Kiblat

arah ke Mekkah, digunakan Muslim ketika salat

Kiblat adalah kata Arab yang merujuk arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan sholat.

Sejarah

Pada mulanya, kiblat mengarah ke Yerusalem. Menurut Ibnu Katsir,[1] Rasulullah SAW dan para sahabat shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Namun, Rasulullah lebih suka shalat menghadap kiblatnya Nabi Ibrahim, yaitu Ka'bah. Oleh karena itu beliau sering shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.

Setelah hijrah ke Madinah, hal tersebut tidak mungkin lagi. Beliau shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Beliau sering menengadahkan kepalanya ke langit menanti wahyu turun agar Ka'bah dijadikan kiblat shalat. Allah pun mengabulkan keinginan beliau dengan menurunkan ayat 144 dari Surat al-Baqarah:

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah).[2]

Juga diceritakan dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari:[3]

Dari al-Bara bin Azib, bahwasanya Nabi SAW pertama tiba di Madinah beliau turun di rumah kakek-kakek atau paman-paman dari Anshar. Dan bahwasanya beliau shalat menghadap Baitul Maqdis enam belas atau tujuh belas bulan. Dan beliau senang kiblatnya dijadikan menghadap Baitullah. Dan shalat pertama beliau dengan menghadap Baitullah adalah shalat Ashar dimana orang-orang turut shalat (bermakmum) bersama beliau. Seusai shalat, seorang lelaki yang ikut shalat bersama beliau pergi kemudian melewati orang-orang di suatu masjid sedang ruku. Lantas dia berkata: "Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku telah shalat bersama Rasulullah SAW dengan menghadap Makkah." Merekapun dalam keadaan demikian (ruku) merubah kiblat menghadap Baitullah. Dan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab senang beliau shalat menghadap Baitul Maqdis. Setelah beliau memalingkan wajahnya ke Baitullah, mereka mengingkari hal itu. Sesungguhnya sementara orang meninggal dan terbunuh sebelum berpindahnya kiblat, sehingga kami tidak tahu apa yang akan kami katakan tentang mereka. Kemudian Allah yang Maha Tinggi menurunkan ayat "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu" (al-Baqarah, 2:143).[2]

Hal itu terjadi pada tahun 624. Dengan turunnya ayat tersebut, kiblat diganti menjadi mengarah ke Ka'bah di Mekkah. Selain arah shalat, kiblat juga merupakan arah kepala hewan yang disembelih, juga arah kepala jenazah yang dimakamkan.

Penentuan arah kiblat

 
Perhitungan geometris arah kiblat

Dalam 1000 tahun terakhir, sejumlah matematikawan dan astronom Muslim seperti Biruni telah melakukan perhitungan yang tepat untuk menentukan arah kiblat dari berbagai tempat di dunia. Seluruhnya setuju bahwa setiap tahun ada dua hari dimana matahari berada tepat di atas Ka'bah, dan arah bayangan matahari dimanapun di dunia pasti mengarah ke Kiblat. Peristiwa tersebut terjadi setiap tanggal 28 Mei pukul 9.18 GMT (16.18 WIB) dan 26 Juli jam 9.27 GMT (16.27 WIB).

Tentu saja pada waktu tersebut hanya separuh dari bumi yang mendapat sinar matahari. Selain itu terdapat 2 hari lain dimana matahari tepat di "balik" Ka'bah (antipoda), dimana bayangan matahari pada waktu tersebut juga mengarah ke Ka'bah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 28 November 21.09 GMT (4.09 WIB) dan 16 Januari jam 21.29 GMT (4.29 WI

Pranala luar


Catatan

  1. ^ (Arab)Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat al-Baqarah.
  2. ^ a b (Arab)Al-Qur'an Al-Karim.
  3. ^ (Arab)Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, hadits no. 41 dalam Fath al-Bari.