Evolusi diplomasi

Revisi sejak 10 Juni 2016 05.12 oleh Lella Rukmana (bicara | kontrib) (EVOLUSI DIPLOMASI, SEJARAH DIPLOMASI, PEREKEMBANGAN DIPLOMASI)

Nicholshon menyatakan bahwa “Asal mula diplomasi ikut terkubur dikegelapan zaman yang mendahului fajar sejarah.” Masuk akal bila ada yang beranggapan bahwa pada saat manusia memulai kehidupan berkelompok, perhubungan, termasuk negosiasi untuk berbagai tujuan juga merupakan salah satu bentuk diplomasi. Perhubungan-perhubungan ini yang menjalankan berbagai tujuan seperti penghentian pemusuhan, pembicaraan penggunaan padang rumput, pertukaran istri, dan sebagainya, diantara kelompok-kelompok manusia yang berbeda,bisa diaanggap sebagai bukti adanya diplomasi pada zaman pra-Sejarah. Literatur-literatur kuno yang masih ada menggambarkan malaikat sebagai pembawa wahyu antara surga dan bumi. Mereka digambarkan sebagai diplomat pertama. Kitab regweda sering melukiskan Agni sebagai pesuruh dewa. Ia merupakan mediator antara dewa dan manusia dan ditunjuk sebagai “pembawa dan penyebar berita” “duta yang lincah bergerak” dan sebagainya yang melaksanakan tugas-tugas diplomatik. Tidak hanya dijelaskan dalam kitab Regweda, mitologi Yunani juga menggambarkan bahwa diplomat yang pertama kali adalah pembawa berita/pesan antara dua atau lebih kelompok manusia atau suku bangsa. Kembalinya pembawa berita dengan selamat memelihara harapan akan keberhasilan kegiatan diplomatik. Keselamatan Duta yang sangat dihargai Negara mereka telah dikenal sejak semula. Inilah sebabnya mengapa sejak zaman dulu, ketika manusia masih menempu kehidupan liar, duta-duta itu umumnya dianggap sebagai orang suci. Hak imunitas yang kemudian diberikan membawa diplomasi kepada keadaan sekarang yang makmur.

1. Perkembangan Di India Kuno

Telah membuktikan secara tertulis bahwa kegiatan diplomatik telah berlangsung sejak lama di India dan telah lambat laun berkembang. Bahkan pada periode Vedic menggunakan utusan duta yang dikenal sebagai Prahita, palgala,dan suta tugasnya merupakan seorang utusan yang dikirim oleh rajanya untuk mengumpulkan informasi dan penyampai pesan. Telah dikembangkan pada periode ‘’’Yajurweda’’’. Dalam periode ini muncul banyak contoh pertunjukan wakil-wakil diplomatik oleh para penguasa untuk mewakili mereka di istana satu sama lain baik dalam waktu damai maupun perang.

Sejalan dengan berjalannya waktu metode dan praktek diplomatik berkembang lebih jauh. Pada abad ke-4 S.M., Kautilya menulis Arthasastra mengenai kenegaraan. Ia membuat analisis tentang tujuan, instrumen, praktek dan metode diplomasi. Analisisnya masih banyak dipraktekkan hingga kini antara lain : Dalam Konsep Rajamandala (lingkaran negara-negara), ia menekankan aspek geopolitik dari diplomasi secara rinci. Ia menelaah tentang pentingnya geografi dalam merumuskan diplomasi dan politik luar negeri suatu Negara. Bahwa politik antar anggota masyarakat internasional yang berbeda, pada dasarnya ditentukan oleh konstelasi: sahabat – musuh – dan – netral. Hal ini telah diakui oleh para penulis modern tentang hubungan internasional.

Pada abad ke-3 S.M, Maurya Kaisar Asoka mencoba menanamkan gagasan baru dalam dunia diplomasi. Ia mengajar kan doktrin non-violence (non kekerasan), tidak hanya dalam kehidupan pribadi atau negara, tetapi bahkan juga dalam hubungan Internasional. Benar bahwa gagasan India tentang pemeliharaan hubungan damai antara negara satu dengan negara lainnya dan pembentukan persaudaraan secara menyuluruh tidak menghasilkan kesan mendalam pada evolusi diplomasi.

2. Perkembangan Di Yunani Kuno

Yunani juga merupakan salah satu peradaban tertua didunia dalam praktek diplomasinya Menurut mitologi Yunani, dewa bangsa Olypi dan Hermes terlibat kegiatan-kegiatan diplomatik. Zeus, raja para dewa, menugaskan Hermes untuk misi-misi diplomatik yang sulit termasuk membunuh Argos. Hermes melambangkan sifat-sifat mempesona, penuh tipu-daya dan cerdik.

