Mahkamah Kehormatan Dewan
Mahkamah Kehormatan Dewan (disingkat MKD) (adalah salah satu alat kelengkapan DPR RI yang bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.[1] Dahulu Mahkamah Kehormatan Dewan bernama Badan Kehormatan.
Mahkamah Kehormatan Dewan | |
---|---|
Jenis | |
Jenis | Alat kelengkapan DPR yang bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dari l |
Pimpinan | |
Ketua | |
Wakil Ketua | |
Wakil Ketua | |
Wakil Ketua | |
Komposisi | |
Partai & kursi | |
Situs web | |
www.dpr.go.id | |
Tugas
Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
- tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81;
- tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;
- tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon anggota DPR yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau d. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Selain tugas tersebut di atas, Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR. Mahkamah Kehormatan Dewan juga berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain..[1]
Sidang Kasus Pencatutan Nama Presiden
Pada tanggal 2 Desember 2015, MKD menggelar sidang kehormatan dewan atas kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam rekaman pembicaraan yang melibatkan ketua DPR RI, Setya Novanto, pengusaha minyak, Riza Chalid, dan Direktur Utama PT. Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. Pada sidang pertama kasus ini, MKD memanggil pelapor yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said. Sudirman dimintai keterangan terkait laporan yang bersangkutan atas rekaman pembicaraan yang melibatkan 3 pihak tersebut, dan pencatutan nama Presiden Joko Widodo oleh orang yang diduga ketua DPR RI, Setya Novanto[2]. Pada sidang pertama ini, Sudirman Said meminta agar sidang ini dibuka untuk umum.
Pada tanggal 3 Desember 2015, MKD kembali menggelar sidang lanjutan dengan memanggil saksi Direktur Utama PT. Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin[3]. Maroef dimintai keterangan karena dirinya adalah salah satu pihak yang terlibat dalam rekaman pembicaraan dan merupakan orang yang merekam dan memberikan hasil rekaman kepada Menteri ESDM, Sudirman Said. Sama seperti sidang sebelumnya, Maroef pun meminta sidang ini dibuka untuk umum.
Mahkamah Kehormatan Dewan kembali menggelar sidang lanjutan pada tanggal 7 Desember 2015 dengan memanggil ketua DPR RI, Setya Novanto. Setya yang datang didampingi sejumlah ajudan dan staf nya, meminta persidangan dilakukan secara tertutup. Setya dimintai keterangan karena diduga telah meminta saham PT. Freeport Indonesia dan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Urumuka, Papua, dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk kompensasi bisa membantu memperpanjang kontrak karya tersebut[4].
Pada tanggal 14 Desember 2015, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan datang memenuhi panggilan Mahkamah Kehormatan Dewan karena namanya disebut sebanyak 66 kali dalam rekaman pembicaraan kontrak Freeport yang juga mencatut nama Presiden[5].
Referensi
- ^ a b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
- ^ Sudirman Said Datang ke MKD Bawa Rekaman Lengkap Setya Tempo.co, tanggal 2 Desember 2015. Diakses tanggal 12 Desember 2015.
- ^ Datang ke Sidang MKD, Bos Freeport Tebar Senyum Tempo.co, tanggal 3 Desember 2015. Diakses tanggal 15 Desember 2015.
- ^ Sidang MKD, Setya Novanto Tiba Dikawal 150 Orang Tempo.co, tanggal 7 Desember 2015. Diakses tanggal 15 Desember 2015.
- ^ Kasus 'Papa Minta Saham', Luhut Hadir di Sidang MKD Tempo.co, tanggal 14 Desember 2015. Diakses tanggal 15 Desember 2015.