Kampong Wisata Temenggungan

tempat wisata di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur
Revisi sejak 1 Mei 2016 19.02 oleh Bachtiar Djanan (bicara | kontrib) (membenahi ukuran foto)

Kampong Wisata Temenggungan atau Desa Wisata Temenggungan, adalah sebuah kelurahan yang berada di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang memiliki beragam potensi obyek wisata, mulai dari wisata sejarah, wisata heritage, wisata spiritual, dan wisata seni budaya.

Belajar angklung Banyuwangi
Salah satu jenis paket wisata di Kampong Wisata Temenggungan adalah wisata budaya belajar kesenian tradisional, salah satunya adalah belajar memainkan angklung Banyuwangi, yang menjadi salah satu kesenian tradisional khas Banyuwangi

Kampong Wisata Temenggungan terletak di pusat kota Banyuwangi, dan merupakan salah satu kampung pertama yang dibangun pada saat dipindahkannya pusat pemerintahan Kadipaten Blambangan dari Ulupampang (Muncar) ke daerah hutan Tirtaganda, yang saat ini menjadi wilayah kota Banyuwangi, pada era Bupati Mas Alit  (Raden Tumenggung Wiraguna I) pada tahun 1774. Pendopo Kabupaten Banyuwangi dulunya merupakan pendopo Kadipaten Blambangan, dan kampung Temenggungan merupakan area pendukung sebagai tempat bermukim bagi para pejabat pemerintahan maupun pengurus rumah tangga pendopo kabupaten.

Semenjak masa lalu, kampung ini telah dikenal sebagai salah satu pusat berbagai aktifitas seni dan budaya di Kabupaten Banyuwangi. Kerajinan batik di kampung ini telah berkembang secara turun-temurun, yang dulunya diadakan untuk memenuhi kebutuhan seragam bagi pejabat dan pegawai pemerintahan. Demikian pula kesenian gamelan yang sampai saat ini berkembang di kampung Temenggungan juga merupakan warisan turun-temurun dari para pendiri kampung ini.

Lokasi

Lokasi Kampong Wisata Temenggungan terletak di tengah-tengah kota Banyuwangi, yang secara administratif berada di Kecamatan Kota, Kabupaten Banyuwangi. Kampung ini terletak di sebelah utara dan sebelah timur kawasan Taman Sri Tanjung (dulu bernama Lapangan Tegal Masjid). Kawasan ini pada masa lalu mengikuti pola kawasan yang diistilahkan sebagai "sistem pemerintahan Macapat", yaitu di tengah-tengah terdapat alun-alun sebagai lapangan tempat untuk berkumpulnya warga, yang disebut Lapangan Tegal Masjid (Taman Sri Tanjung). kemudian di sisi utara terdapat Pendopo Kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pada sisi sebelah barat lapangan terdapat Masjid Jami’ sebagai tempat ibadah, di sebelah timur lapangan terdapat penjara sebagai perlambang keamanan (kini sudah berubah menjadi Mall of Sritanjung), dan pada di sisi sebelah selatan lapangan berdiri Pasar Banyuwangi sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Sejarah

Kampung Temenggungan memiliki beberapa catatan perjalanan yang cukup penting dalam sejarah Kabupaten Banyuwangi. Catatan sejarah ini dimulai pada tahun 1774, saat diangkatnya Mas Alit  (Raden Tumenggung Wiraguna I) sebagai bupati, pada tanggal 5 Februari 1774, yang mulanya pusat pemerintahan berkedudukan di Ulupampang (Muncar), kemudian Mas Alit menetapkan untuk dipindahkannya pusat pemerintahan ke wilayah baru yang sekarang menjadi area kota Banyuwangi, dulunya berupa hutan Tirtaganda (disebut juga Tirtoarum atau Toyoarum, dalam bahasa Jawa "tirta" atau "toyo" atau "banyu" artinya "air", sedangkan "gondo" atau "arum" atau "wangi" artinya "beraroma harum"). Hutan ini disebut hutan Tirtaganda atau Tirtoarum atau Toyoarum, konon disebabkan karena adanya sumber mata air yang beraroma harum yang terdapat di hutan tersebut, dan kemungkinan besar karena adanya sumber mata air inilah maka wilayah tersebut dianggap cocok untuk dibuka sebagai lokasi pusat pemerintahan dan area pendukungnya, yaitu wilayah pemukiman bagi pejabat dan pengurus rumah tangga kabupaten. Inilah yang menjadi cikal bakal munculnya nama Banyuwangi, dari istilah "Tirtaganda", "Tirtoarum", "Toyoarum", menjadi Banyuwangi. Kampung Temenggungan merupakan salah satu kampung pertama yang dibangun bersamaan dengan dibangunnya pendopo sebagai pusat pemerintahan.

