Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

taman nasional di Indonesia

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah salah satu taman nasional yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Ditetapkan pada tahun 1980, taman nasional ini merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. TN Gunung Gede Pangrango terutama didirikan untuk melindungi dan mengkonservasi ekosistem dan flora pegunungan yang cantik di Jawa Barat. Dengan luas 21.975 hektare, wilayahnya terutama mencakup dua puncak gunung Gede dan Pangrango beserta tutupan hutan pegunungan di sekelilingnya.

Dua puncak TNGGP, G. Gede (kiri) dan G. Pangrango (kanan)

Sejarah kawasan

 
Gunung Gede
 
Perkebunan teh di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor
 
Anaphalis javanica dan Leptospermum javanicum di puncak G. Pangrango

Kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango sesungguhnya telah dikenal lama dalam dongeng dan legenda tanah Sunda. Salah satunya, naskah perjalanan Bujangga Manik dari sekitar abad-13 telah menyebut-nyebut tempat bernama Puncak dan Bukit Ageung (yakni, Gunung Gede) yang disebutnya sebagai "..hulu wano na Pakuan" (tempat yang tertinggi di Pakuan)[1]. Agaknya, pada masa itu telah ada jalan kuno antara Bogor (d/h Pakuan) dengan Cianjur, yang melintasi lereng utara G. Gede di sekitar Cipanas sekarang[2].

Pada masa penjajahan Belanda wilayah yang subur ini kemudian tumbuh menjadi area pertanian, terutama perkebunan. Sedini tahun 1728 teh Jepang telah mulai ditanam, dan pada 1835 perkebunan teh ini telah dikembangkan di Ciawi dan Cikopo. Menyusul pada 1878 dikembangkan teh Assam, yang terlebih sukses lagi, sehingga mengubah lansekap dan perekonomian di seputar lereng Gede-Pangrango.[2]

Kawasan Gede-Pangrango juga dikenal sebagai salah satu tempat favorit dan tertua, bagi penelitian-penelitian tentang alam di Indonesia. Menurut catatan modern, orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Gede adalah Reinwardt, pendiri dan direktur pertama Kebun Raya Bogor, yang mendaki G. Gede pada April 1819. Ia meneliti dan menulis deskripsi vegetasi di bagian gunung yang lebih tinggi hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga menyebutkan, bahwa Horsfield telah mendaki gunung ini lebih dahulu daripadanya; akan tetapi catatan perjalanan Horsfield ini tidak dapat ditemukan.[3]

Dua tahun kemudian, melalui sehelai surat yang dikirimkan dari Buitenzorg (sekarang Bogor) pada awal Agustus 1821, Kuhl dan van Hasselt menyebutkan bahwa mereka baru saja menyelesaikan pendakian dan penelitian ke puncak Pangrango. Kedua peneliti muda itu menemukan banyak jejak dan jalur lintasan badak jawa di sana; bahkan mereka menggunakannya untuk memudahkan menembus hutan menuju puncak G. Pangrango. Delapan belas tahun kemudian Junghuhn mendaki ke puncak Pangrango pada bulan Maret 1839, dan juga ke puncak Gede dan wilayah sekitarnya pada bulan-bulan berikutnya, untuk mempelajari topografi, geologi, meteorologi, serta botani tetumbuhan di daerah ini.[3] Sejak masa itu, tidak lagi terhitung banyaknya peneliti yang telah mengunjungi kawasan ini hingga sekarang, baik yang tinggal lama maupun yang sekadar singgah dalam kunjungan singkat.

