Tarombo Batak adalah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku Batak. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan terkhusus dalam falsafah Dalihan Natolu.

Tarombo si Raja Batak (silsilah garis keturunan suku bangsa Batak) dimulai dari seorang individu bernama Raja Batak.

Si Raja Batak berdiam di lereng Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula, namanya. Sehingga wilayah/lereng Pusuk Buhit dapat dikatakan sebagai daerah asal-muasal suku bangsa Batak. yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok, baik Indonesia maupun dunia.

Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:

  1. Tuan Doli
  2. Raja Isumbaon

Tuan Doli mempunyai 5 (lima) orang putra, yaitu:

  1. Raja Biakbiak (Raja Uti)
  2. Saribu Raja
  3. Limbong Mulana
  4. Sagala Raja
  5. Silau Raja
  6. Cinaga

Raja Biakbiak

Raja Biakbiak adalah putra sulung Guru Tatea Bulan. Raja Biakbiak atau juga disebut dengan Raja Uti tidaklah mempunyai keturunan.

Saribu Raja

Saribu Raja adalah putra kedua Guru Tatea Bulan. Saribu Raja mempunyai 2 (dua) orang putra yang dilahirkan oleh 2 (dua) istri. Istri pertama Saribu Raja adalah Siboru Pareme yang melahirkan Raja Lontung (benarkah anak dari Sariburaja?) dan istri kedua Saribu Raja adalah Nai Mangiring Laut yang melahirkan Raja Borbor.

Raja Lontung

Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) orang putra, yaitu:

  1. Sinaga, menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangny
  2. Situmorang, menurunkan marga Situmorang dan cabang-cabangnya
  3. Pandiangan, menurunkan Perhutala dan Raja Humirtap, Raja Sonang (Toga Gultom, Toga Samosir, Toga Pakpahan, Toga Sitinjak) dan cabang-cabangnya
  4. Nainggolan, menurunkan marga Nainggolan dan cabang-cabangnya anatara lain Lumban Nahor, Batuara, Parhusip, Lumban raja
  5. Simatupang, menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan Siburian
  6. Aritonang, menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk, dan Simaremare
  7. Siregar, menurunkan marga Siregar Silo (Sormin), Dongoran, Silali, dan Sianggian.

runan Raja Borbor membentuk rumpun persatuan yang disebut dengan Borbor yang terdiri dari marga Pasaribu, Batubara, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Pulungan, Hutasuhut, Tanjung serta Daulay. Sementara, waktu Nai Mangiring masih hidup, dia dan adik-ipar (adik-adik Sariburaja), Limbongmulana, Sagala Raja dan Silau Raja membuat suatu ikatan perjanjian yang disebut "padan" yang menyatakan bahwa "pomparan" mereka semua, seterusnya disebut dengan "Borbor Marsada". Disini turunan dari Boru Pareme tidak turut serta.

Limbong Mulana

Keturunan Limbong Mulana sebagai putra ketiga Guru Tatea Bulan, hingga kini tetap memakai marga Limbong.

Sagala Raja

Keturunan Sagala Raja sebagai putra keempat Guru Tatea Bulan tetap memakai marga Sagala.

Silau Raja

Silau Raja sebagai putra bungsu Guru Tatea Bulan menurunkan marga Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning.

Raja Isumbaon

Raja Isumbaon adalah putra kedua/bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:

  1. Tuan Sorip Mangaraja

Tuan Sorimangaraja

Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 (tiga) orang putra, yaitu:

  1. Sorba dijulu mangalap br Naiambaton
  2. Sorba di Jolma Mangalap Br Nairasaon
  3. Tuan Sorbadibanua,Mangalap Br Sanggul Haomason

Naiambaton, kurang pas, seharusnya atau aslinya adalah Nai Ambaton) dan Nairasaon seharusnya atau aslinya Nai Rasaon, tidak didahului kata "Raja". Karena yang dimaksud "raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI. Kedua orang tersebut, Nai Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka seharusnya ada pertukaran letak suku kata, bukan "pomparan raja naiambaton atau nairasan" tetapi seharusnya adalah "raja pomparan ni nai ambaton" atau raja pomparan ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai" dalam bahasa Batak asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar". Karena kata Nai bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang bersangkutan sudah berhasil naik setingkat dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan bapak yang bersangkutan sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama, lepas dari laki atau perempuan. Namun kepada sang bapak, di depan nama anak-pertama tsb ditambahkan "Amani", semisal anak pertama tsb ialah si Bunga, maka si bapak dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si ibu sehari-hari dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari perkawinan mereka berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak pertama dan ternyata laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara otomatis bernama "Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah perempuan, otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir tersebut belum diberi nama, maka kedua orang, suami-istri tersebut akan dipanggil Amani Ucuk/ Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah p. Samosir hal ini dianggap sangat elementer, namun sangat penting dalam etika berbicara, berkomunikasi dan pergaulan-bermasyarakat sehari-hari. Orang yang memanggil orang lain dengan panggilan "gelar", merasa menghormati orang yang bersangkutan dan orang yang dipanggil akan merasa dihormati. Kalau sepasang suami-istri masih dalam penantian anak dari perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang agak abstrak, misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah berarti "menanti". Opsi kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga atau keempat dari abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang lain dalam kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat kampung yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara turun-temurun. Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman dan tidak terbebani, bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di atas, Amani Bunga untuk sang bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.

Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment di atas. Nai Ambaton ("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan/Boru Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar pariban"/"sisters" dengan si Boru Pareme). Si Boru Paromas adalah istri pertama dari Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon; namun ada juga penulis yang menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan Nabolon inilah si Bolontua (Simbolon - seluruhnya), Tambatua - melahirkan banyak marga-marga, Saragitua - melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua - yang juga melahirkan banyak marga-marga. Jumlah marga yang termasuk dalam PARNA ada 48 marga.

Istri kedua Tuan Sorimangaraja ialah si Boru Bidinglaut, yang kemudian "mar-panggoaran" Nai Rasaon. Melahirkan satu anak, bernama Datu Pejel; namun ada penulis menyebut namanya Ompu Tuan Sorbadijae. Anak-anaknya ada dua, yang lahir sekaligus dalam satu "lambutan" bernama Raja Mangarerak dan Raja Mangatur. Pomparan Raja Mangarerak ialah seluruhnya marga Manurung; sementara pomparan Raja Mangatur, ialah seluruhnya marga-marga Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Panjang cerita/"turiturian" dibalik penyebutan 4 marga tersebut.

Istri ketiga Tuan Sorimangaraja ialah Nai Suanon/ Nai Tungkaon, nama kecilnya ialah Boru Parsanggul Haomasan. Dalam tarombo pomparan Guru Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tidak tertulis. Ibu ini melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua lahir 8 anak laki-laki, no 1 si Bagotnipohan, turunannya termasuk "Hula-hula anak manjae" SBY, keluarga Aulia Pohan. Satu lagi di antara 8 itu ada Silahi Sabungan, termasuk Letjend (Prn) TB Silalahi, anggota Watimpres SBY. Satu lagi di antara 8 itu ialah Raja Sobu, asal dari marga-marga Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping masih tetap ada Hasibuan) menurunkan marga-marga Hutabarat(si Raja Nabarat), Panggabean (bercabang lagi dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan (bercabang dua yaitu marga-marga Hutapea-Tarutung/Silindung & Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di Laguboti, tapi punya tarombo tersendiri.

Khusus tentang turunan Ompu Tuan Nabolon, menurut kebanyakan literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih satu) yg disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok/Rumabolon, 2 Lumban Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4, Muntetua. Mereka berempat, si Bolontua, Tambatua, Saragitua dan Muntetua dilahirkan oleh 2 Ibu: pertama, boru Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan nama anak-anaknya tsb oleh Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tidak asal-asalan tapi harus bijaksana ("wise"), seperti cerita Raja Salomo yang bijak, karena dilahirkan oleh 2 orang istri. Ada istri pertama dan ada istri kedua. Istilah kerennya, poligami. Sebagai perbandingan, ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael dgn Ishak. Yg lahir duluan, Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka Ishak yang lahir dari sang "permaisuri", yaitu Sarah, itulah yg diberkati oleh Abraham dan Yahwe yang disembah oleh Abraham. Sekadar perbandingan saja lah.-->

Raja NaiAmbaton

Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton). Catatan: huruf R dalam kata PARNA bukan representasi 'raja', tapi PAR=Parsadaan ("persatuan"), NA=Nai Ambaton.

Raja Naiambaton atau yang dikenal dengan nama Tuan Sorba Dijulu adalah salah satu dari 3 keturunan Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu merupakan cikal bakal 'parsadaan' marga-marga Batak terbesar dan terbanyak atau yang lebih dikenal dengan keturunan Raja NaiAmbaton atau PARNA.

Raja Naiambaton sendiri adalah gelar yang memiliki banyak arti dikalangan masyarakat Batak terutama bagi keturunan Naiambaton sendiri. Disatu sisi penempatan kata 'Nai' adalah untuk perempuan, dll. Namun sama halnya dengan anak Tuan Sorimangaraja seperti Tuan Sorimangaraja yang lain seperti Sorba Dijae (NaiRasaon), Tuan Sorba Dibanua (NaiSuanon). Namun satu hal yang perlu ditelaah adalah kesamaan dari 3 nama ini, dari 3 nama di atas, hanya NaiAmbatonlah yang hingga saat ini tabu untuk saling menikahi, tidak seperti keturunan NaiRasaon dan NaiSuanon yang sudah saling 'marsiolian'. Raja dari istrinya yang bernama NaiAmbaton dialah Tuan Sorba Dijulu, Ompu Raja Nabolon. Dengan begitu banyak versi, bukanlah jadi masalah penamaan Raja bagi NaiAmbaton, nama ini sudah ada sebelum saya lahir, banyak kemungkinan bisa terjadi arti dari Raja di penamaan NaiAmbaton, mungkin saja bila keturunan NaiRasaon tidak bisa saling menikahi, bukan tidak mungkin hingga saat ini kita dengar parsadaan Raja NaiRasaon, atau parsadaan Raja NaiSuanon.

