Huria Kristen Indonesia

salah satu denominasi Kristen
Revisi sejak 13 Desember 2007 16.04 oleh 125.163.82.48 (bicara)

SEJARAH HURIA KRISTEN INDONESIA (HKI)

Huria Kristen Indonesia adalah gereja Lutheran (Protestan) dan anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). HKI berkantor pusat di Pematangsiantar-Sumatera Utara-Indonesia.


Diberikan oleh Pdt.HOPOL M.Sihombing,STh kepada Wikipedia Pdt.HOPOL 17:59, 26 November 2007 (UTC)

“ Aku akan mengutus dari antara mereka ke pulau-pulau yang jauh yang belum pernah mendengar kabar tentang Aku dan yang belum pernah melihat kemuliaanKu” ( Yes. 66 : 10 ).

I. Pendahuluan. Suku Batak adalah salah satu suku yang cukup besar di Indonesia. Karena kebesarannya, orang Batak selalu menyebut “Bangso Batak”. Menurut SejarahNya, suku Batak menyebar dari Pulau Samosir ke daerah-daerah lainnya di Indonesia. Suku Batak terdiri dari lima etnis, yaitu : Toba, Simalungun, Karo, Pakpak Dairi, Angkola – Mandailing. Berabad-abad lamanya, suku Batak berada dalam “kegelapan”. Oleh Anugerah Allah yang dinyatakan dalam Yesus Kristus, setelah tiba waktunya, Allah mengutus hamba-hambaNya memberitakan Injil kehidupan ke tengah-tengah suku Batak yang masih berada dalam kegelapan itu. Bangsa Belanda yang sudah + 226 menjajah Indonesia, senantiasa berusaha memajukan usaha dagangnya ( VOC ). Dalam waktu yang bersamaan, mereka melihat bahwa penduduk di Indonesia masih lebih banyak yang belum beragama, selain agama suku. Keadaan ini mereka beritakan kepada Gereja-Gereja di Negeri Belanda. Atas dasar berita ini, Gereja Belanda melalui Badan Zending NZG (Nederlanche Zending Genoschap) mulai mengutus Penginjil ke Indonesia. Mereka memula Penginjilan itu dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh militer Belanda karena dianggap lebih aman. Mereka memulai pekerjaan itu dari Batavia ( Jakarta sekarang ). Disamping Gereja Belanda, Gereja Babtis Amerika Serikat juga mengutus dua orang Misionaris untuk bekerja di Indonesia. Akan tetapi hingga akhir pelayanannya kedua misionaris itu belum berhasil menyebarkan Injil ke Tanah Batak. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1834, Gereja Boston Amerika Serikat mengutus dua orang lagi Penginjil untuk bekerja di Tanah Baatak, mereka adalah Tuan Munson dan Tuan Lyman. Setelah menempuh jarak kira-kira 100 km dari suatu daerah yang benama Barus dengan berjalan kaki melewati rawa-rawa , gunung-gunung batu terjal, dan hutan belukar, mereka sampai di Sisangkak Lobupining kira-kira 10 km dari Tarutung ke arah Sibolga. Kedua orang Misionaris ini ditolak dan dibunuh oleh penduduk setempat tanggal 28 juni 1834. Setelah beberapa tahun Badan Zending Belanda NZG bekerja di Batavia, merekapun mulai melakukan penginjilan ke tanah Batak dengan mengutus seorang Misioanaris bernama Pdt. Van Asselt. Mereka memulainya dari arah selatan ( Sipirok ). Van asselt disusul oleh dua orang Misioanaris dari Badan Zending Jerman “Reinsche Mission Gesellschaft (RMG)”, yaitu Pdt. Heiny dan Pdt. Klammer ke Sipirok. Sebelumnya kedua Misionars ini pertama kali diutus oleh Badan Zending RMG bekerja ke Borneo (Kalimantan), akan tetapi, mereka ditolak disana kemudian kembali ke Batavia lalu diutus ke Tanah batak ( Sipirok ). Setelah kedua misionars RMG ini sampai di sipirok, pada tanggal 07 Oktober 1861 tugas penginjilan selanjutnya di Tanah Batak diserahkan