Banyaknya peneliti yang berkunjung ke tempat ini tak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keindahan alam di Gunung Gede-Pangrango, dan awalnya juga oleh keberadaan Kebun Raya Cibodas; yang semula—ketika dibangun pada 1830 oleh Teijsman—sebetulnya dimaksudkan sebagai kebun aklimatisasi bagi tanaman-tanaman yang potensial untuk dikembangkan dalam perkebunan. Kebun, yang kemudian dikembangkan menjadi kebun raya (lk. 1870), ini menyediakan tempat menginap yang cukup baik, sarana penelitian, serta catatan-catatan dan informasi dasar yang terus bertumbuh mengenai keadaan lingkungan dan hutan di sekitarnya. Pada tahun 1889, atas usulan Treub, sebidang hutan pegunungan seluas 240 hektare di atas kebun raya tersebut hingga ke wilayah sekitar Air Panas ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda.[4] Inilah cagar alam dan kawasan konservasi ragam hayati yang pertama didirikan di Indonesia[5]. Belakangan, pada 1926, cagar alam ini diperluas hingga mencakup puncak-puncak gunung Gede dan Pangrango, dengan luas total 1.200 ha[4].

Bersama dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup, pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede Pangrango seluas 14.000 ha, melingkup kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya. Kemudian pada 6 Maret 1980 cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango—satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia, dengan luas keseluruhan 15.196 ha. Dan akhirnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas 7.655,03 ha dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya kini menjadi 22.851,03 ha.

Letak dan keadaan fisik

 
Gede-Pangrango dilihat dari Sindanglaya, lk. tahun 1928
 
Peta topografi puncak Gede (kanan) dan Pangrango (kiri atas, keliru diberi nama Mandala Wangi) menurut Junghuhn, 1855
 
Kawah Gede, seperti dilukis oleh Junghuhn, 1856
 
Daun jamuju Dacrycarpus imbricatus
 
Bunga cantigi gunung Vaccinium varingifolium
 
Bunga edelweis jawa Anaphalis javanica
 
Flora kawah Gede: paku Selliguea feei (depan kanan, daun lebar) dan edelweis jawa (belakang kiri, keputih-putihan)

Secara administratif, kawasan TNGGP berada di wilayah 3 kabupaten yakni Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi), Provinsi Jawa Barat.

Topografi dan vulkanologi

Sebagaimana namanya, taman nasional ini memiliki dua puncak kembar, yakni puncak Gede (2.958 m dpl) dan puncak Pangrango (3.019 m dpl). Kedua puncak itu dihubungkan oleh gigir gunung serupa sadel pada ketinggian lk 2.400 m dpl, yang dikenal sebagai daerah Kandang Badak. Gunung Pangrango yang lebih tinggi, memiliki kerucut puncak yang relatif mulus, tipikal gunung yang masih relatif muda usianya. Gunung Gede lebih rendah, namun lebih aktif, dengan empat kawah yang masih aktif yaitu Kawah Ratu, Kawah Wadon, Kawah Lanang, dan Kawah Baru.[2]

Titik puncak Gunung Gede terletak di atas tebing atau gigir kawah yang baru, namun gigir ini tak lagi utuh karena telah dihancurkan oleh letusan volkanik yang terjadi berulang kali. Gigir yang lebih tua adalah punggung gunung yang dikenal sebagai Gunung Gumuruh (2.929 m dpl); kawah-kawah dan puncak Gunung Gede yang sekarang terletak pada bekas kawah Gunung Gumuruh lama yang telah punah. Di antara gigir Gunung Gede dan gigir Gunung Gumuruh itulah terletak lembah dataran tinggi bernama Alun-alun Suryakancana (2.750 m dpl), yang penuh tertutupi oleh rumpun edelweis jawa yang cantik.[2]

Iklim

Ada dua iklim yaitu musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober dan musim penghujan dari bulan Nopember ke April.

Selama bulan Januari sampai Februari, hujan turun disertai angin yang kencang dan terjadi cukup sering, sehingga berbahaya untuk pendakian. Hujan juga turun ketika musim kemarau, menyebabkan kawasan TNGP memiliki curah hujan rata-rata pertahun 4.000 mm. Rata-rata suhu di Cibodas 23 °C.