Raja NaiAmbaton memiliki 5 orang putra dan 1 orang putri. Namun ke-6 anak-anak Raja NaiAmbaton ini berasal dari 2 orang istri. Dari istrinya yang pertama, setelah menikah Raja NaiAmbaton, istri pertama lama memiliki keturunan, lama menanti akhirnya Raja NaiAmbaton menikah kembali, dan dari pernikahan keduanya lahirlah tanpa waktu yang lama seorang putra pertama bagi Raja NaiAmbaton, diberilah anak tersebut dengan nama Raja Nabolon/Si Bolon Tua. Raja Nabolon memiliki arti tersendiri bagi Tuan Sorba Dijulu, yang merupakan kelak keturunan-keturunannya akan menjadi besar, dan itu terbukti saat ini keturunan Tuan Sorba Dijulu adalah keturunan kumpulan marga-marga terbesar di marga Batak. Sejak setelah itulah Tuan Sorba Dijulu lebih dikenal dengan nama Ompu Raja Nabolon. Kemudian dari istrinya yang kedua kembali lahirlah seorang putri, yang diberi nama Pinta Haomasan. Di satu sisi lama belum memiliki keturunan dari istri pertama, sedangkan dari istri kedua sudah melahirkan 2 orang anak, mengandunglah istri pertama Tuan Sorba Dijulu dan lahirlah seorang putra. Kegembiraan Tuan Sorba Dijulu dan syukur kepada Mulajadi Nabolon yang mengaruniakannya 'hagabeon' dan kelengkapan keturunan dari kedua istrinya serta menghapus kekhawatirannya selama ini. Diberilah anak tersebut dengan nama Tamba Tua, yang memiliki arti bertambah lengkaplah keturunannya, sedangkan kata 'Tua' pun bagi orang Batak memiliki arti yang dalam dan bermakna. Setelah lahirnya Tamba Tua berturut-turut istri pertama Tuan Sorba Dijulu melahirkan kembali 3 orang putra, diberilah nama Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua.

Bagi orang Batak, anak laki-laki sulung adalah si pembawa nama bagi keluarganya. Dan apabila laki-laki menikahi 2 orang perempuan, keturunan dari istri pertamalah 'Raja Jolo' bagi keturunan laki-laki orang Batak tersebut, sekalipun dari istri kedua lebih dahulu memiliki keturunan dari istri pertama. Ini hampir terjadi dihampir semua orang Batak, terlebih orang Batak dulu atau nenek moyang dari masing-masing marga, hampir semua marga mengalami kisah yang sama terkait masalah ini.

Bagi Tuan Sorba Dijulu sendiri, inipun yang menjadi konflik bagi keturunannya. Kelak ketika anak-anak Tuan Sorba Dijulu semakin besar dan semakin mengerti akan adat budaya orang Batak, muncullah tanda tanya di dalam pikiran masing-masing. Terlebih apabila Tuan Sorba Dijulu tidak pernah menceritakan, menyelesaikan sebelum anak-anak mereka mempermasalahkannya.

Terjadilah konflik di antara anak-anak Tuan Sorba Dijulu, terutama di antara sulung dari keturunan istri pertama dan kedua Tuan Sorba Dijulu yaitu antara Bolon Tua dengan Tamba Tua, Bolon Tua yang lahir lebih dulu dari istri kedua Tuan Sorba Dijulu telah dianggap sebagai sulung bagi Tuan Sorba Dijulu, Bolon Tua merupakan kesayangan dari Tuan Sorba Dijulu, ke manapun Tuan Sorba Dijulu pergi selalu mengajak anaknya Bolon Tua baik itu 'marmahan' atau berburu dan lainnya. Tamba Tua yang merasa bahwa dalam adat seharusnya dialah Raja Jolo karena dari istri pertama mempertanyakan hal itu kepada Tuan Sorba Dijulu dan Bolon Tua. Hal ini disadari setelah mereka besar dan paham akan adat budaya Batak, di mana pasti Si Bolon Tua lah yang memperoleh jambar ataupun ulos dll dalam acara adat. Karena perselisihan ini semakin meruncing, maka Tuan Sorba Dijulu dengan caranya menengahi Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan cara 'marultop' adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua dengan catatan siapa yang berdarah terkena ultop, maka dialah sianggian. Namun sebelum adu marultop itu terjadi, Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing/tajam ultop (anak panahnya) Si Bolon Tua. Mengapa Tuan Sorba Dijulu melakukan ini...??. Ada banyak kemungkinan, karena dia lebih menyayangi Si Bolon Tua, atau karena Si Bolon Tua adalah awal dari hagabeoni Tuan Sorba Dijulu, atau karena malu apabila selama ini Tuan Sorba Dijulu dianggap tidak mengerti adat karena selalu Si Bolon Tua lah yang menerima jambar/ulos dll dalam setiap acara, atau mungkin inilah cara yang paling tepat agar keturunannya berdamai, karena apabila Tamba Tua terbukti siakkangan, tentu Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua yang umurnya jauh sekali dari Si Bolon Tua menjadi haha doli Si Bolon Tua, dan itu tentu membuat Si Bolon Tua menjadi sedih atau mungkin marsak atau mungkin pergi meninggalkan atau hal-hal lainnya. Kejadian marultop ini didengar oleh Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua juga Pinta Haomasan. Namun tak disangka, ketika Tuan Sorba Dijulu menumpulkan ultop Tamba Tua dan membuat runcing ultop Si Bolon Tua, hal ini dilihat oleh borunya Pinta Haomasan. Pinta Haomasan melihat semua yang dilakukan ayahandanya Tuan Sorba Dijulu.

Terjadilah adu ultop antara Si Bolon Tua dan Tamba Tua, di mana Tamba Tua lah yang berdarah oleh ultop Si Bolon Tua. Setelah kejadian ini, ditemui Pinta Haomasan lah Tamba Tua, dan memberitahukan kejadian tentang apa yang dilakukan ayah mereka Tuan Sorba Dijulu terhadap ultop Tamba Tua. Lalu, apa alasan Pinta Haomasan memberitahukan hal itu kepada Tamba Tua...?? Bukankah Si Bolon Tua adalah saudara satu rahim ibu dengan Pinta Haomasan dibandingkan Tamba Tua...??. Semenjak kecil, Si Bolon Tua selalu pergi bersama ayahnya, sedangkan Pinta Haomasan bertugas mengurus adik-adiknya yang masih kecil termasuk Tamba Tua. Dalam bahasa Bataknya dipatarus-tarus.

