Suku Lampung

kelompok etnik pribumi yang berasal dari Lampung

Suku Lampung adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatera Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Komering Ilir serta Cikoneng di pantai barat Banten.

Asal usul

Asal-usul ulun Lampung (orang Lampung atau suku Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri, walaupun nama Lampung itu dipakai mungkin sekali baru dipakai lebih kemudian daripada mereka memasuki daerah Lampung.

Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul (nama) ulun Lampung:

Pertama, dari catatan musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing, yang diperkuat oleh teori yang dikemukan Hilman Hadikusuma, disebutkan bahwa Lampung itu berasal dari kata To-lang-po-hwang. To berarti orang dalam bahasa Toraja, sedangkan Lang-po-hwang kepanjangan dari Lampung. Jadi, To-lang-po-hwang berarti orang Lampung.

Kedua, Dr. R. Boesma dalam bukunya, De Lampungsche Districten (1916) menyebutkan, Tuhan menurunkan orang pertama di bumi bernama Sang Dewa Sanembahan dan Widodari Simuhun. Mereka inilah yang menurunkan Si Jawa (Ratu Majapahit), Si Pasundayang (Ratu Pajajaran), dan Si Lampung (Ratu Balau). Dari kata inilah nama Lampung berasal.

Ketiga, legenda daerah Tapanuli menyeritakan, zaman dahulu meletus gunung berapi yang menimbulkan Danau Toba. Ketika gunung itu meletus, ada empat orang bersaudara berusaha menyelamatkan diri. Salah satu dari empat saudara itu bernama Ompung Silamponga, terdampar di Krui, Lampung Barat. Ompung Silamponga kemudian naik ke dataran tinggi Belalau atau Sekala Brak.

Dari atas bukit itu, terhampar pemandangan luas dan menawan hati seperti daerah yang terapung. Dengan perasaan kagum, lalu Ompung Silamponga meneriakkan kata, "Lappung" (berasal dari bahasa Tapanuli kuno yang berarti terapung atau luas).

Dari kata inilah timbul nama Lampung. Ada juga yang berpendapat nama Lampung berasal dari nama Ompung Silamponga itu.

Keempat, teori Hilman Hadikusuma yang mengutip cerita rakyat. Ulun Lampung berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya disebut Tumi (Buay Tumi) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarmong. Mereka menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.

Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Keempat umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama poyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati.

Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:

  • Inder Gajah

Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak
Keturunan: Orang Abung

  • Pak Lang

Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung
Keturunan: Orang Pubian

  • Sikin

Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Sukau
Keturunan: Jelma Daya

  • Belunguh

Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali
Keturunan: Peminggir

  • Indarwati

Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Ganggiring
Keturunan: Tulangbawang

Kelima, penelitian siswa Sekolah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1938 tentang asal-usul ulun Lampung. Dalam cerita Cindur Mato yang berhubungan juga dengan cerita rakyat di Lampung disebutkan bahwa suatu ketika Pagaruyung diserang musuh dari India. Penduduk mengalami kekalahan karena musuh telah menggunakan senjata dari besi. Sedangkan rakyat masih menggunakan alat dari nibung (ruyung).

Kemudian mereka melarikan diri. Ada yang malalui Sungai Rokan, sebagian melalui dan terdampar di hulu Sungai Ketaun di Bengkulu lalu menurunkan Suku Rejang. Yang lari ke utara menurunkan Suku Batak. Yang terdampar di Gowa, Sulawesi Selatan menurunkan Suku Bugis. Sedangkan yang terdampai di Krui, lalu menyebar di dataran tinggi Sekala Brak, Lampung Barat. Mereka inilah yang menurunkan Suku Lampung.

Bahasa

Sehari-hari orang Lampung bertutur dengan bahasa Lampung. Aksara Lampung disebut aksara Kaganga

Adat-istiadat

Secara umum, masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.

Masyarakat adat Lampung Pepadun

Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari:

====Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa)==== Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.

Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan)

Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.

Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi)

Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.

Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur)

Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.

Masyarakat adat Lampung Sebatin

Masyarakat beradat Sebatin mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Sebatin yang juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan, terdiri dari:

Peminggir Paksi Pak (Buay Belunguh, Buay Pernong, Buay Nyerupa, Buay Lapah di Way)

Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan

Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), (2) juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), (3) nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), (4) nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan (5) sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Propinsi Lampung.

Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):

Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi.

Kesenian

Sastra

Seni suara

Musik

Seni tari

Seni rupa

Seni teater

Referensi

  • Hilman Hadikusuma dkk. 1983. Adat-istiadat Lampung. Bandar Lampung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung.

Pranala luar