena merasa Besusu sudah tidak aman lagi berkat kedatangan Belanda.

Pemindahan pusat pemerintahan ini ditandai dengan pembangunan "Souraja" (Istana Kerajaan). Souraja dibangun pada tahun 1892. Pembangunan Souraja dikepalai oleh Hj. Amir Pettalolo, menantu dari Yodjokodi. Dalam pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Banjar sehingga nampak corak Banjar di bangunan tersebut. Souraja digunakan oleh Raja Yodjokodi sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan.

Raja Yojokodi memiliki tiga orang istri yang bernama I Ntodei (Ratu Kerajaan Sigi), Bidarawasia (Adik ipar Radja Maili), dan Jabatjina.

Dari hasil perkawinan dengan Bidarawasia, Yojokodi dikaruniai delapan orang anak yaitu:

  • Pariusi
  • Parampasi (Kelak Menjadi Raja Palu Menggantikan Yojokodi)
  • Idjazah (Kelak Menjadi Raja Palu Menggantikan Parampasi)
  • Sima
  • Pangia
  • Djamaro
  • Yodi
  • Mutia

Dari istri Jabatjina, Yojokodi memiliki seorang putra bernama "Palimuri" (Kelak Menjadi Presiden Sarekat Islam Palu).

MAGAU Parampasi

Berkas:Parampasi.jpg
Magau Parampasi

Pada tahun 1906, Yodjokodi wafat dan digantikan oleh Parampasi. Pada masa pemerintahan Parampasi, Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal Raja dan sebagai pusat pemerintahan. Parampasi menikah dengan Hi. Indocenni Pettalolo dan dikaruniai enam orang anak, empat anak perempuan dan dua anak laki-laki. anak-anak Parampasi bernama:

Puteri

  • Andi Wali Parampasi
  • Andi Tase Parampasi
  • Andi Tunru Parampasi
  • Andi Ratu Parampasi

Putera

  • Andi Wawo Parampasi
  • Tjatjo Kodi Parampasi

Parampasi memerintah selama 15 tahun dalam kurun waktu antara tahun 1906-1921.

MAGAU Idjazah

Setelah Parampasi wafat, Kerajaan Palu diperintah oleh Idjazah. Idjazah merupakan adik dari Parampasi. Idjazah memerintah antara tahun 1921-1947.

Pada masa pemerintahan Raja Idjazah, Souraja beberapa kali mengalami pergantian fungsi yaitu, pada tahun 1921-1942, Souraja masih digunakan sebagai tempat tinggal raja dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1942-1945, tepatnya pada masa pendudukan Jepang, Souraja dialih fungsikan sebagai tangsi militer tentara Jepang walaupun fungsi Souraja masih tetap sebagai kantor pemerintahan Kerajaan Palu.

Pada masa Jepang itu, kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah berubah nama menjadi Suco. Lebih jauh dalam buku “Sejarah daerah Sulawesi Tengah” dijelaskan “kalau pada masa pemerintahan Belanda atasan-atasannya (asisten Residen dan Kontroliur) orang Belanda, maka pada zaman Jepang kedudukan ini ditempati oleh Jepang, juga raja-raja tetap, hanya namanya diganti memakai istilah Jepang. Raja disebut Suco dan kepala distrik disebut Gunco. Peranannya pun sama pada zaman Hindia Belanda hingga Kemudian pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu.

MAGAU Djanggola

Berkas:Xxxxx-magau-djanggola-raja-palu.jpg
Magau Djanggola

Pada tahun 1947, Idjazah digantikan oleh keponakannya Djanggola. Djanggola merupakan anak dari Pariusi, saudara dari Parampasi dan Idjazah. Djanggola merupakan anak kedua dari Pariusi. Djanggola memiliki lima orang saudara yaitu: Baso Pariusi, Itei Pariusi, Djuri Pariusi, Todi Pariusi, dan Todji Pariusi.

Masa pemerintahan Djanggola berlangsung singkat yaitu hanya sekitar dua tahun antara tahun 1947-1949. Pada saat Djanggola memerintah, ia menunjuk pamannya, Palimuri sebagai penasehatnya. Dalam struktur pemerintahannya, Andi Wawo Parampasi menjabat sebagai Madika Matua (Pelaksana Pemerintahan) dan Tjatjo Idjazah sebagai Madika Malolo (Raja Muda). Artinya, bahwa Tjatjo Idjazah telah disiapkan untuk menggantikan Djanggola sebagai Magau Kerajaan Palu.

Pada tahun 1945-1948, Souraja kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Tetapi, akibat revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1950, memaksa rakyat dan penguasa berjuang di luar jalur pemerintahan kerajaan. Walaupun seorang raja masih menjadi pengendali perjuangan rakyat, tetapi umumnya tidak menggunakan kekuasaannya sebagai Raja saat turun ke basis-basis perjuangan rakyat. Hal tersebut mengakibatkan Souraja jarang ditempati oleh Magau Djanggola. Selain itu Djanggola juga mendirikan rumahnya sendiri tepat di samping Souraja.

Djanggola menikah dengan anak dari Magau Parampasi yaitu Andi Wali Parampasi. Setelah Andi Wali meninggal, Djanggola menikah lagi dengan adik Andi Wali Parampasi yang bernama Andi Ratu Parampasi. Pernikahan Djanggola dan Andi Ratu Parampasi biasa disebut “tukar tikar”.

Magau Djanggola mempunyai istri 10 orang yaitu Tina Yoto, Daratika, Tina Yodi, Tina Tjinowera, Tina Dg. Mangiri, Tina Raka, Tina Lipa, Tina Dei, Andi Wali Parampasi, dan Andi Ratu Parampasi. dengan anak yang berjumlah enam belas (16) orang.