Perlu untuk kita ketahui, kejadian marultop terjadi ketika Si Bolon Tua, Tamba Tua sudah magodang, termasuk Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Semenjak muda dan belum menikah, tidak ada permasalahan akan siakkangan, karena sudah menikahlah baru kelihatan adat bagi orang Batak itu. Pembagian jambar, ulos, pasu-pasu, dan yang selalu tampil saat itu selalu Si Bolon Tua, disinilah mereka yang abang beradik itu baru mulai mempermasalahkannya, disaat mereka mulai menyadari makna dan mengerti adat istiadat itu sendiri, ditambah adik-adik Tamba Tua yang juga mulai menyadari dan mengerti, lalu disampaikan pada haha dolinya Tamba Tua untuk mempertegas masalah ini ke Tuan Sorba Dijulu. Jadi ke lima anak Tuan Sorba Dijulu sudah marhasohotan sebelum beberapa anak-anaknya pergi dari Pangururan termasuk borunya si Pinta Haomasan.

Kembali pada cerita sebelumnya, diceritakan Pinta Haomasan lah kepada ibotona Tamba Tua tentang apa yang telah diperbuat ayah mereka Tuan Sorba Dijulu. Tamba Tua merasa kecewa sekali, dan hal ini diceritakanlah kepada adik-adiknya Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Kemudian mereka sepakat untuk meninggalkan Pangururan. Rencana inipun didengar oleh itonya Pinta Haomasan, dengan bersedih hati karena rencana ito-itonya ini, Pinta Haomasan datang kerumah Tamba Tua dan membawa sipanganon lao paborhaton ibotona, sebagai bentuk tanda kasih sayang dan doa. Akhirnya pergilah Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua dari tanah Pangururan dengan perasaan sedih.

Disamping versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun tidaklah berbeda jauh dari kisah di atas. Dikisahkan tidak sampai terjadi kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah lebih dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan Sorba Dijulu ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan. Lalu di versi yang lain dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah perasaan dendam Si Bolon Tua terhadap Tamba Tua di mana dia telah membuat masalah akan siakkangan, padahal saat marultop telah terbukti Tamba Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon Tua, dan Si Bolon Tua berencana membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua diketahui Pinta Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya pada Tamba Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan bersama adik-adiknya.

Perlu untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja Silahi Sabungan?????(VERSI SILALAHI RAJA), dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan Raja Silahi Sabungan disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Saat itu Si Bolon Tua terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan Sorba Dijulu marmahan, berburu, mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, di mana posisi Tamba Tua sudah menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan banyak dihabiskan bersama ibotona karena Raja Silahi Sabungan yang mengadu kesaktian di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan dari Pinta Haomasan adalah Silalahi Raja atau SILALAHI RAJA???. Namun setelah Silalahi Raja besar dia tidak lagi dapat berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan anak-anak tulangnya, karena Tamba Tua dan adik-adiknya serta keturunannya sudah pergi dari tanah Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan keturunannya lah yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi Raja menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga sundut mangalap boru tulangna Si Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi Raja boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru Simbolon. Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya...Pertanyaannya 1. KENAPA SILAHISABUNGAN TIDAK MEMBERITAHUKAN KEPADA ANAK-ANAKNYA YANG LAIN TENTANG KEBERADAAN SILALHI RAJA INI, ???? 2. DIMANA KUBURAN SILALAHI RAJA INI???..

Akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang cocok untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya, diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan marga-marga mayoritas PARNA. Setelah menempati kampung yang baru dan membangun kampung tersebut, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua. Tamba Tua di huta Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke tanah Karo, dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta membawa keturunannya, namun berdasarkan tano parserahan marga-marga PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua, keturunannya ada yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2 anak, Ompu Tuan Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba di tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan memiliki keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan kembali ke kampungnya di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi kembali ke huta Tamba, tetapi salah satu keturunan Raja Saragi ikut bersama opungnya Saragi Tua kembali ke huta Tamba. Keturunan Raja Saragi yang tinggal di tanah Simalungun ini diketahui adalah cikal bakal marga Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba adalah cikal bakal marga Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang saat ini mayoritas bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian di mana cucu dari Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba merantau ke Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan hingga saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih Parna. Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih ada minoritas Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain kesempatan. Ketika Saragi Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah merantau dari huta Tamba, dan menemukan tanah baru yang kelak dinamakan Huta Simarmata.

Lalu Munthe Tua dan anak seorang anaknya ikut ke tanah Karo, anak dari Munthe Tua ini diketahui adalah Ompu Jelak Karo yang akhirnya tidak mau kembali dan menetap di tanah Karo. Anak dari Munthe Tua sendiri ada tiga, Raja Sitempang, Ompu Jelak Maribur, dan Ompu Jelak Karo. Namun yang ikut ke huta Tamba hanyalah Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo, namun karena Ompu Jelak Karo mengikuti Munthe Tua ke tanah Karo namun enggan kembali, yang kembali hanya Munthe Tua ke tanah Tamba dan tinggalah Ompu Jelak Maribur beserta keturunannya. Lalu bagaimana dengan anaknya yang pertama Raja Sitempang…??