oleh NZG (Van Asselt ) kepada RMG ( Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer ). Tanggal serah terima inilah yang dicatat sebagai permulaan keKristenan ditanah Batak. Satu Tahun kemudian, RMG mengutus seorang misionaris , yaitu Pdt. I.L Nommensen, yang akhirnya kita sebut sebagai Rasul Orang Batak. Beliau sampai di Barus pada tanggal 14 Mei 1862 dan terus ke Sipirok bergabung dengan misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer. Setelah berdiskusi dengan kedua Misioanaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nomensen akan bekerja di Silindung. Kunjungan Pertama ke Tarutung dilakukan oleh Nomensen pada Tanggal 11 November 1863. Pada Kunjungan pertama ini, Nomensen diterima oleh Ompu Pasang ( Ompu Tunggul ) kemudian tinggal dirumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas LumbanTobing. Dari sini Nomensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya. Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nomensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada tanggal 07 Mei 1864. Nomensen kembali kerumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul ), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung dibawah sebatang pohon beringin ( hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nomensen lalu pergi kedesa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari LumbanTobing. Nomensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengijinkannya tinggal diatas lumbung padinya. Akan tetapi raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nomensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman kedesanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya. Oleh kuasa Tuhan pemilik Gereja, apa yg dikatakan oleh Nomensen terbukti. Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian menginjinkan Nomensen tinggal dirumahnya. Akan tetapi, pada mulanya Raja Pontas LumbanTobing tidak mau menerima Nomensen. Dia berusaha mempengaruhi Raja-Raja di Silindung supaya menolak Nomensen. Sebaliknya, Raja Aman Dari LumbanTobing, juga berusaha mempengaruhi Raja-Raja di Silindung untuk menerimanya. Sehingga masyarakat di sekitar Silindung terbagi dua dalam hal penerimaan terhadap Nomensen. Walaupun masyarakat Silindung terbagi dua (ada yang menerima dan ada yang menolak Nomensen), Nomensen tetap berada di Tarutung dan memulai pelayanannya mengabarkan Injil. Oleh Kuasa Tuhan, satu Tahun kemudian, 27 Agustus 1865, Nomensen dapat melakukan pembabtisan pertama kepada satu orang Batak. Bahkan di Kemudian hari, Raja Pontas Lumban Tobing yang dulunya menolak Nommensen, meminta supaya dia dan keluarganya dibabtiskan. Pada saat itu juga Raja Pontas meminta supaya Nomensen pindah dari Huta Dame ke Pearaja. Setelah Raja Pontas dan keluarganya masuk Kristen, masyarakat Silindung makin banyak masuk Kristen. Sejalan dengan pertumbuhan Gereja di Silindung, Nomensen membuka Sekolah Guru di Pansur Napitu. Lulusan sekolah ini dijadikan menjadi guru Injil dan Guru Sekolah. Dikemudian hari, sekolah ini dipindahkan ke Sipaholon. Kemudian, Nomensen membuka Pos Penginjilan baru di Sigumpar. Dari sanalah beliau menyebarkan Injil bersama para pembantunya ke seluruh Toba Holbung dan Samosir. Nomensen meninggal pada pada tanggal 22 Mei 1918 dan dikebumikan pada tanggal 24 Mei 1918 di Sigumpar, disamping makam istrinya tercinta yang telah mendahuluinya.