Bahkan diawal periode sejarah Yunani melibatkan sistem yang terinci bagi praktek diplomasi. Juru bicara melakukan negosiasi diantara suku-suku bangsa yang berbeda, mereka membicarakan tentang perdamaian, bersatu, konvensi, perjanjian seremonial, akhir perdamaian dan sebagainya, begitulah cara mereka berdiplomasi dan membuktikan kenyataan tentang kegiatan-kegiatan diplomatik masa yunani kuno. Para Duta Besar yang dikirim secara luas dipuji atas kefasihan dan keahlian mereka berbicara sehingga bisa membujuk pihak lain untuk menerima pandangan mereka, dan para Duta Besarpun memperoleh kekebalan diplomatik.

Pada abad ke-6 S.M, para warga kota Yunani melakukan praktek memilih ahli pidato mereka yang terbaik sebagai utusan mereka. Utusan-utusan ini dipercayai dengan tegas membela kasus mereka di depan majelis rakyat dari kota-kota lain di mana mereka telah dikirim untuk berunding. Mereka diharapkan untuk mengajukan proposal mereka secara terbuka dalam sebuah pidato yang hebat. Jadi perundingan atau negosiasi itu dilakukan secara lisan dan di muka umum. Apabila negosiasi itu berhasil akan menghasilkan perjanjian dan persyaratan-persyaratan yang akan diukir pada loteng suci pada sebuah kepingan seperti tablet agar bisa dilihat secara umum. Penandatangan dan sumpah dilaksanakan secara terbuka.

3. Perkembangan Di Romawi Kuno

Tradisi diplomasi dan metode-metode diplomasi serta praktek-praktek ini disebarkan dari bangsa Yunani kepada bangsa Romawi. Bangsa romawi diberi Tuhan “Pratical Sense” yang baik dan mereka mempunyai kapasitas administrasi yang mengagumkan. Tetapi mereka tidak membuat kontribusi yang penting pada perkembangan seni negosiasi, yang mana pentingnya tak perlu diragukan lagi dalam lapangan negosiasi. Mereka lebih suka memaksakan kehendaknya daripada melakukan perundingan atas dasar timbal-balik. Mereka menyerbu lawannya yang keras kepala dan hanya mengecualikan mereka yang tunduk pada kehendak Romawi.

Mesikupun kontribusi bangsa Romasi pada perkembangan sarana-sarana diplomatik tidak begitu menonjol, tetapi mereka membuat kontribusi yang substansial dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional. Mereka menciptkan beberapa ungkapan seperti ius civile (hukum yang diterapkan pada warga negara Romawi ), ius gentium ( hukum yang diterapkan bagi warga negara Romawi dengan orang asing) dan ius naturale (hukum yang umum bagi seluruh ummat manusia)

Pada mulanya bangsa Romawi memasuki sebuah perjanjian atas dasar asas timbal balik dan Koalisi Latin yang dimulai sebagai koalisi antar partner yang sejajar. Tetapi kemudian ketika Romawi menjadi kuat, mereka mulai mengancam anggota koalisi lain sebagai bawahannya dan prinsip timbal balik dan kesejajaran lenyap. Jadi tak ada Konsep Kesejajaran dalam diplomasi Romawi. Mereka meletakkan tekanan pada sanksi perjanjian. Bangsa Romawi menganggap perjanjian sebagai kontrak hukum dan menekankan kepada kewajiban yang diatur oleh hukum itu. Bangsa Romawi juga mengembangkan sistem yang rumit dalam mengatur peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penerimaan perwakilan asing. Duta Besar yang sedang berkunjung dan stafnya diberi hak imunitas. Apabila ada seorang staf kedutaan yang ketahuan melanggar hukum, ia dikirim kembali ke negara asalnya, sehingga ia bisa diadili di negaranya sesuai dengan hukum negaranya. Setelah kekuasaan Romawi naik dengan pesat, perwakilan asing diperlakukan dengan sedikit kehormatan. Selama periode ini apabila suatu kedutaan datang berkunjung dan sampai di pinggiran kota, personilnya harus menunggu di luar, memberitahukan kehadirannya, dan hanya setelah mendapat persetujuan Senat baru bisa masuk ke Kota Roma. Semuanya ini menunjukan bahwa selama masa jaya Roma tak ada peningkatan yang penting dalam perkembangan Diplomasi. Tetapi harus kita akui bahwa kita berutang pada Romawi untuk asal kita DIPLOMASI.


Referensi

ROY, SL.1991. Diplomasi. Terjemahan Herwanto dan Mirsawati. Jakarta: Rajawali, ISBN 979-421-284-9

Nicholson, Harold.The Evolution Of Diplomatic Method.London.1954.