Keanekaragaman hayati

Sebagaimana telah disebutkan, terutama adalah kekayaan ragam hayati flora pegunungan yang pada mulanya telah menarik banyak ahli dan peneliti mengunjungi kawasan Gede-Pangrango. Thunberg bahkan telah membuat kajian botani di wilayah ini pada tahun 1777[2]. Blume mendaki ke puncak Gede di tahun 1824, melalui untuk pertama kalinya jalur yang kini dikenal sebagai Jalur Cibodas, dan singgah di Cibeureum[3]. Wallace kemudian mengikuti jalur ini, ketika ia mengunjungi wilayah ini di musim penghujan 1861 untuk mengoleksi burung dan serangga, meskipun tanpa hasil yang cukup memuaskan[6]

Tutupan vegetasi

Secara tradisional, pada garis besarnya para ahli membedakan tipe hutan primer yang ada di pegunungan ini atas dua jenis, yakni tipe hutan tinggi (high forest) dan tipe hutan elfin atau hutan lumut[7]. Hutan tinggi di pegunungan ini lebih lanjut dibedakan atas hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Sedangkan hutan elfin dinamai pula sebagai hutan alpinoid atau vegetasi sub-alpin.

a. Hutan pegunungan bawah
Hutan pegunungan bawah atau hutan submontana di Gede-Pangrango berada pada kisaran ketinggian 1.000 hingga 1.500 m dpl. Hutan ini dapat segera dikenali oleh sebab kekayaannya akan jenis-jenis pohon, dengan atap tajuk (kanopi) setinggi 30-40 m, dan 4-5 lapisan tajuk vegetasi[2]. Dari segi floristiknya, Junghuhn dan Miquel menamai zona hutan ini sebagai zona Fago-Lauraceous, karena didominasi oleh jenis-jenis Fagaceae, misalnya pasang (Lithocarpus, Quercus) dan saninten (Castanopsis), serta jenis-jenis Lauraceae seperti aneka macam medang (Litsea spp.); diikuti dengan jenis-jenis lain, bahkan hingga sebanyak 78 spesies pohon dalam satu hektare. Di atas kanopi rata-rata, acap mencuat pohon-pohon tertinggi yang dikenal sebagai sembulan (emergent trees), dari jenis-jenis Altingia (rasamala), Dacrycarpus (jamuju), dan Podocarpus (ki putri).[7]
b. Hutan pegunungan atas
Hutan pegunungan atas atau hutan montana di Gede-Pangrango sering memiliki garis batas yang tajam, mudah terbedakan dari hutan pegunungan bawah dengan melihat kanopi yang relatif seragam, lk. setinggi 20 m, jarang terlihat adanya sembulan atau pohon pencuat, daun-daunnya cenderung berukuran kecil, tumbuhan bawahnya pun tidak setebal atau setinggi di hutan pegunungan bawah; banyak berkabut, hutan ini memberikan kesan lebih terbuka dan sunyi. Jarang pula dijumpai adanya tumbuhan pemanjat (liana). Hutan pegunungan antara Cibeureum (1.750 m dpl) dengan Kandang Badak (2.400 m dpl) didominasi oleh jamuju (Dacrycarpus imbricatus).[2]
c. Vegetasi subalpin
Di sebelah atas Kandang Badak, fisiognomi hutannya kembali berubah. Tajuknya pendek-pendek, hanya mencapai beberapa meter saja; batang pohon tuanya berbonggol-bonggol dan berkelak-kelok, bahkan memuntir. Tutupannya begitu renggang dengan tajuk yang hanya satu lapis, sehingga di hari cerah cahaya mentari leluasa menerangi lantai hutan. Akan tetapi cuaca di sini mudah berubah tiba-tiba dengan datangnya kabut, suhu udara pun dapat mendadak turun hingga ke tingkat yang membekukan. Dengan jarangnya hujan turun, walaupun berkabut, pada musim kemarau hutan ini acap mengalami kekeringan atau kekurangan air. Lapisan tanahnya tipis dan banyak berbatu-batu; di tempat-tempat yang lapisan tanahnya relatif dalam, pohon-pohon tumbuh lebih besar, menunjukkan bahwa mengerdilnya pohon-pohon di zona ini lebih disebabkan oleh ketersediaan tanahnya. Jenis yang dominan adalah cantigi gunung (Vaccinium varingifolium).[2]
Di lembah di antara gigir puncak Gede dengan G. Gumuruh, terdapat padang rumput subalpin yang dinamai Alun-alun Suryakancana. Tanahnya yang poreus dilapisi oleh semacam tanah gambut tipis, akumulasi dari bagian-bagian tumbuhan yang mati berpuluh-puluh tahun. Di sini tumbuh beberapa jenis rumput, paku-pakuan, sejenis melanding gunung (Paraserianthes lophanta), serta edelweis jawa (Anaphalis javanica) yang terkenal.[2]