Perpindahan pusat pemerintahan dari Ulupampang ini sangat terkait dengan sistem kepercayaan di masyarakat. Pusat pemerintahan seringkali dianggap sebagai ibu kota kerajaan yang dipercaya suci dan keramat. Pertumpahan darah akibat perang besar antara pasukan Blambangan dan VOC (tahun 1767 sampai 1772), serta wabah penyakit yang muncul akibat kehancuran kota karena perang, mengakibatkan banyak rakyat Blambangan tewas, hal ini dianggap menodai kesucian istana dan ibu kota. Kondisi ini diyakini dapat menimbulkan malapetaka berkelanjutan, oleh karena Mas Alit memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan. Pembangunan pendopo sebagai pusat pemerintahan selesai pada tanggal 14 Oktober 1774, namun baru pada tanggal 24 Oktober 1774, Mas Alit meninggalkan Ulumpampang dan berangkat ke Banyuwangi serta langsung menuju pendopo[1]. Semenjak saat itu pendopo berfungsi sebagai pusat pemerintahan.

Kampung Temenggungan pada masa lalu terbagi menjadi tiga lingkungan, yaitu lingkungan Keradenan, lingkungan Tumenggung, dan lingkungan Abdi Dalem. Pembagian lingkungan seperti ini pada masa lalu dibuat sesuai tugas dan pekerjaan dari mereka yang bermukim di sana. Lingkungan Keradenan merupakan wilayah pemukiman bagi para pejabat yang berdarah biru, lingkungan Tumenggung merupakan wilayah pemukiman bagi para tumenggung dan senopati, sedangkan lingkungan Abdi Dalem merupakan wilayah pemukiman bagi para pengurus rumah tangga pendopo kabupaten.

Kondisi pemindahan pusat pemerintahan ini membawa perubahan yang sangat besar bagi Banyuwangi. Kepandaian dan kebijakan Mas Alit dalam penataan pemerintahan, penataan politik, penataan perekonomian, dan penataan sosial budaya membawa perkembangan pesat bagi Banyuwangi. Terbukti bahwa sampai hari ini Banyuwangi masih eksis dan terus tumbuh berkembang sebagai pusat pemerintahan yang dinamis.

Pasca Kemerdekaan

Semenjak masa lalu Kampung Temenggungan dikenal sebagai pusat aktifitas seni dan budaya di kota Banyuwangi. Pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia, di Kampung Temenggungan ini berkembang beragam bentuk kesenian seperti Ketoprak, Wayang Orang, Ludruk, Angklung Banyuwangi, Ande-Ande Lumut, Keroncong Mawar Merah dan Ramona[2]. Banyak seniman-seniman besar Banyuwangi lahir di kampung ini, baik memang seniman yang asli warga kampung ini, ataupun seniman dari luar kampung Temenggungan namun mereka belajar berkesenian di kampung ini.

Salah satu kelompok kesenian besar di kabupaten Banyuwangi pada era tahun 50-60 an bernama Kelompok Kesenian Sri Muda (Seni Rakyat Indonesia Muda) dibawah pimpinan Muhammad Arif, yang mengembangkan lagu-lagu dan tarian Banyuwangi diiringi oleh angklung. Muhammad Arif dikenal sebagai pencipta lagu “Gendjer-Gendjer” yang kemudian dilarang dinyanyikan selama pemerintahan orde baru karena dianggap identik dengan PKI. Lagu "Gendjer-Gendjer" diciptakan Muhammad Arif pada tahun 1942, Lirik dalam lagu ini sebenarnya menggambarkan tentang sayuran genjer (limnocharis flava) yang menjadi makanan rakyat, karena keadaan rakyat yang melarat akibat pendudukan pasukan Jepang di Banyuwangi pada tahun 1942, yang menguras kekayaan alam Banyuwangi, kemudian rakyat menjadi miskin, kelaparan dan terpaksa memakan sayur genjer yang tumbuh liar di persawahan.[3] Sekitar tahun 1960-1965 an, lagu ini pernah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani di RRI Jakarta dan tenar hingga beberapa waktu.