Raja Sitempang tidak ikut Munthe Tua dari tanah Pangururan ke huta Tamba disebabkan ketika Raja Sitempang lahir, Munthe Tua langsung mengasingkan Raja Sitempang jauh ke pusuk buhit, tidak ada yang tau akan hal ini. Sehingga ketika kejadian namarultop Raja Sitempang tidak tahu menahu akan hal tersebut. Sedikit tentang Raja Sitempang, Raja Sitempang diasingkan ke pusuk buhit, Raja Sitempang tidak tau sama sekali apa yang terjadi di kampung halamannya di Pangururan. Baik itu kejadian ultop, menikahnya namboru Pinta Haomasan dll. Raja Sitempang diasingkan oleh karena (sattabi sangap di ompui) cacat fisik yang dideritanya. Lama diasingkan dipusuk buhit, Raja Sitempang bertemu dengan seorang gadis yang juga ternyata diasingkan orangtuanya, gadis ini memiliki nasib yang sama dengan Raja Sitempang yang cacat fisik, Raja Sitempang tidak mengetahui siapa gadis ini yang adalah anak dari namboru kandungnya Pinta Haomasan, begitu juga dengan gadis tersebut tidak mengetahui Raja Sitempang adalah anak dari tulangnya Munthe Tua. Karena saling tidak mengetahui siapa masing-masing diri mereka, yang sebenarnya mereka ada sepupu kandung akhirnya mereka saling mengasihi dan menikah, namun tidak ada keturunan yang dihasilkan dari pernikahan ini. Dalam hal ini, Raja Sitempang satu level dengan Si Boru Marihan, yang adalah nama si gadis tersebut. Lama dipusuk buhit, tanpa ada yang tau persis penyebabnya, diketahui Raja Sitempang kembali normal seperti manusia biasanya. Dikatakan dia bersemedi di pusuk buhit meminta pada Mulajadi Nabolon untuk kesembuhannya dan Mulajadi Nabolon mengabulkannya. Bukan hanya sembuh, Raja Sitempang juga memiliki cukup kesaktian dalam dirinya. Setelah kenormalan fisik Raja Sitempang, dia memutuskan kembali ke kampung halamannya ke tanah Pangururan. Tanah Pangururan yang didatanginya tidak sama dengan tanah Pangururan yang telah lama ditinggalkannya, dia tidak lagi menemukan Munthe Tua, bapatuanya Saragi Tua, Tamba Tua dan bapaudanya Nahampun Tua yang dia temui hanyalah keturunan dari Si Bolon Tua.

NB : kisah Si boru Marihan pun masih menjadi simpang siur bila dikaitkan dengan versi Silalahi, namun kisah di atas diambil dari versi Sitanggang. Mohon maaf apabila dari pihak Silalahi menganggap ini salah, karena pada dasarnya penulis mengambil hanya mengaitkan dari versi Sitanggang saja. Dalam satu versi Raja Sitempang dan Siboru Marihan tidak memiliki anak, disatu sisi memiliki anak yang bernama Raja Hatorusan bukan Raja Natanggang.

Nahampun Tua pergi ke Dairi, diketahui hanya Nahampun Tualah yang tidak kembali lagi ke huta Tamba, Nahampun Tua lama dan menetap di Dairi. Namun ada 2 versi yang mengatakan, keturunan Nahampun Tua adalah si Onom Hudon, namun versi yang lebih sering diceritakan adalah Nahampun Tua tidak berketurunan anak laki-laki, hanya anak perempuan saja. Di tanah Dairi Nahampun mewariskan warisan, namun karena tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuannyalah yang mengurus, atau bahkan rumah/tanah Nahampun Tua di Dairi tidak ada yang mengurus. Lama puluhan tahun kemudian, datanglah anak rantau ke tanah Dairi, Raja Huta setempat tentu menanyakan siapa gerangan anak rantau ini, setelah diketahu bahwasanya anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua maka Raja Huta pun mengatakan bahwa di tanah Dairi ini ada peninggalan opung anak rantau ini, opung yang adalah adik dari opung mereka Si Bolon Tua, dan Raja Huta mengatakan agar anak rantau ini menempati tanah warisan dan peninggalan Nahampun Tua. Diketahui anak rantau ini adalah keturunan Si Bolon Tua dari Tuan Nahoda Raja yang bernama Tuan Seul. Akhirnya Tuan Seul tinggal dan menetap di tanah Dairi, dan memiliki 7 keturunan anak laki-laki, di antaranya Simbuyak-buyak (meninggal), Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Alasan Tuan Seul memberikan nama anak bungsu laki-lakinya Nahampun adalah sebagai bentuk penghormatan dan mengenang Nahampun Tua, karena saat ini Tuan Seul lah yang menempati dan menggunakan warisan serta peninggalan Nahampun Tua di tanah Dairi.

Namun tidak dapat dipastikan berapa lama Saragi Tua di Simalungun dan kembali ke huta Tamba, Munthe Tua di tanah Karo dan kembali ke huta Tamba, juga Nahampun Tua di tanah Dairi.

Dari kisah ultop di atas, adanya kata sepakat Simbolon Tua adalah haha doli Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua, sebab itulah poda ni da ompung Ompu Raja Nabolon, dipillit ompung i do Si Bolon Tua gabe Raja Jolona, Ido umbahen goar ni Tuan Sorba Dijulu ima Ompu Raja Nabolon.

Kembali pada kisah Raja Sitempang…

Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan dan tidak menemukan keluarganya, akhirnya Raja Sitempang memutuskan untuk mencari sembari mengadu kesaktian karena Raja Sitempang saat ini adalah seorang yang memiliki kesaktian dan tidak bercacat fisik seperti dulu ketika diasingkan. Ketika Raja Sitempang pulang ke tanah Pangururan, dia hanya dapat menemukan keturnan Si Bolon Tua yaitu Tuan Nahoda Raja yang adalah anak abangnya Suri Raja. Perbedaan umur Suri Raja dengan Raja Sitempang cukup jauh, dikarenakan Si Bolon Tua yang lahir lebih dulu jauh dibandingkan Munthe Tua, kemudian Raja Sitempang yang lama menikah karena lama diasingkan ke pusuk buhit mengakibatkan ketertinggalan umur yang cukup jauh.