I. GERAKAN KEMANDRIAN GEREJA BATAK Untuk meningkatkan taraf hidup, banyak orang Batak Kristen yang merantau ke Pesisir Timur Pulau Sumatera dan Jawa. Kebanyakan dari mereka yang pindah adalah Petani yang bersahaja, hanya sedikit dari antara mereka yang bekerja di perkebunan. Kita tidak mengetahui secara pasti kapan mulai terjadi. Yang dapat kita catat adalah bahwa sejak tahun 1907 para perantau ini sudah mendirikan gereja-gerejanya sendiri disekitar perkebunan Tapanuli, kota-kota pesisir Sumatera Timur hingga pada Tahun 1920 di Jakarta yang dikaitkan dengan tradisi Gereja Batak di Tapanuli dan dengan RMG. Gereja-Gereja di Perantauan ini makin gencar menuntut kemandirian Gerejanya dari RMG. Mereka makin mendorong usaha kemandirian yang telah dilakukan melalui pendirian “Pardonganon Kongsi Mission Batak (PMB)” pada tanggal 02 November 1909 di Tarutung dan “Hadomuan Kristen Batak” ( HKB) pada tanggal 28 September 1917 di Balige.

III. HOERIA CHRISTEN BATAK ( H.Ch.B ) adalah Gereja Mandiri yang pertama.

1. Berdiri 01 Mei 1927 Sejak Tahun 1907 sudah ada jemaat yang dirikan oleh RMG di Pematang Siantar ( Jalan Gereja sekarang ), dan jemaat ini menjadi pusat utama para Misioner RMG di Sumatera Timur. Akan tetapi, warga Jemaatnya banyak yang tersebar disekitar pinggiran kota Pematang Siantar yang jaraknya kurang lebih 04 km dari gereja ini dan F.Sutan Malu Panggabean adalah salah seorang dari antaranya. Mempertimbangkan sulitnya menjangkau Gereja di Pematang Siantar dengan Jalan kaki, maka F. Sutan Malu Panggabean ( yang adalah lulusan Sekolah Guru Seminari Sipaholon tahun 1909) mengusulkan agar didirikan satu jemaat baru di Pantoan. Usul ini ditolak oleh Pdt. R. Scheneider ( Missionari RMG) di Gereja Pematang Siantar. Sejalan dengan lahirnya hari kebangkitan Nasional melalui pendirian Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan didorong oleh keinginan kemandirian Gereja dari RMG, serta penolakan mendirikan Jemaat Baru di Pantoan oleh Misionaris RMG di Pematang Siantar, adalah menjadi salah satu alasan untuk mendirikan satu gereja baru di Pantoan yang kemudian disebut Hoeria Christen Batak ( H.Ch.B). Sebenarnya, sejak tahun 1927, F.P.Sutan Malu sudah mulai melakukan kebaktian Minggu dirumahnya di daerah Pantoan Pematang Siantar. Akan tetapi, baru pada tanggal 01 April 1927 membuat surat pemberitahuan resmi kepada pemerintahan. Alasan utama mendirikan Gereja ini ( disamping alasan yang disebut diatas ) dinyatakan oleh F. Sutan Malu Panggabean pada waktu beliau ditanyai oleh Pejabat Pemerintah Simalungun, adalah Firman Tuhan yang tertulis dalam Yakobus 1 : 22 : “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri”. Dari alasan yang dikemukakan ini nampak dengan jelas bahwa pendirian Gereja HChB yang memperluas namanya menjadi HKI adalah untuk menyelenggarakan Pekabaran Injil ( Marturia), persekutuan ( Koinonia), dan Pelayanan Kasih ( Diakonia ).

2. Perkembangan Mula-mula Sambutan masyarakat Kristen Batak terhadap H.Ch.B di Pematang Siantar dan sekitarnya sangat luar biasa. Dalam kurun waktu yang relative singkat (8 Tahun), yaitu pada masa 1927-1930 terdapat 5 Jemaat dengan 220 Kepala Keluarga, dan pada masa 1931-1933 jumlahnya bertambah menjadi 47 Jemaat dan pada masa 1933-1935 jumlahnya sudah mencapai lebih dari 170 Jemaat. Dari daerah Pematang Siantar dan sekitarnya, pada masa 1931-1942, Gereja HChB sudah menyebar sampai ke Daerah Deli Serdang, Tapanuli didaerah Humbang, Sipahutar, Pangaribuan, Silindung sekitarnya, Patane Porsea atau Toba Holbung sekitarnya, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sidikalang, atau Dairi sekitarnya, Tanah Alas dan sekitarnya. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa gerakan kemandirian Gereja itu tidak hanya terjadi diPematang Siantar dan sekitarnya, tetapi juga di Medan. Demikianlah pada tanggal 5 Agustus 1928 oleh 123 orang warga jemaat RMG mendirikan satah satu Jemaat baru di Medan yang disebut “Hoeria Christen Batak Medan Parjolo” ( HChB Medan I ). Karena banyak yang tidak senang atas pendirian Gereja Baru ini, maka kelompok yang tidak senang ini menamai mereka “Partai 123”. Sebutan ini dimaksud untuk mendiskreditkan Gereja Baru ini sebagai partai politik bukan Gereja. Jermaat inilah yang menjadi jemaat HKI jalan Dahlia Medan sekarang. Semua jemaat-jemaat diharuskan menyelenggarakan Pendidikan kepada anak-anak setingkat sekolah dasar.