 
Grup kesenian Banyuwangi Pu7tra Junior, yang beranggotakan anak-anak TK, SD, SMP dari Kampong Wisata Temenggungan. Grup Banyuwangi Putra yang berdiri semenjak tahun 1977 selalu melakukan regenerasi dengan baik, dan grup Banyuwangi Putra Junior ini merupakan generasi yang keempat

Kelompok kesenian Sri Muda menjadi kiblat kesenian di Banyuwangi. Kelompok seni yang bernaung di bawah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebuah organisasi massa di bawah PKI ini kerap melatih musik dan tarian bagi kelompok kesenian dari kampung-kampung lain di Kabupaten Banyuwangi, bahkan dari luar Kabupaten Banyuwangi. Jumlah cabang organ kelompok seni daerah ini pun bertambah mencapai angka 34 cabang di seluruh Kabupaten Banyuwangi. Masa tahun 50-60an menjadi era emas bagi kesenian di Kampung Temenggungan. Kejayaan kesenian ini berlangsung sampai tahun 1965, di mana pasca meletusnya G-30S PKI, banyak seniman-seniman Lekra yang sebenarnya tidak tahu-menahu mengenai politik, namun pada saat itu mereka ditangkap, dibunuh, ataupun hilang, dan kegiatan berkesenian pun sempat dilarang di seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi, terutama di Kampung Temenggungan.

Setelah vakum selama bertahun-tahun, baru pada tahun 1977 kesenian di kampung ini mulai dihidupkan kembali oleh Kacung Tarmat, seorang pensiunan tentara. Kacung Tarmat membentuk grup kesenian bernama Banyuwangi Putra, yang bertujuan untuk membangunkan kembali kesenian yang telah lama tidur di kampung tertua di Kota Banyuwangi ini, khususnya untuk seni musik dan tari, Kesenian di kampung ini bangkit dan semarak kembali. Kemudian dalam perjalanannya, Banyuwangi Putra telah berhasil mencetak banyak seniman-seniman berbakat di Kabupaten Banyuwangi, dan sampai hari ini kelompok kesenian Banyuwangi Putra masih tetap ada dan eksis, diwariskan dari generasi ke genari, diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya, ketika anak-anak ini telah dewasa mereka meneruskan mengajarkan pada anak-anak di generasi selanjutnya. Saat ini kelompok kesenian Banyuwangi Putra telah diteruskan oleh generasi yang keempat.

Kampung Wisata Temenggungan

Sebagai kampung tertua di kota Banyuwangi, tentunya Kampung Temenggungan memiliki banyak sekali potensi pariwisata yang menarik untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai potensi pariwisata. Semenjak tahun 2014 telah dilakukan upaya untuk menggali berbagai potensi yang ada di kampung ini untuk dikembangkan menjadi obyek wisata, namun upaya ini masih menemukan berbagai jalan buntu. Baru pada bulan Oktober 2015 mulailah dilakukan pendataan potensi wisata dengan lebih optimal, dan dilakukan perencanaan serta pengembangan program pariwisata berbasis pengelolaan masyarakat desa, dan program pengembangan ini diberi judul Kampong Wisata Temenggungan. Pada bulan Maret 2016 dibentuklah lembaga Kawitan (Kampong Wisata Temenggungan), sebuah lembaga yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat Kampung Temenggungan, yang bertujuan untuk pengelolaan pariwisata oleh warga Kampung Temenggungan.

