Kongres Perempuan Indonesia
Artikel ini tidak memiliki referensi atau pranala luar ke sumber-sumber tepercaya yang dapat menyatakan kelayakan dari subyek yang dibahas.Artikel ini akan dihapus pada 5 Januari 2016 jika tidak diperbaiki. Untuk pemulai artikel ini, jika Anda mempertentangkan nominasi penghapusan ini, jangan menghapus peringatan ini. Silakan hubungi sang pengusul, hubungi seorang pengurus, atau pasang tag {{tunggu dulu}} |
Kongres Perempuan Indonesia ke-1 diselenggarakan di Yogyakarta, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tanggal 22 hingga 25 Desember 1948. Kongres yang diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera ini bertujuan memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan.
Sentimen rasa nasionalis pada masa itu memang sedang tinggi, hal ini ditandai dengan telah dilakukannya Kongres Pemuda Indonesia Ke-2 di Jakarta yang mendahului Kongres Perempuan, namun sejarah organisasi perempuan Indonesia sebenarnya telah dimulai tahun 1912, karena jika ditelusuri dari berdirinya organisasi perempuan pertama adalah pada tahun 1912.
Pelaksanaan
Kongres diadakan di sebuah pendopo nDalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang ini gedung tersebut dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Tercatat sekitar 1000 orang hadir pada resepsi pembukaan yang diadakan mulai tanggal 22 Desember 1928. Di antara yang hadir terdapat juga tokoh-tokoh organisasi-organisasi terkemuka di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang dipimpin dan didominasi oleh kaum lelaki, seperti Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond. Para peninjau mencatat sejumlah tokoh penting yang hadir antara lain: Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Dr. Soekiman (PSI), A.D. Haani (Walfadjri). Selain resepsi pembukaan, ada 3 pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres.
Pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik, misalnya surat kabar lokal berbahasa Jawa, “Sedijo Tomo” menyatakan kekagumannya atas hasil2 kongres tapi juga mengingatkan agar gerakan perempuan yang meski terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri-ciri Timur-nya.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga ikut mengapresiasi kongres ini sebagaimana dilaporkan oleh Penasihat Urusan Pribumi, Charles Olke van der Plas, yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Andries Cornelis Dirk de Graeff, dengan kalimat berikut:
“…laporan dari berbagai pihak memandang konferensi ini telah berhasil. Dalam kesempatan ini juga kenyataannya bahwa perempuan sering lebih realistis, lebih berimbang dan lebih beradab dalam pendekatan dibandingkan lelaki… Organisasi ini pantas mendapatkan ucapan selamat dan perhatian secukupnya…”
Bahkan van der Plas menyebutkan bahwa ia telah menugaskan istri seorang pegawai bawahannya, Patih Datoek Toemenggoeng, untuk menghadiri kongres dengan catatan harus memberikan laporan lengkap kepadanya. Nama istrinya adalah Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, seorang Minang pemimpin gerakan perempuan yang sedang naik daun. Laporannya menyebutkan bahwa sekitar 600 perempuan hadir mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tidak berpendidikan.
Jika dinilai sebagai kekurangan yang tercatat saat penyelenggaraan kongres, masalah keterwakilan gerakan organisasi-organisasi dari daerah-daerah merupakan isu yang dihadapi. Walau catatan kongres menunjukkan bahwa ada 30 organisasi mengirimkan utusan, tapi sebagian merupakan cabang dari organisasi yang sama. Sejumlah organisasi di Sumatera mengirimkan telegram berisi dukungannya namun kelihatannya tidak bisa hadir lebih disebabkan karena masalah jarak dan keterbatasan transportasi.
Saat mencatat kegiatan kongres, Ny. Toemenggoeng terkejut karena tidak ada organisasi-organisasi Sunda yang menurut panitia penyelenggara kongres tidak mengenal adanya organisasi Sunda, jawaban yang menurut Ny. Toemenggoeng keliru karena Ny. Abdoerachman sudah mendirikan organisasi yang sangat terkenal di Bogor dengan nama Kemadjoean Isteri tahun 1926. Belum lagi gerakan pendidikan Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan) yang didirikan oleh R. Dewi Sartika di Bandung pada tahun 1904.
Menurut catatan Susan Blackburn[1], beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi "kaum Pribumi", suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan2 lain.
Jika dibandingkan dengan kongres perempuan Indonesia yang diadakan pada tahun-tahun berikutnya, Kongres Pertama ini memang didominasi oleh etnis Jawa dan acara pembukaan pun diawali dengan lagu penyambutan dalam bahasa Jawa yang diciptakan oleh Soekaptinah. Namun demikian, Selama kongres, hanya 1 perwakilan organisasi yang berpidato menggunakan bahasa Jawa sedangkan sisanya berbahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia jaman Hindia-Belanda). Mengenai bahasa Melayu ini sejak Mei 1928 sudah dijadikan materi dalam kursus yang diselenggarakan oleh Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta (semula adalah organisasi sayap perempuan dari Pemoeda Indonesia dan kemudian menjadi sayap perempuan PNI).
Kongres Pemuda ke-2 yang menghasilkan "Sumpah Pemuda" yang diadakan terlebih dulu pada bulan Oktober 1928 telah menginspirasi tokoh2 perempuan dari kelompok guru muda Jong Java yang telah membentuk cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta, untuk membentuk Panitia Kongres Perempuan yang diketuai oleh R.A. Soekonto dengan Nyi Hajar Dewantoro sebagai wakilnya & Soejatien (Ketua Poetri Indonesia Cabang Yogya) sebagai sekretaris. Ketiga tokoh perempuan ini sebenarnya tidak asing dengan dunia pergerakan karena memiliki hubungan dengan tokoh pergerakan nasionalis Indonesia. R.A. Soekonto adalah kakak dari Ali Sastroamidjojo, dari namanya Nyi Hajar Dewantoro sudah jelas isteri dari Ki Hajar Dewantoro, sedangkan Soejatien (saat Kongres masih lajang) adalah murid Soekarno & Ki Hajar Dewantoro.
Beberapa pidato yang dibacakan oleh tokoh2 perempuan pada saat Kongres:
- "Pergerakan Kaoem Isteri, Perkawinan & Pertjeraian", oleh Ny. R.A. Soedirman (Poeteri Boedi Sedjati)
- "Deradjat Perempoean", oleh Ny. Siti Moendjijah (Aisjijah Djokjakarta)
- "Perkawinan Anak-Anak", oleh Saudari Moegaroemah (Poeteri Indonesia)
- "Kewadjiban & Tjita-Tjita Poeteri Indonesia", oleh Saudari Sitti Soendari
- "Bagaimanakah Djalan Kaoem Perempoean Waktoe Ini & Bagaimanakah Kelak", oleh Saudari Tien Sastrowirjo
- "Kewadjiban Perempoean di Dalam Roemah Tangga", oleh Saudari R.A. Soekonto (Wanita Oetomo)
- "Hal Keadaan Isteri di Europah", oleh Ny. Ali Sastroamidjojo
- "Keadaban Isteri", oleh Nyi Hajar Dewantoro
Pada 22 Desember 1953, dalam acara peringatan ke-25 Kongres ini, Presiden RI Soekarno menetapkan sebagai Hari Ibu Nasional melalui Dekrit Presiden RI No. 316 Tahun 1953. Sejak saat itulah, setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.
Lihat Juga
Kongres Pemuda Indonesia ke-2
Referensi
- ^ 1. "Kongres Perempuan Indonesia - Tinjauan Ulang", Susan Blackburn, (YOI & KITLV)"