Pergilah Raja Sitempang memulai perjalanannya, lama mencari namun tak kunjung dia temukan, alhasil tibalah Raja Sitempang di sebuah kampung di Dairi dikampung marga Mataniari, disana dia dijamu dan mengobati orang-orang yang sakit juga membela kampung tersebut dari peperangan (banyak cerita dan versi terkait ini). Karena jasanya, dan keakrabannya hal yang lumrah dijaman dulu adalah memberikan putri dari Raja Huta tersebut untuk dinikahi, disinilah Raja Sitempang menikahi si boru Porti Mataniari. Dalam versi Sitanggang, Tuan Sorba Dijulu digelari Datu Sindar Mataniari yang nama tersebut adalah nama ciri khas dari daerah Dairi, adapun gelar tersebut karena jasa-jasa yang telah dilakukan Raja Sitempang terhadap kampung tersebut, maka Raja Mataniari pun mengatakan Raja Sitempang adalah anak dari seorang datu yang hebat, muncullah gelar Datu Sindar Mataniari, keturunan datu (dukun) yang memberikan sinar pada kampung Mataniari (sinar disini adalah keberuntungan). Dinikahilah si boru Porti Mataniari, dan dibawa Raja Sitempang ke kampung halamannya. Raja Sitempang pun memutuskan menghentikan pencarian karena lama sudah tidak ditemukannya. Raja Sitempang sendiri setelah menikah dan mengetahui adat istiadat menyadari kalau dari ibu, mereka lebih sulung dibandingkan keturunan Si Bolon Tua, disinilah kemudian banyak muncul versi kembali. Apakah Raja Sitempang tidak mau membuka adat istiadat yang sudah terbiasa dilakukan apalagi setelah lama dia diasingkan ke pusuk buhit dan lama tidak kembali ke tanah Pangururan, dan versi di mana namborunya Pinta Haoamasan telah menceritakan kejadian yang terjadi di tanah Pangururan yang membuat Raja Sitempang pergi mencari ayahandanya. Karena itu Raja Sitempang tidak mau mengungkit kembali.

Di tanah Pangururan, si boru Porti Mataniari melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Natanggang, disamping disaat itu di Pangururan Tuan Nahoda Raja pun sudah menikah dengan boru Tobing dan melahirkan anak laki-laki selang beberap tahun setelah Raja Natanggang lahir. Raja Natanggang bertumbuh besar dan menikahi boru Naibaho anak dari Raja Naibaho yang juga adalah penguasa di Pangururan (perlu kita ketahui, Pangururan itu besar dan luas). Raja Naibaho ini memiliki 2 orang putri, putri pertamanya dinikahi oleh Raja Natanggang. Setelah itu, anak Tuan Nahoda Raja menikahi boru Naibaho yang adalah adik kandung dari istri Raja Natanggang. Disini anak Tuan Nahoda Raja menjadi naik satu level dengan Raja Natanggang. Karena dari umur dan dari parparibanan, Raja Natanggang adalah abang dari anak Tuan Nahoda Raja ini. Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan keturunan dari Simbolon Tua. Karena terbiasa selama ini jambar, ulos, pasu-pasu, yang selalu tampil dll diberikan terlebih dahulu kepada Simbolon Tua dan keturunannya, maka semenjak parpariban ini itu dipertanyakan Raja Natanggang, bagaimana bisa adiknya yang manjalo jambar dohot akka na asing…??. Ditambah Raja Natanggang tahu kalau dari parsonduk ni da opung Tuan Sorba Dijulu mereka dari istri pertama. Namun keturunan Simbolon Tua tidak menerima itu, disebabkan adat istiadat yang telah terbiasa dilakukan merekalah yang selalu menerima. Keturunan dari adik-adik Tuan Nahoda Raja protes kepada abang mereka, dan karena Tuan Nahoda Raja adalah sulung dari keturunan Simbolon Tua maka anak Tuan Nahoda Raja wajib menyampaikannya kepada Raja Natanggang. Perbedaan pendapat pun terjadi, hingga sampai ke telinga hula-hula Naibaho yang mertua dari Raja Natanggang dan anak Tuan Nahoda Raja ini. Dengan fungsinya sebagai hula-hula, siboan dame, akhirnya kata damai lah yang diberikan sang mertua Raja Naibaho kepada kedua helanya agar tidak mempermasalahkan masalah tersebut, karena Raja Naibaho tau disatu sisi Raja Natanggang adalah siakkangan dari parparibanan, disatu sisi anak Tuan Nahoda Raja adalah siakkangan bila dilihat dari keturunan dan poda ni Ompu Raja Nabolon, maka keluarlah istilah Ipar-Ipar Partubu, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena dari leluhur mereka dekat, namun kedekatan itu dipererat dengan sama-sama menikahi boru Naibaho, marabang ma anak ni Tuan Nahoda Raja tu Raja Natanggang, alana siakkangan pinompar ni Simbolon Tua manjou abang tu Raja Natanggang, gabe dohot ma akka angina manjou abang tu Raja Natanggang. Dan itu menjadi terbiasa hingga turun-temurun di kedua marga itu, untuk itu bila di Pangururan lebih digunakan istilah ise do parjolo tubu ima siakkangan sian ise parpudi tubu, marabang molo tu ise naparjolo tubu. Sama seperti di zaman sekarang, ada marga Napitu menikahi boru Damanik, dan marga Sidabutar menikahi boru Damanik yang adalah adik kandung dari boru Damanik yang dinikahi marga Napitu, dalam tutur Sidabutar tentu memanggil abang ke marga Napitu. Hal ini hamper banyak kita temui di lingkungan kekerabatan orang Batak.