2. RECHTPERSON DAN HAK MENYELENGGARAKAN SAKRAMENT. H.Ch.B yang disebut-sebut oleh orang-0rang yang tidak menyukainya sebagai kumpulan Partai Politik sangat menderita. Karena HChB tidak diakui sebagai Gereja, maka tidak diberi hak melayankan sacrament ( Babtisan dan Perjamuan Kudus ) oleh pemerintahan Belanda. Atas dasar ini maka Pimpinan HChB Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean dan Secretaris I.M Titoes Lumban Gaol memohon Rechtperson dan izin melayankan sacrament kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta pada tanggal 09 September 1929 dan disusul tanggal 01 Agustus 1931. Akan tetapi jawaban dari Pemerintah Belanda tidak kunjung tiba. Karena permohonan-permohonan tidak ditanggapi, maka diputuskan untuk mengutus Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung menghadap Gebernur Jenderal di Jakarta. Biaya yang dibutuhkan f.250 ( sama dengan harga 310 kaleng beras). Untuk mengusahakan biaya ini ditugaskan pengurus HChB Pantoan dan Dolok Merangir. Akan tetapi, mereka gagal untuk mencarinya. Seluruh jemaat-jemaat di Pematang Siantar dan sekitarnya berdatangan ke Pantoan untuk mendoakan kepergian Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean Pimpinan Gereja mereka agar Tuhan menyediakan biaya yang dibutuhkan dan beliau dituntun, diperlengkapi, dikuatkan serta dipelihara oleh Tuhan dalam perjalanannya. Mereka bernyanyi dan berdoa dengan deraian air mata. Atas dasar keyakinan, Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean berangkat ke Dolok Merangir dan besok paginya direncanakan berangkat ke Belawan. Beliau sampai disana pukul 22.30 (malam). Sekretaris I M.T LumbanGaol menginformasikan bahwa biaya yang dibutuhkan ke Batavia belum diperoleh. Dengan lebih dulu bernyanyi dan berdoa diiringi dengan isakan tangis , dalam kegelapan malam Bapak M.T Lumban Gaol berangkat lagi untuk mengusahakannya. Beliau kembali pada pukul 01.30 (pagi) dengan membawa sejumlah uang yg dibutuhkan. seorang yang bukan warga gereja berkenan meminjamkannya kepada bapak M.T Lumban Gaol. Inilah yang memungkinkan keberangkatan Voorzitter F. Sutan Maloe Panggabean langsung menghadap Gebernur Jenderal di Jakarta. Dengan diiringi doa dan air mata, seluruh warga Jemaat melambaikan tangan untuk memberangkatkan Pimpinan Gereja nya ke Batavia. Di Batavia, melalui bantuan seorang pengacara yang bernama Mr. Hanif, Voorzitter F.P Sutan Malu Panggabean dapat menemui Gubernur Jenderal Belanda di Bustenzorg ( Bogor sekarang ). Setelah dilakukan rapat oleh pemerintah Belanda maka pada tanggal 27 Mei 1933 ( dua hari berikutnya ) Rechtperson diberikan. Dan sepuluh hari berikutnya, izin melayankan Sakrament juga diberikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Menyadari pentingnya pelayan untuk melayankan Sakrament maka pata tahun 1933 Voorzitter F.P Sutan Malu Panggabean ditahbiskan menjadi Pendeta.

3. PERLUASAN NAMA HChB MENJADI HKI Atas kesadaran perluasan misi Gereja dan atas kesadaran bahwa HChB bukan hanya untuk berada di Tanah Batak Saja, maka pada Synode tanggal 16-17 November 1946 nama HChB ( Huria Christen Batak ) diperluas menjadi HKI ( Huria Kristen Indonesia ). Dalam Synode ini juga dipilih Voorzitter ( Ketua Pucuk Pimpinan yang baru ) Pdt. T.J Sitorus. Beliau inilah yang memimpin HKI sampai Juli tahun 1978 ( 32 Tahun ). Akan tetapi sangat disayangkan, setelah selesai Synode, ada beberapa Jemaat dan Pendeta yang menyatakan ketidaksetujuan nya pada perluasan nama ini. Mereka terpisah dari HKI dan tetap memakai nama HChB, yang kemudian diubah menjadi “Gereja Batak Kristen ( GKB ). Baru pada tanggal 26 Agustus 1976 Synode GKB menyatakan diri bergabung kembali dengan HKI.

