Pohon Pengetahuan Tentang yang Baik dan yang Jahat

Revisi sejak 23 Februari 2016 06.11 oleh GO2AMDG (bicara | kontrib)

Pohon Pengetahuan Tentang yang Baik dan yang Jahat adalah sebuah pohon yang menurut mitologi Yahudi dan Kristen ditempatkan Allah di tengah Taman Eden. Kisah ini terdapat dalam Kitab Kejadian pasal 2 dan 3. Menurut Kejadian 2:9, Allah melarang Adam (termasuk juga Hawa) memakannya (Kejadian 2:17). Pohon lain yang juga ada di tengah taman itu adalah "Pohon Kehidupan". Kejadian 2:16 menyatakan bahwa Allah mengizinkan mereka makan buah-buahan dari semua pohon lainnya yang ada di taman itu.

Lukisan Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat oleh Lucas Cranach Senior

Kitab Kejadian 2:16 menyatakan bahwa Allah mengizinkan mereka memakan buah dari pohon manapun juga yang ada di taman itu, termasuk buah Pohon Kehidupan. Ketika Hawa, dan kemudian Adam, memakan buah yang terlarang itu dari Pohon Pengetahuan tentang Yang Baik dan Yang Jahat (Kejadian 3:6), setelah dicobai oleh si ular (Kejadian 3:1–5), mereka menjadi sadar bahwa mereka telanjang (Kejadian 3:7), dan mereka diusir dari taman itu dan terpaksa hidup dengan bertani "dengan peluh di wajah mereka" (Kejadian 3:19–24).

Penafsiran

Yudaisme

Menurut tradisi Yahudi, perintah Allah untuk tidak memakan buah dari pohon itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan memilih kepada Adam dan Hawa dan mengizinkan mereka untuk mengumpulkan, dan bukan menerima, kesempurnaan mutlak serta hubungan yang intim dengan Allah, suatu tingkat yang lebih tinggi daripada tingkatan mereka saat mereka diciptakan. Menurut tradisi ini, Adam dan Hawa mestinya dapat mencapai kesempurnaan mutlak dan mempertahankan keabadian andaikan mereka berhasil dalam melawan godaan untuk memakn buah dari pohon itu. Setelah gagal dalam tugas ini, mereka dihukum dengan bekerja untuk suatu masa tertentu untuk memperbaiki alam ciptaan yang telah gagal. Tradisi Yahudi memandang si ular, dan kadang-kadang Pohon Pengetahuan tentang Yang Baik dan Yang Jahat itu sendiri, sebagai representasi dari kuasa jahat.

Yudaisme Reformasi dan Yudaisme Konservatif tidak melihat "kejahatan" selain daripada tindakan jahat dari manusia sendiri. Pelanggaran Hawa satu-satunya adalah bahwa ia tidak menaati perintah Allah. Adam ada bersamanya sepanjang waktu dan sama sekali tidak berusaha menghentikannya. Karena itu, tidaklah tepat bila kita mempersalahkan Hawa semata-mata. Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden dan harus menjalani hidup manusia yang biasa. Dengan kata lain, mereka harus "meninggalkan rumah" dan bertumbuh dan hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab. Andaikan mereka tak pernah memakan buah dari pohon larangan itu, mereka tidak akan pernah menemukan kapasitas mereka untuk bertindak dengan kehendak bebas di dunia. Allah tidak menginginkan manusia yang tidak mempunyai pilihan dan hanya melakukan apa yang baik dan benar.

Rabbi David Fohrman dari Yayasan Hoffberger untuk Studi Torah, mengutip tulisan Maimonides, "Guide for the Perplexed", menyatakan bahwa "pohon itu tidak memberikan kepada kita kesadaran moral ketika kita tidak mempunyainya. Sebaliknya, ia mentransformasikan kesadaran ini dari satu jenis ke jenis yang lainnya." Setelah memakan buah pohon itu, perasaan yang ada di dalam diri manusia untuk memiliki kesadaran moral ditransformasikan dari konsep salah dan benar menjadi konsep baik dan jahat. Kitab Kejadian menggambarkan pohon itu sebagai pohon yang menarik (3:6), dan konsep kita tentang baik dan jahat, berbeda dengan konsep kita tentang salah dan benar, juga mempunyai ukuran keinginan yang tersirat (implicit measure of desire). [2]

Kristen

Dalam teologi Kristen, Pohon Pengetahuan tentang Yang Baik dan Yang Jahat terkait dengan doktrin tentang dosa asal. Augustinus dari Hippo percaya bahwa umat manusia mewarisi dosa itu sendiri dan kesalahan atas dosa Adam dan Hawa. Dengan memakan buah pohon itu, Adam dan Hawa berusaha menjadi seperti Allah. Untuk perdebatan tentang doktrin Gereja Barat mengenai dosa asal dan doktrin Gereja Timur tentang dosa nenek moyang, lihat "Ancestral Versus Original Sin: An Overview with Implications for Psychotherapy."[1] Ada sekelompok kecil orang Kristen yang memegang doktrin Pelagius. Pelagianisme adalah doktrin yang percaya bahwa setiap individu menghadapi pilihan yang sama antara dosa dan keselamatan seperti yang dihadapi oleh Adam dan Hawa.

