Beras Tekad
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. |
Beras TeKaD merupakan beras yang terbuat dari keTela, Kacang, dan Djagung (ejaan lama). Makanan ini berbentuk seperti nasi jika baru dimasak, namun jika sudah mendingin nasi ini berubah menjadi jenang dan rasanya tidak enak. Beras ini konon pernah diciptakan oleh pemerintahan Indonesia ketika kebutuhan pangan di Indonesia sedang sulit.
Latar Belakang
Setelah Indonesia berhasil membebaskan Irian Barat, Indonesia pun mulai 'mengganyang' Malaysia. Situasi politik dan ekonomi ketika itu menjadi sangat memprihatinkan. Harga-harga naik tak terkendali. Harga beras sangat mahal hingga rakyat pun terpaksa menggantinya dengan jagung, ketela, dan hasil tanaman umbi lainnya. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Indonesia bertekad mencanangkan strategi "berdikari" (berdiri di kaki sendiri). Indonesia bertekad untuk makan dan berpakaian dari hasil bumi sendiri. Sebenarnya, Soeharto pernah melansir Inpres No. 14 tahun 1974 dan Inpres No. 20 tahun 1979 tentang Diversifikasi Pangan untuk Mengatasi Rawan Pangan yang mengkampanyekan keragaman makanan pokok. Kala itu sempat muncul istilah beras TeKaD yang berbahan dasar singkong. Hanya saja, pemerintah Orde Baru tak pernah menyiapkan cetak biru keragaman pangan. Desain pertanian terfokus untuk mengejar swasembada beras. Pemerintah juga terus memberi jatah beras kepada para pegawai negeri secara pukul rata tanpa melihat tradisi pangan di masing-masing tempat. Saat swasembada beras tercapai pada 1984, kampenye itu redup begitu saja. Beras TeKaD seperti menjadi satir yang pahit bagi kampanye keragaman pangan yang butuh lebih dari sekadar tekad.
Pada 1954, pangsa beras di Indonesia hanya 53,5 persen, separuhnya merupakan para pemakan non-beras. Pada 1987, angka itu melonjak menjadi 81,1 persen. Dalam rentang 45 tahun, dari 1954-1999, pangsa singkong yang tadinya sebesar 22,6 persen menyusut menjadi hanya 8,83 persen.[1]
Kembalinya Soeharto menoleh tiwul saat krisis pangan pada awal 1990-an justru memperkokoh status tiwul dan singkong sebagai makanan kelas dua, pangan yang terpaksa digunakan dalam keadaan darurat. Tak aneh jika jarang terdengar masyarakat dengan tradisi panjang pangan non-beras yang mampu bertahan dari penetrasi padi dan beras. Namun dengan terciptanya beras TeKaD tetaplah tidak efektif. Pada waktu yang bersamaan pula, bencana hama tikus melanda di mana-mana. Sampai-sampai kulit batang pohon keras pun seperti pohon ketela terkelupas habis oleh gigitan tikus.