Flora

 
Celepuk raja Otus brooki di G. Gede
 
Luntur gunung Harpactes reinwardtii
 
Meninting kecil Enicurus velatus
 
Sikatan ninon Eumyias indigo
 
Anis hutan Zoothera andromedae
 
Burung-madu gunung Aethopyga eximia jantan

Taman nasional ini terutama dikenal karena kekayaan flora hutan pegunungan yang dimilikinya. Sebagai gambaran, di seluruh wilayah CA Cibodas-Gede (kini bagian dari Taman Nasional), pada ketinggian 1.500 m dpl hingga ke puncak Gede dan Pangrango, tercatat tidak kurang dari 870 spesies tumbuhan berbunga dan 150 spesies paku-pakuan[7]. Jenis-jenis anggrek tercatat hingga 200 spesies di seluruh Taman Nasional[2].

Van Steenis selanjutnya juga mencatat, dari 68 spesies tumbuhan pegunungan yang langka dan hanya diketahui keberadaannya di satu gunung saja di Jawa, 9 jenis di antaranya tercatat hanya dari Gunung Gede, dan 6 dari 9 jenis itu endemik Jawa[8].

Jenis edelweis jawa (Anaphalis javanica) yang tumbuh melimpah di Alun-alun Suryakancana sangat populer di kalangan pendaki gunung dan pecinta alam, sehingga dijadikan maskot taman nasional ini. Akan tetapi yang endemik Jawa dan agak jarang dijumpai sebetulnya adalah kerabat dekatnya, Anaphalis maxima[9]; di TNGGP hanya didapati di G. Pangrango dekat Kandang Badak[8]. Beberapa jenis endemik lain yang didapati di kawasan ini, di antaranya, sejenis uwi Dioscorea madiunensis; sejenis jernang Daemonorops rubra; pinang hijau Pinanga javana; sejenis kapulaga Amomum pseudofoetens; dan masih banyak lagi.[9]

Fauna

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki kekayaan jenis hewan yang cukup tinggi, terutama di zona hutan pegunungan bawah. Beberapa jenisnya yang terhitung langka, endemik atau terancam kepunahan, di antaranya, adalah owa jawa (Hylobates moloch), lutung surili (Presbytis comata), anjing ajag (Cuon alpinus), macan tutul (Panthera pardus), biul slentek Melogale orientalis, sejenis celurut gunung Crocidura orientalis, kelelawar Glischropus javanus dan Otomops formosus, sejenis bajing terbang Hylopetes bartelsi, dua jenis tikus Kadarsanomys sodyi dan Pithecheir melanurus[10]. Beberapa jenis burung seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi), serak bukit Phodilus badius, celepuk jawa Otus angelinae, cabak gunung Caprimulgus pulchellus, walet gunung Collocalia vulcanorum, pelatuk kundang Reinwardtipicus validus, ciung-mungkal jawa Cochoa azurea, anis hutan Zoothera andromedae, dan beberapa spesies lain[11]. Sejenis ular pegunungan Pseudoxenodon inornatus yang jarang kemungkinan juga terdapat di sini[10]; juga beberapa jenis amfibia langka seperti katak merah (Leptophryne borbonica), dan sejenis sesilia Ichthyophis hypocyaneus[12].

Hewan-hewan lain yang acap dijumpai, di antaranya monyet kra (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus), teledu sigung (Mydaus javanensis), tupai akar (Tupaia glis), tupai kekes (T. javanica), tikus babi (Hylomys suillus), jelarang hitam (Ratufa bicolor), bajing-tanah bergaris-tiga (Lariscus insignis), pelanduk jawa (Tragulus javanicus) dan lain-lain.[2] Seluruhnya, lebih dari 100 jenis mamalia serta lk. 250 jenis burung.

