Kehendak untuk berkuasa atau der Wille zur Macht
Menurut filsuf Martin Heidegger, 'der Wille zur Macht'- Nietzsche tidaklah diartikan secara harafiah sebagai kehendak akan kekuasaan. Kehendak di sini diartikan sebagai kehendak untuk mengatasi rintangan. Lalu rintangan yang seperti apa yang dimaksudkan? Rintangan terbesar adalah 'kebenaran', karena dia mencerminkan pengkristalan dari pandangan atau perspektiv. Der Wille zur Macht tidak bisa berhenti pada sebuah pandangan atau perspektiv, oleh karena menurut Nietzsche, der Wille zur Macht memiliki karakter dasar untuk adil. Adil dalam arti mengakui masing-masing kebenaran yang ada. Arti lebih dalam : setiap perspektiv harus diamati. Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa die Wille zur Macht tidak berhenti pada sebuah pandangan. 'Kebenaran' dianggap sebagai semacam kekeliruan. Oleh sebab itu harus ada sesuatu untuk mengatasi kebenaran, yaitu seni. Seni tidak pernah cukup puas dengan sebuah pandangan atau perspektiv. Kata seni di sini bukanlah sekedar berarti seni dalam arti yang sempit, yang subyektif dan ber-seni, melainkan kata lain dari 'yang akan menjadi' (Werden). Dia lebih dekat dengan kehidupan daripada kebenaran. Jadi seni adalah representantiv tertinggi dari der Wille zur Macht, dan ia bukanlah sekedar kehendak seorang subyek (masih menurut Heidegger). Ia adalah karakter dasar dari eksistensi atau Das Sein. Bukan subyek individu yang menentukan der Wille zur Macht, melainkan sebaliknya. Kekuatan dari der Wille zur Macht menentukan subyek. Oleh sebab itu tidak ada kehendak dan proyeksinya, der Wille zur Macht adalah sebuah penampakan (ein Schein), dia adalah das Werden atau 'yang akan menjadi' itu sendiri, yang tidak akan pernah berhenti pada sebuah pandangan yang satu atau pandangan yang lainnya. Proses in terjadi terus menerus oleh karena kelebihannya, bukan karena ia kekurangan akan sesuatu.