Di satu sisi dari berbagai macam versi, ada juga yang mengatakan Raja Sitempang itu adalah gelar dari Munthe Tua, di mana Raja Natanggang adalah pahompunya, versi lain mengatakan Raja Sitempang adalah anak Tuan Sorba Dijulu, hanya saja dalam versi ini (versi Sitanggang) tidak ada Raja Batak, yang paling atas adalah Tuan Sorimangaraja dengan 2 anaknya Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon memiliki 3 orang anak yaitu Tuan Sorba Dijulu (Datu Sindar Mataniari), Tuan Sorba Dijae, Tuan Sorba Dibanua. Tuan Sorba Dijulu memiliki 3 anak, Guru Sodungdangon (yang tidak jelas kisahnya), Raja Sitempang dan Raja Nabolon. Namun di Munas Sigalingging di mana Sigalingging adalah marga manjae Raja Sitempang memiliki silsilah yang berbeda dengan versi Sitanggang itu sendiri, namun sama dengan versi Parna pada umumnya, namun menjelang tahun 2005 ke atas versi mereka bergeser mengikuti Sitanggang, dan direncanakan akan ada Re-Silsilah dan mengadakan Munas kedua kali pada tahun 2017 mendatang (menurut info yang diketahui).

Hal ini memiliki keterkaitannya dengan Kapala-Kapala Nagari pemberian Belanda yang datang ke Samosir dengan mengumpulkan Raja-Raja Bius/Huta di Pangururan, namun ada Raja-Raja yang datang ada juga yang tidak bersedia datang namun tanpa sepengetahuan si Raja, adiknya mewakili dan lain-lainnya. Disinilah dimulainya orang Batak melek teknologi dan mengalami kemajuan, karena Raja-Raja yang datang tersebut selain diberi wilayah kekuasaan dan gelar Kapala Nagari, mereka juga diajarkan baca tulis dan pengetahuan lainnya seperti bercocok tanam yang baik, membuat keterampilan dan lain-lain, itu dapat kita lihat di mana ada marga-marga Batak yang maju, contohnya di Parna itu sendiri, marga-marga Simbolon dan Sitanggang adalah marga-marga yang orang-orangnya lebih dulu maju, terlihat dari jabatan, prestasi dan kemampuan mereka di berbagai bidang profesi. Karena sifat orang Batak, melihat dongan tubuna sukses, agar dapat dibantu terjadilah perubahan tutur, ini juga turut mempengaruhi, karena sukses dan agar dibantu yang butuh bantuan memanggil abang kepada yang sukses, dan yang sukses karena merupakan satu keuntungan terlepas dia tau partuturan atau tidak mereka biasanya hanya diam. Banyak sekali terjadi perubahan karena faktor politik (Kapala Nagari), ekonomi, status sosial dan lain-lain. Karena faktor-faktor tersebut dan semakin modernnya zaman, tidak lagi mempedulikan yang namanya partuturan yang penting asal bisa makan saja dulu. Namun lambat laun kemajuan teknologi itu akan merata, akan muncul orang-orang hebat dan sukses dari marga-marga yang jarang tampil di depan publik, dan mereka biasanya lambat laun memahami, menyadari adanya perubahan yang terjadi, sekalipun orang-orang tua telah menganut paham yang keliru dijaman mereka karena faktor kebutuhan untuk hidup di tanah perantauan. Ini akan dijelaskan di kisah Kapala Nagari di Tanah Batak.

Nai Rasaon

Nai Rasaon adalah kelompok marga-marga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah Sibisa. Marga-marga keturunan Nai Rasaon adalah Manurung, Sitorus (menurunkan Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar.

Si Raja Batak adalah S-1, Raja Isumbaon - setaraf dengan Guru Tatea Bulan adalah S-2, maka Tuan Sorimangaraja (anak Raja Isumbaon) adalah S-3. Dari Ibu, Nai Rasaon (nama kecil: si Boru Bidinglaut, Istri II Tuan Sorimangaraja (S-3)/Anak no. 2 Ompu Raja Isumbaon (S-2)) beranak satu, yaitu Datu Pejel/Ompu Tuan Sorbadijae. (S=Sundut/generasi). Datu Pejel, dua anaknya sekali lahir (kembar-dua), namun tidak sebagaimana umumnya lahir kembar secara satu per satu, melainkan lahir kembar-dua di dalam satu "lambutan". Yang dimaksud lambutan, barangkali adalah jaringan selaput yang membungkus bayi ketika di dalam kandungan. Pada waktunya yang tepat dikemudian hari diberi nama: Raja Mangarerak dan Raja Mangatur si "Dua-sahali tubu". Pomparan Raja Toga Manurung berkembang dari Raja Mangarerak; Sementara pomparan Raja Toga Sitorus, Raja Toga Sirait dan Raja Toga Butarbutar berkembang dari Raja Mangatur. Meski empat marga ini sesungguhnya berasal dari satu Ompu, Datu Pejel, namun umumnya, berawal dari wilayah Porsea ke-empat marga ini sudah saling kawin-mawin. Maka prinsip satu keluarga besar "na so boi mar-si-oli-an" telah ditinggalkan. Proses ini diperkirakan sudah dimulai sejak 5 - 6 generasi sebelum generasi yang sekarang, atau kira-kira 200 tahun yl, sedangkan di wilayah asal/asli Sibisa dan Ajibata perasaan bersaudara itu masih kental. Namun di wilayah Ajibata, antara Sirait dan Manurung, pada generasi yang sekarang, telah ada yang memulai kawin-mawin. Sementara antara Sirait terhadap Sitorus dan Butarbutar belum ada yang memulai, tetapi di daerah perantauan seperti di pulau Jawa telah ada yang merintis.