4. KEGIATAN OIKUMENIS a. Terisolasi selama 40 Tahun Seperti disebutkan diatas, bahwa Badan Zendng RMG tidak mengakui HChB (HKI) sebagai Gereja. Oleh sebab itu, selain dari mempengaruhi Pemerintahan Hindia Belanda untuk mempersulit Gereja HChB memperoleh Rechtperson dan izin melayankan sacrament, juga menghambat HChB ( HKI ) memasuki Badan-Badan Oikumenis di Indonesia dan Internasional selama 40 Tahun. Selama 40 Tahun ini HChB ( HKI ) sangat menderita. Semua Perguruan Teologia di Indonesia tertutup untuk HChB ( HKI ). Dengan kemampuannya yang terbatas, HChB ( HKI ) mendidik para Pelayannya ( Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrow dan Evangelis) selama 40 Tahun. HKI juga tidak menerima bantuan apapun dari gereja-Gereja dalam dan Luar Negeri. Gereja HKI benar-benar berdiri sendiri dalam daya, dana dan teologia. Selama 40 tahun ini juga, HChB ( HKI ) mencatat tiga kali kemelut Internal ( masa 1934-1942; 1946; 1959-1964). Akan tetapi oleh anugerah Tuhan pemilik Gereja itu dan dilandasi oleh semangat kemandirian Gereja HChB ( HKI ) dapat menyelesaikan sendiri masalah internalnya.

B. DITERIMA DALAM KEGIATAN OIKUMENIS. Setelah bergumul didalam doa dan melalui pendekatan-pendekatan yang sangat melelahkan, maka pada Sidang Dewan Gereja-Gereja Indonesia ( DGI ) tanggal 29 Oktober 1967 di Makasar (Ujung Pandang ) HKI diterima menjadi Anggota DGI. Sejak HKI diterima menjadi Anggota PGI, terbukalah pintu bagi HKI untuk Persekutuan Gereja-Gereja Internasional. Sekarang HKI adalah salah satu Gereja Anggota di CCA, LWF, WCC, UEM dan memiliki hubungan yang baik dengan Gereja-Gereja di Indonesia dan dengan gereja –Gereja di Indonesia dan dengan Gereja-Gereja Manca Negara misalnya ELCA ( AMerika), LCA ( Australia), Gereja Rheinland dan Wesfalia di Jerman, dan secara khusus memiliki hubungan Partnership dengan K.K Hamm Jerman.

5. KEADAAN SEKARANG Dalam umurnya yang ke 79 tahun ini, HKI sudah tersebar di persada nusantara ini terutama di Sumatera dan Jawa. Warga jemaatnya kurang lebih 300.000 jiwa dan tersebar di 674 Jemaat, 103 Resort, dan 8 Distrik/ Daerah. Dilayani oleh 130 orang Pendeta, 78 Orang Guru Jemaat penuh waktu dan 596 orang Guru Jemaat paruh waktu, 8 orang bibelvrow, 4 Orang Diakones.

IV. PENUTUP Melihat kesetiaan Tuhan menuntun HChB yang memperluas nama nya menjadi HKI selama 79 Tahun ini, maka kita patut beryukur kepada Tuhan serta mengevaluasi secara jujur dihadapan Tuhan sudah sejauh mana kemaksimalan pelayanan kita selama ini di HKI. Untuk kemudian bersama membangun pelayanan di HKI ini. Ingatlah bahwa motivasi dan dasar mendirikan HChB atau HKI ini seperti yang tertulis di Yakobus 1 :22 yang menatakan : “Tetapi hendaklah kamu menajdi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demian, kamu menipu diri sendiri”.

Disarikan Oleh Pucuk Pimpinan HKI


(disalin oleh Pdt.HOPOL M.Sihombing,STh kpd. Wikipedia Indonesia)

History Of The Huria Kristen Indonesia (HKI) :

A Short History of the HKI Forward The Batak people are one of the largest in Indonesia. According to legend, the Batak people spread out beginning from Samosir Island (in the middle of Lake Toba in North Sumatra). The Batak ethnic group consists of 5 sub-groups: the Toba Batak, the Simalungun, the Karo, the Pakpak-Dairi, and the Angkola-Mandailing. For many centuries, the Batak people lived in the darkness before the coming of the Christian Gospel. By the grace of God in Jesus Christ, at a certain time, God sent his servants to make known the Gospel of Life into the midst of the Batak people who sat in darkness. The American Baptist Church was the first (in 1824) to send missionaries, Richard Burton and Nathaniel Ward, to the Batak lands. However, these two missionaries were not able to succeed in spreading the Gospel in the Batak lands. Ten years later, in 1834, the Boston-based “American Board of Commissioners for Foreign Missions” sent two people as Evangelizers to the Bataks, Henry Lyman and Samuel Munson. However, these two missionaries were rejected and killed by the residents of a place called Si Sangkak Lobu Pining (about ten kilometres from Tarutung and Sibolga) on 28 June 1834. Later on, the mission board “Nederlands Zendings Genootschap” sent a missionary named Van Asselt. On 7 October 1861, the mission board “Rheinishe Missions Geselleschaft” delegated the missionaries Heiny and Klammer to the Batak lands. They worked in Sipirok, the region of the Angkola-Mandailing. ON 14 May 1862, the RMG mission-board sent I.L. Nommensen to spread the gospel in the Batak lands. He at last was able to succeed and thus we give him the name, “The Apostle to the Bataks.”