Pengelolaan kawasan

Pengelolaan kawasan TNGGP berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. Tanggung jawab pengelolaan ini berada di tangan Balai Besar TNGGP yang dipimpin oleh seorang kepala balai. Kantor Balai Besar TNGGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaan operasionalnya dibagi menjadi 3 (tiga) Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu SKW I di Selabintana, SKW II di Bogor, dan SKW III di Cianjur. Selanjutnya ketiga seksi itu dibagi lagi menjadi 13 resort pengelolaan dengan tugas dan fungsi melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam menuju pemanfaatan hutan yang berkelanjutan.[13]

Kerjasama dan kolaborasi

Beberapa program kerjasama TN GGP dengan mitra-mitranya, di antaranya:

Catatan kaki

  1. ^ Bumi Sangkala: Naskah - Bujangga Manik: Prabu Jaya Pakuan (1). Diakses 24/10/2014.
  2. ^ a b c d e f g h i j k Harris, K.M. 1996. Mt. Gede Pangrango National Park Information book series v. 2, 106 pp. Cianjur: Mt. Gede Pangrango NP
  3. ^ a b c Docters van Leeuwen, W.M. 1933. Biology of plants and animals occuring in the higher parts of Mount Pangrango-Gedeh in West Java. Verhandelingen der Koninklijke Akademie van Wetenschappen te Amsterdam. Afd. Natuurkunde (Tweede sectie), deel XXXI(4): 1-22 (Ch. 1). Amsterdam: Uitgave van de NV. Noord-Hollandsche Uitgevers-Maatschappij.
  4. ^ a b Steenis, CGGJ van. 2006. Flora Pegunungan Jawa: 2-8. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI.
  5. ^ Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, & S.A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali: 789. Jakarta: Prenhallindo.
  6. ^ Wallace. 1869. The Malay Archipelago: 88-93 (1987 edition). Singapore: Graham Brash (Pte) Ltd.
  7. ^ a b c Steenis, CGGJ van. 2006. loc. cit.: 47-61.
  8. ^ a b Steenis, CGGJ van. 2006. loc. cit.: 77-8.
  9. ^ a b Whitten et al. 1999. loc. cit.: 147-94.
  10. ^ a b Whitten et al. 1999. loc. cit.: 195-308.
  11. ^ MacKinnon, J., K. Phillipps, dan B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan: 439-40 (seri panduan lapangan LIPI). Bogor: LIPI dan BirdLife IP. ISBN 979-579-013-7
  12. ^ Kusrini, M.D. 2013. Panduan bergambar identifikasi amfibi Jawa Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan RI. 128 hlm.
  13. ^ Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango: Tentang TNGGP

Bacaan terkait

  • C.G.C. Reinwardt. 1823. Over de hoogte en verdere natuurlijke gesteldheid van eenige bergen in de Preänger Regentschappen. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen deel IX: 3. Batavia :Egbert Heemen, 1779-1922. (tentang pendakian Horsfield, hal. 19).
  • C.P. Thunberg. 1825. Florula Javanica... Upsaliæ :excudebant Palmblad et c. [1825].
  • C.L. Blume. 1825. Over de gesteldheid van het gebergte Gedé. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen deel X: 57. Batavia :Egbert Heemen, 1779-1922.
  • L. Horner. 1839. Geologische gesteldheid van den Vulkaan Gedé op Java. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen deel XVII: 3. Batavia :Egbert Heemen, 1779-1922.
  • F. Junghuhn. 1845. Streifzüge durch die Waldgebirge G. Panggerango, Manellawangie, und Gedé; unternommen im Jahre 1839. Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java: 412. Magdeburg :Baensch, 1845.
  • F. Junghuhn. 1845. Physiognomie van de flora der toppen van Javasche bergen benevens plantenbeschrijvingen. Natuur- en Geneeskundig Archief voor Neêrland's-Indië, tweede jahrgang 1845: 20. Batavia : Drukkerij van het Bataviaasch Genootschap.
  • A.R. Wallace. 1869. The Malay Archipelago; (tentang pendakian Pangrango, hal 125). New York :Harper & Brothers.

Pranala luar