Tuan Sorbadibanua

Tuan Sorbadibanua mempunyai 8 (delapan) putra, yaitu:

  1. Sibagotnipohan
  2. Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
  3. Silahisabungan
  4. Raja Oloan
  5. Raja Hutalima
  6. Raja Sumba
  7. Raja Sobu
  8. Raja Naipospos

Sibagotnipohan

Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putra, yaitu:

  1. Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan cabang-cabangnya
  2. Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
  3. Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
  4. Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede

Sipaettua

Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: Hutahaean, Hutajulu, Aruan, Sibarani, Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea

Silahisabungan VERSI SILALAHI RAJA

Tarombo Sidabutar versi Pitu Raja Ambarita.

Sembilan Anak Keturunan Silahisabungan dari 3 istri yakni:

Istri Pertama, Pintahaomasan boru baso bolon, anaknya:

1. Silahi Raja (Silalahi)

Istri Kedua, Pinggan matio boru Padang batanghari, anaknya:

  1. Loho Raja (Sihaloho)
  2. Tungkir Raja (Situngkir)
  3. Sondi Raja (Rumasondi)
  4. Butar Raja (Sidabutar)
  5. Debang Raja (Sidebang)
  6. Bariba Raja (Sidabariba)
  7. Batu Raja (Pintubatu.

Istri Ketiga, Milingiling boru Mangarerak, anaknya:

1. Siraja Tambun.

Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, Maha, Sigiro, dan Daulay.

Raja Oloan

Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang putra, yaitu:

  1. Naibaho yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang-cabangnya.
  2. Sigodang Ulu yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya.
  3. Bakara yang merupakan cikal-bakal marga Bakara.
  4. Sinambela yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela.
  5. Sihite yang merupakan cikal-bakl marga Sihite.
  6. Manullang yang merupakan cikal-bakal marga Manullang.

Raja Hutalima

Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan.

Raja Sumba

Tarombo Silaban, Suku Batak Toba.

Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:

  1. Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba, Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe.
  2. Sihombing, yang merupakan cikal-akal marga Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit.

Raja Sobu

Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya,Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea - Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing=Lumbantobing). Marga-marga tsb (di luar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran". Mana ejaan yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran atau Pisoran, entahlah. Marga-marga tersebut di atas masih tetap alias belum bercabang hingga sekarang. Kecuali pencabangan untuk tujuan penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat Sosunggulon, Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah dibagi lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari pomparan Guru Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat nomornya masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya, "nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu "standing position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst, termasuk "tutur" untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena dapat memotivasi orang lain mencari asal usul ("identitas") "ha-batahonna", tentu setelah indentitas keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu.

=

Teks judul
===

Raja Naipospos

Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putra yang secara berurutan, yaitu:

  1. Donda Hopol yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang.
  2. Donda Ujung yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk.
  3. Ujung Tinumpak yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit.
  4. Jamita Mangaraja yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang.
  5. Marbun yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol.

Padanan atau janji antar marga (Janji Matogu)

Dalam suku bangsa Batak, selain marga yang satu nenek moyang (satu marga) ditabukan untuk saling kawin, dikenal juga padan (janji atau ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak saling kawin. Marga-marga tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi dalam rumpun persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah diikat padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu disebut dongan padan.

Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, antara lain:

  1. Manurung dengan Simamora (Debata Raja)
  2. Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
  3. Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
  4. Nainggolan dengan Siregar
  5. Tampubolon dengan Silalahi
  6. dan lain sebagainya

Sihotang dengan Naipospos (Marbun)

Seluruh keturunan Raja Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak saling kawin dengan keturunan Raja Oloan yang bermarga Sihotang. Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan. Memang pada awalnya pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu kesepakatan bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na marhahamaranggi) dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa hingga saat ini seluruh marga Naipospos Silima Saama (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang kawin dengan marga Sihotang.

Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang mempersoalkan padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah yang marpadan dengan Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa telah ada ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) bahwa padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda). Benar Marbunlah pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi oleh karena Marbun sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar (padan) sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun. Tetapi oleh karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan dengan Marbun untuk tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta dengan sendirinya oleh karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) yang telah disebutkan di atas. Sehingga suatu padan yang umum bahwa keturunan Raja Naipospos dari istri I (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Raja Naipospos dari istri II (Marbun).

Demikian pula halnya seluruh marga-marga keturunan Raja Napospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Sihotang.

Bacaan lanjutan

  • Haran Sibagariang (Gelar: Ompu Basar Solonggaron), mantan Kepala Negeri Huta Raja sebagai sumber tertulis dalam buku sederhana susunannya sendiri tentang Raja Naipospos dan Keturunannya.
  • Laris Kaladius Sibagariang, seorang yang dituakan dan kepala adat di Huta Raja, Sipoholon sebagai sumber lisan.
  • W. M. Hutagalung, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang berjudul Pustaha Batak Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak
  • D. J. Gultom Raja Marpodang, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang berjudul Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak tentang marga keturunan Raja Batak

Pranala luar