The Birth of the “Hoeria Christen Batak” (H.Ch.B.) Which Became the “Huria Kristen Indonesia” (HKI) The Movement for Church Independence In order to raise living standards, many Batak Christians migrated to the east coast of the island of Sumatra. Most of those who moved were simple farmers, only Allah few of them working in the colonial plantation industry. We do not know for certain when this migration began. We can note that since 1907 these migrants were establishing churches themselves in the cities in the eastern parts of North Sumatra. The churches resulting from this migration were unceasing in their expectation of the independence of the church from the RMG.

H.Ch.B. (Which Became the HKI) Was the First Independent Church (1 May 1927) Since 1907 there had been a congregation founded by the RMG in Pematangsiantar. This church became the center for RMG missionaries in the eastern region of north Sumatra. The members of this church were spread out around the edge of the city of Pematangsiantar, for example in the village of Pantoan. Considering the difficulties in reaching the church by foot, Frederik Sutan Malu Panggabean (who had graduated from the RMG Seminary in Sipoholan in 1909) urged that there be a new congregation founded in Pantoan. Pastor Panggabean’s suggestion was rejected by the RMG missionary in Pematangsiantar, R. Schneider. This moment in history was also marked by the birth of Indonesian nationalism (still under the colonial rule of the Netherlands). The date of 20 May 1908 is remembered as the Day of National Resurgance in connection with the establishment of the nationalist movement Budi Otomo. With this historical context in mind, the RMG missionary Schneider’s rejection of the establishment of a church in Pantoan became one reason for the establishment of a new church in Pantoan which was to be named, “Hoeria Christen Batak” which was to become the HKI. According to Pastor Panggabean, the reason for setting up this new church was on account of God’s Word found in the Epistle of James 1:22: “But be ye doers of the word, and not hearers only, deceiving your own selves.”

Beginning Developments The response of the people around Pematangsiantar to the development of the H. Ch.B. was extraordinary. In the time frame of only three years, that is, between 1927-1930, there were 5 more congregations founded with 220 new families added. In the year 1933, there were 47 congregations; in 1935, 170 congregations! From Pantoan in Pematangsiantar, the HKI spread out to the other regions of Deli Serdang, Tapanuli (Humbang, Sipahutar, Pangaribuan, Silindung, Patane Porsea, Toba Hasundutan) and Medan. Church buildings were built, even though they were simple, to function as elementary schools as well.

The Permission and Right to Serve the Sacraments People who did not like the H.Ch.B. used to accuse the H.Ch.B. of being a political party subverting the Dutch colonial rule. The people of the H.Ch.B. suffered much as a result of this. The H.Ch.B. was not recognized as a Church by the Dutch government and was not authorized to serve the sacraments (Baptism and the Lord’s Supper). The request for recognition as a Church and the authorization to serve the Christian sacraments was many times conveyed to the Dutch government but never accepted. With limited facilities, Pastor F. Sutan Malu Panggabean went to face the Dutch Governor General in Buitenzorg (today Bogor) on the island of Java. On 27 May 1938, the permission for the H.Ch.B. was granted. Since then, the H.Ch.B. was allowed to celebrate the Christian sacraments.

The Expansion of the Name H.Ch.B. to Become HKI With the realization of the expansion of the mission of the church and with the understanding that the church was not only for Bataks, the Synod (the governing assembly) of the H.Ch.B. on 16-17 November 1946 broadened the name, making it the “Huria Kristen Indonesia.” This same assembly chose Pastor T. J. Sitorus as the “Voorsitter.” Regrettably, several congregations disagreed with this name change and remained the “H.Ch.B.” Later changing their name to “Gereja Kristen Batak,” on 26 August 1976, the Synod assembly of the GKB, having lost many church members to other churches, declared themselves reconciled with the HKI.

