Mega Mendoeng

Revisi sejak 15 Maret 2016 17.35 oleh Wagino Bot (bicara | kontrib) (Kutipan: minor cosmetic change)

Mega Mendoeng adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1941 yang disutradarai Boen Kin Nam untuk Union Films.

Poster

Alur

Istri Winanta, Retnaningsih, pergi ke Batavia dan meninggalkan suaminya. Setelah mereka bercerai, Winanta menikahi sepupunya, Fatimah. Sekian tahun berlalu, Kustini, putri Fatimah dan Winanta, sudah tumbuh menjadi orang dewasa. Ia menghadapi masalah asmara dengan Soedjono, namun pada akhirnya mereka mampu menyelesaikannya setelah bertemu di Mega Mendung, Bogor.[1]

Produksi

Mega Mendoeng disutradarai Boen Kin Nam untuk Union Films, rumah produksi di luar Batavia (sekarang Jakarta) yang dioperasikan Tjoa Ma Tjoen dan didanai Ang Hok Liem. Meski Boen hanya berpengalaman sebagai teknisi suara, ia pernah menjadi asisten sutradara di Soeara Berbisa. Mega Mendoeng adalah satu-satunya film yang disutradarainya.[2] Film hitam putih ini dibintangi Rd. Soekarno, Oedjang, Ratna Djoewita, Boen Sofiati, Soehaena, Ratnasih, Gamari Fadjar, dan Moesa. Baik Rd. Soekarno maupun Boen Sofiati adalah pendatang baru di dunia perfilman.[1] Para pemerannya datang dari berbagai latar sosial-ekonomi, termasuk bangsawan dan aktor panggung. Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran berpendapat bahwa film ini menunjukkan Union sedang tidak menargetkan penonton kelas atas.[3]

Rilis dan tanggapan

Mega Mendoeng dirilis tahun 1941.[2] Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[4] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[5]

Referensi

  1. ^ a b Filmindonesia.or.id, Mega Mendoeng.
  2. ^ a b Biran 2009, hlm. 232–233.
  3. ^ Biran 2009, hlm. 274–275.
  4. ^ Heider 1991, hlm. 14.
  5. ^ Biran 2009, hlm. 351.

Kutipan