Islam

Dalam literatur agama Islam pohon ini hanya disebut dengan Pohon Khuldi (شجرة الخل Syajarati al-Khulud), secara makna memiliki arti "pohon kekekalan",

“Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" (QS. Thahaa : 120)

Menurut Ibnu Katsir saat menafsirkan surat Al Baqarah ayat 35, ia mengatakan pohon itu adalah pohon tin, demikian pula dikatakan oleh Qatadah dan Ibnu Juraih, dan bisa jadi ia adalah salah satu dari apa yang disebutkan itu, itu adalah ilmu. Jika dia mengetahui maka akan bermanfaat bagi alam dengan pengetahuannya dan jika seorang tidak mengetahuinya maka alam tidaklah merugi dengan ketidaktahuannya. Demikianlah yang dipilih oleh Fakhruddin ar-Razi di dalam tafsirnya dan juga selainnya.[2]

Menurut Imam Ahmad dari firman-Nya “Pohon Khuldi” yaitu apabila dimakan darinya maka akan kekal, ”Telah bercerita kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, ’telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Abi adh-Dhahak bahwa aku telah mendengar Abu Hurairah berkata bahwa rasulullah bersabda, ’Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pohon yang apabila seorang pengendara dibawahnya kerindangannya berjalan selama seratus tahun namun belum bisa mengitarinya yaitu pohon khuldi.” Ini juga diriwayatkan dari Ghandar dan Hajjaj dari Syu’bah. Abu daud ath-Thayalisi di dalam musnadnya meriwayatkan dari Syu’bah juga. Ghandar mengatakan,”Aku berkata kepada Syu’bah bahwa itu adalah pohon khuldi.” Dia mengatakan, ”tidak ada di dalamnya (kalimat) pohon itu.”[3]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ [1] Diakses 11 Mei 2006.
  2. ^ Tafsir Ibnu Katsir Juz I hal 235.
  3. ^ Al-Bidayah wa an-Nihayah juz I hal 86.

Refleksi Pribadi

Menunjuk kepada dunia kehidupan manusia secara “pribadi” sebagai makhluk yang unik, semua orang tanpa kecuali, masing-masing mempunyai peran yang sangat berarti bagi Allah, semuanya diutus untuk menjadi saksi atas kuasa kasih-Nya yang melimpah.

“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kej 2:15) Di sini Allah menghendaki agar manusia dengan akalbudinya “mengelalola kehidupan” (alam semesta dengan segala isinya) untuk kepentingan bersama, bukan “menguasai” untuk kepentingan pribadi. Sejak dalam kandungan ibu sampai maut menjemput, tiap orang mempunyai kehidupan pribadi (privasi) yang berbeda satu dengan yang lain dengan “talenta” yang telah terukur rapi : Alpha sampai Omega. Bagi Allah bukan soal besar kecil “talenta” yang dikaruniakan, tetapi sejauh mana manusia memanfaatkan “talenta” yang ada? Di sinilah pentingnya Allah mengaruniakan “kasih” ke dalam setiap hati manusia ciptaan kesayangan-Nya.

Pada mulanya Allah dengan tegas menyatakan, bahwa “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (Kej 2:16-17) Kata-kata “pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” dapat dipakai sebagai parameter, bahwa nasihat Allah tersebut sifatnya sangat “keras” atau dengan kata lain “tak boleh dilanggar.” Nasihat-Nya diberikan kepada manusia sebagai bekal dalam peziarahan di dunia fana yang penuh cobaan dan godaan, sebuah bentuk kekhawatiran Allah terhadap milik kesayangan-Nya yang sekaligus pernyataan cinta-Nya.

Dengan nasihat-Nya itu Allah menjaga dan melindungi manusia dari berbagai macam kejahatan, sebab “bumi” tempat tumbuh dan berkembangnya “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” tidak terletak di Taman Eden dan juga bukan di Yerusalem …, melainkan pada segumpal lemat putih (pikiran) di dalam rongga kepala dan segenggam darah merah yang beku (hati) di dalam dada setiap manusia (!)

Nasi telah menjadi bubur, manusia pada gambar Adam dan Hawa telah gagal memenuhi kehendak Allah menciptakan Anda, saya dan semua orang (setiap pribadi manusia), yakni "menjadi citra kagungan-Nya" (bdk. Kej 1:26-27). Di sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini kita sering gagal menjadi "cermin" (citra) kasih kebaikan Allah. Mengapa demikian ? Karena di dalam menjalani HIDUP (rohani) di tengah keHIDUPan (jasmani) manusia menuruti (mengandalkan) pemimikirannya sendiri. Dalam bahasa rohani "tidak taat" kepada petunjuk Allah.

Di dalam diri setiap peribadi manusia, di mana tempat "pohon pengetahuan" yang mematikan itu tubuh, berkembang dan berbuah ? (bdk. Yakobus 1:14-15) Di dalam “bumi pikiran” manusia dapat tumbuh, berkembang dan berbuah segala macam benih yang baik dan juga yang jahat. Luas “bumi pikiran” melebihi luasnya bumi tempat manusia berada, dan di dalam pikiran manusia “yang baik belum tentu benar” dan “yang jahat belum pasti salah” (?) Artinya, terlampau sulit bagi manusia di mata Allah untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah (?) Disinilah tempat dan kedudukan yang biasa disebut dengan istilah “orang buta” atau “kuasa kegelapan” yang lain menyebut “roh jahat” yang menguasai kehidupan manusia di dunia. ( selengkapnya )

Pranala luar

Islam