Rumah Bupati kelima KRT Pringgokusumo

 
Rumah bupati ke-5 Banyuwangi, Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo. Rumah yang berusia lebih dari 150 tahun ini terletak di antara pemukiman padat di lingkungan Sri Tanjung, Kelurahan Temenggungan

Rumah bupati kelima Banyuwangi, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Pringgokusumo, yang menjabat bupati Banyuwangi pada periode 1867-1881, Rumah ini terletak di kawasan pemukiman padat di Lingkungan Sri Tanjung, RT 03, RW III, kelurahan Temenggungan. Dulunya di lokasi tersebut bangunan bergaya arsitektural Belanda ini adalah satu-satunya bangunan yang ada, namun kini telah menjadi sebuah pemukiman yang sangat padat. Meski sudah ada beberapa perubahan akibat renovasi, sebagian besar ruangan di rumah utama berusia lebih dari 150 tahun ini masih tetap dipertahankan sesuai aslinya. Bangunan asli di rumah ini terbagi menjadi empat bagian utama, yaitu teras, ruang tengah, dan dua ruang di sayap kiri dan kanan bangunan.Masih dapat kita lihat tiang utama rumah berdiameter hampir satu meter berdiri megah di teras, daun pintu dari kayu jati dengan model kupu tarung dengan tinggi lebih dari dua meter, ukiran di atas ventilasi pintu dan daun jendela juga masih utuh. Beberapa perabot seperti meja dari marmer, lemari kuno beserta peralatan makan yang tersimpat di dalamnya, kursi dan meja untuk tempat sesaji juga masih ada. Sisa-sisa kemegahan rumah bupati kelima ini masih cukup bisa dilihat, walaupun dalam kondisi yang kurang mendapatkan perawatan.[4]

Rumah Kuno dan Rumah Tradisional Osing

 
Di Kampong Wisata Temenggungan terdapat banyak rumah-rumah kuno dengan arsitektur kolonial maupun rumah tradisional Osing. Rumah-rumah kuno ini tersebar di sepanjang kampung, baik di jalan utama kampung maupun di gang-gang kecil di tengah kampung

Kampung Temenggungan merupakan kelurahan di Kabupaten Banyuwangi yang memiliki luas wilayah paling sempit, namun karena kampung ini merupakan salah satu kampung tertua di kota Banyuwangi, maka di dalamnya masih banyak terdapat rumah-rumah kuno berarsitektur kolonial dan rumah-rumah tradisional Osing, yang tersebar baik di jalan utama kelurahan, maupun di dalam gang-gang sempit yang berada di tengah-tengah kampung. Beberapa rumah di kampung ini bahkan telah berusia lebih dari 100 tahun. Salah satu daya tarik dalam berwisata di kampung Temenggungan ini adalah berjalan-jalan dan hunting foto rumah kuno maupun rumah tradisional Osing di sepanjang gang-gang kampung, sambil menikmati suasana Banyuwangi tempo dulu.

Sumur Sri Tanjung

 
Sumur Sri Tanjung merupakan sebuah sumber mata air, yang banyak dikunjungi orang, baik dari lokal Banyuwangi, dari nusantara, maupun dari mancanegara.

Potensi wisata spiritual yang terdapat di kampung ini adalah Sumur Sri Tanjung, yang terletak di sebelah timur Pendopo Kabupaten Banyuwangi, di Jl. Sidopekso. Sumur ini dipercaya menjadi cikal-bakal munculnya nama "Banyuwangi" (“banyu” artinya “air” dan “wangi” artinya “harum”), hal ini terkait dengan kisah legenda Putri Sri Tanjung dan Patih Sidopekso. Sampai hari ini, sumur Sri Tanjung diyakini masih sesekali menimbulkan aroma wangi pada kondisi peristiwa-peristiwa besar tertentu. Masyarakat Banyuwangi juga meyakini bahwa air sumur tersebut memilik khasiat, sehingga tidak heran apabila sumur Sri Tanjung sering diziarahi masyarakat Banyuwangi bahkan dari luar kota Banyuwangi yang menggunakan air sumur untuk kepentingan mandi hajat ataupun sekedar cuci muka.[5]

Pranala Luar

  1. ^ http://www.kompasiana.com/priya.purnama/sejarah-kota-banyuwangi_550f5b678133115334bc604c, diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  2. ^ http://planetkata.blogspot.co.id/2008/03/andang-cy-menggugah-semangat-lewat_22.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  3. ^ http://regional.kompas.com/read/2014/09/30/19465901/Lagu.Gendjer-gendjer.Siapa.Penciptanya., diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  4. ^ http://banyuwangi.merdeka.com/info-banyuwangi/mitos-rumah-kuno-bupati-ke-lima-banyuwangi-krt-pringgokusumo-160411u.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2016
  5. ^ http://tourbanyuwangi.com/kawitan/, diakses pada tanggal 1 Mei 2016