Ecumenical Activities

Isolated for 40 years As mentioned above, the RMG did not recognize the H.Ch.B as a church. This attitude did not change when the H.Ch.B. became the HKI. The same attitude was present in the “Huria Kristen Batak Protestan” (the HKBP) until 1967. On the basis of this, the HKI was prevented from joining the ecumenical bodies in Indonesia and internallionally for 40 years. The H.Ch.B. and later the HKI suffered greatly from this isolation. All higher theological education was closed to students from the H.Ch.B/HKI. For these 40 years, H.Ch.B/HKI stood alone in all financial and staffing matters. For these 40 years, the H.Ch.B/HKI has noted 4 important critical stages in its internal development: 1934-1942, 1946, 1959-1964 and 1986. But by the grace of our Lord the King, the H.Ch.B/HKI has worked itself through all its internal conflicts.

Received into the Ecumenical Movement After wrestling in prayer and through tireless approaches, the Indonesian Council of Churches (the “Persekutan Gereja-Gereja,” or PGI) finally accepted the HKI into membership on 29 October 1967 at their meeting in the city of Ujung Pandang (Makassar). Since the reception of the HKI into membership of the PGI, the door was opened for the HKI enter into the world ecumenical community. Today, the HKI is a member of the CCA, the LWF, the WCC, UEM and maintains good relations with other churches in Indonesia and many other countries such as the Lutheran Church of Australia, the Evangelical Lutheran Church in America, the churches of Rheinland, Westphalia and especially with K.K. Hamm.

The Contemporary Situation The HKI today has spread to many provinces, regions, cities and islands in Indonesia, especially the islands of Sumatra, Batam and Java. In this year of 2005, the members of the HKI number about 300,000, spread out between 728 parishes, 113 districts, and 8 provinces. The HKI is served by an Ephorus, a Secretary General and 8 district heads, 139 pastors (both men and women), 704 teacher-preachers (78 full-time and 596 part-time), 8 “Bibelvrouwen,” 4 evangelists, 5,020 elders, 27 staff members in the central office and at the Panti Asuhan Zarfat orphanage, among other places.

The Partnership Experience with Kirchenkreis Hamm From this brief history of the HKI, our brothers and sisters in the K.K. Hamm can understand that the desire for partnership between the HKI and K.K. Hamm is a development that is warmly welcomed and happily received. At the same time, this is an important opportunity for the HKI to fulfill its call as the church in Indonesia. Ever since July 1978, K.K. Hamm and the HKI have been official partners even while a relation existed before then, including the assistance in building up the Panti Asuhan Zarfat orphanage in the village of Bahsampuran in Pematangsiantar. Since the partnership between the K.K. Hamm and the HKI was begun, the HKI truly feels a sense of brotherhood and sisterhood which prayerfully assists the HKI in the fulfillment in its call as the church. The prayers and assistance from K.K. Hamm (both the continuing support and the incidentals) have helped and equipped the HKI to carry out its mission. We can mention several here, among others:

1. Adding to the insight of the leadership, the church members, the women and the youth of the HKI as well as firming this community through exchange visitations. 2. Helping to equip and take care of the buildings, automobiles, providing clean water, school money, clothes, food and medicines for the children of the Panti Asuhan Zarfat orphanage. 3. Helping the efforts of the evangelization and service of the HKI through the donation of automobiles, motocycles, parsonages and offices of the district leadership. 4. Helping the development of the HKI thorugh the donations of funds for the upgrading of pastors, teacher-preachers, treasurers, elders, women, youth, sunday schools and for the printing of liturgy books, hymnals, study book for sunday schools, catechism and women. 5. Helping to raise up the human resources of the HKI through scholarships. 6. Helping the HKI finances through the planting of 100 hectacres of palm oil trees. 7. Helping to raise up the social-economy of HKI church members through farming, fisheries and co-ops.

There is still many fruits of love which are result of the K.K. Hamm/HKI partnership which can not be mentioned one by one. As was mentioned above, the prayers and assistance not only help the HKI financially, but more than that, it gives spiritual encouragement. We pray that God may always strengthen and bless the KK Hamm and the HKI especially in the protection and building up of the present relationship. We also pray that K.K. Hamm is strengthened by the Lord and the HKI matures through this partnership so that this partnership is not only about financial assistance.