Salah satu cucu keturunan Magau Djanggola dari istri pertama Tina Yoto bernama Drs. H. Longki Djanggola, M.Si (Sekarang menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tengah)

MAGAU Tjatjo Idjazah (Raja Terakhir Kerajaan Palu)

Selanjutnya, Djanggola digantikan oleh Tjatjo Idjazah. Tjatjo Idjazah adalah sepupu dari Djanggola. Tjatjo Idjazah merupakan anak dari Magau Idjazah dengan Mpero (anak Magau Radja Maili).

Pada masa pemerintahan Tjatjo Idjazah, Souraja dikembalikan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Palu. Namun, Magau Tjatjo Idjazah jarang menempati Souraja karena ia lebih sering berada di kediamannya di Besusu (Sekarang Menjadi Apotik Pancar, Jalan Sultan Hasanuddin, Kelurahan Besusu Barat Kota Palu). Hal ini menyebabkan Souraja sering tidak didiami oleh Magau Tjatjo Idjazah.

Pada tahun 1958, ketika Permesta memberontak di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, Souraja hadir dengan fungsi baru sebagai asrama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Souraja dijadikan markas tentara dalam kegiatan Operasi Penumpasan Pemberontakan Permesta di Sulawesi Tengah. Peran ini berlangsung hingga tahun 1960.

Pada tahun 1960, Kerajaan Palu resmi dibubarkan dengan Tjatjo Idjazah sebagai raja terakhirnya. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Magau Tjatjo Idjazah tidak memiliki keturunan. Selanjutnya, Palu ditetapkan sebagai wilayah Swapraja dengan Andi Wawo Parampasi sebagai Kepala  Swaparaja.

Daftar Raja Kerajaan Palu

1) 1796-1805: Pue Nggari (Siralangi)

2) 1805-1815: I Dato Labungulili

3) 1815-1826: Malasigi Bulupalo

4) 1826-1835: Daelangi

5) 1835-1850: Yololembah

6) 1850-1868: Lamakaraka (Tondate Dayo)

7) 1868-1888: Radja Maili (Mangge Risa)

8) 1888-1906: Jodjokodi

9) 1906-1921: Parampasi

10) 1921-1947: Idjazah

11) 1947-1949: Djanggola

12) 1949-1960: Tjatjo Idjazah

Souraja/Banua Oge (Istana Kerajaan Palu)

Berkas:Souraja.jpg
Istana Kerajaan Palu

Di setiap daerah atau penguasa mempunyai keunikan tersendiri yang kemudian dijadikan contoh teladan, disakralkan, bahkan dikeramatkan oleh rakyatnya. Di Palu, Souraja dijadikan sebagai pusat pemerintahan, semakin menambah kesakralan dan kekeramatan seorang raja. Dalam pemikiran-pemikiran tradisional dikatakan bahwa tempat bersemayamnya seorang raja, baik berupa tempat tinggal atau istana pemerintahannya merupakan tempat suci pilihan penguasa langit. Raja adalah keturunan penguasa langit ("To Manuru" Menurut Suku Kaili) yang diturunkan ke bumi untuk memerintah rakyat yang terpilih.

Melihat sisi fungsi ganda Souraja, maka proses efisiensi dan efektifitas bangunan menjadi perhatian tersendiri, karena bangunan ini semakin megah, mewah, dan sakral, namun kecil. Sehingga timbul satu asumsi bahwa Souraja merupakan cermin dari luas kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan palu yang begitu kecil dan sempit.

Dewasa ini masih ditemui sisa-sisa bangunan yang didirikan oleh Raja-Raja Palu, ketika Kerajaan Palu masih jaya. Salah satunya adalah Souraja yang berada di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu tepatnya. Souraja adalah Istana Raja Palu, karena sejak didirikannya bangunan ini ditempati oleh Raja-Raja Palu dan keluarganya silih berganti. Kepemilikan bangunan ini pun berlaku secara turun-temurun.

Souraja didirikan pada akhir abad ke XIX di tengah-tengah perkampungan Suku Kaili yang merupakan masyarakat pendukung kejayaan Kerajaan Palu. Ada sebuah tradisi pembangunan istana yang dapat menjelaskan tentang suasana Lembah Palu pada saat itu. Di mana pada umumnya, istana-istana didirikan di atas sebidang tanah kosong (tanpa pemilik). Seiring waktu yang terus berputar dengan sendirinya tanah tersebut menjadi tanah kerajaan.

Di sisi lain, istana berada di pusat pemukiman penduduk (tengah kota), berarti disekitar istana terdapat rumah-rumah penduduk. Pola ini merupakan sebuah strategi pertahanan militer yang paling jitu. Mengapa? Karena ketika istana diserang musuh, maka secara otomatis, penduduk (rakyat) ikut bertanggung jawab atas keselamatan istana, keluarga raja, dan keselamatan Negara. Rakyat akan bahu-membahu melindungi istana dan rajanya bagaimanapun caranya. Perbuatan demikian dianggap mulia, karena dikatakan sebagai wujud bela Negara.

Ternyata, Souraja sebagai istana raja di Palu didirikan berdasarkan tiga konsep di atas. Sekarang tanah tempat didirikannya istana tersebut adalah milik keluarga kerajaan. Istana ini semakin berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di Kelurahan Lere. Di sana-sini terdapat lahan-lahan kosong tanpa rumah penduduk, tetapi tanah kosong tersebut adalah milik keluarga kerajaan.

Pranala Luar

https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sulawesi/raja-of-palu/

http://damaitriana.blogspot.com/2011/05/sejarah-kota-palu.html

http://jefriantogie.blogspot.com/2012/12/souraja-dan-silsilah-raja-palu-jefrianto.html

https://wiki-indonesia.club/wiki/Kabupaten_Donggala