Tionghoa Benteng

kelompok etnik

Tionghoa Benteng adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang, provinsi Banten.

Pernikahan pada kalangan Tionghoa Benteng.

Sejarah

 
Denah Benteng Tangerang tertanggal 1709

Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan bonteng terdapan pertahanan Belanda di pnlau Jawa. Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.

Warga Tionghoa Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Tionghoa Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri.

Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga Tionghoa Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Pao An Tui, kelompok pemuda Tionghoa Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang selamat ke Batavia.[1] Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Pao An Tui and tentara Kolonial Belanda.

Saat itu, semua etnis Tionghoa Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.

Penggolongan

Orang Tionghoa Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan mereka dari Tiongkok:

Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan Tionghoa Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.

Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwe mereke akan tetap loyal terhadap Tiongkok dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Tionghoa Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda. Tionghoa Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.

Pakaian adat

Pakaian adat suku Tionghoa Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokian) dan pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.

Kontribusi dalam kelangsungan kolonialisme Belanda

Mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan kolinal Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapitein Tionghoa pada era feodalisme tuan tanah di Tangerang, dan mereka sangat loyal terhadap Belanda. Pada saat Jepang menduduki Indonesia, mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah. Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di pulau Jawa, daerah ini baru diserahkan kepada Republik pada tahun 50-an.

Pada tahun 1946, terjadi kerusuhan etnis di Tangerang, Pribumi menuduh Tionghoa berpihak ke Belanda. Terlebih setelah Pao An Tui, tentara Tionghoa Benteng pro-NICA, mengirim tentara dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang selamat ke Batavia. Etnis pribumi pendatang (kebanyakan Jawa dan Madura) beserta beberapa kelompok religius Sunda dan Betawi melakukan peyerangan terhadap orang Tionghoa Benteng karena dianggap terlalu loyal terhadap NICA, akhirnya kerusuhan ini berhasil diredam oleh tentara gabungan NICA dan Pao Au Tui yang membela orang Tionghoa Benteng.

Orang-orang Tionghoa Benteng merasa sangat kehilangan ketika Belanda meninggalkan Tangerang pada tahun 50-an dan menyerahkan kota itu kepada Republik, karena mereka kehilangan pelindung mereka, maka terjadilah penyerangan dan perampasan terhadap orang-orang Tionghoa Benteng, banyak di antara mereka yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin karena harta leluhur mereka dirampas. Orang Tionghoa benteng hidup lebih sejahtera selama pada zaman kolonial belanda daripada setelah Tangerang masuk ke-dalam Republik Indonesia. Di Belanda pun orang Tionghoa Benteng mudah ditemui di antara komunitas tionghoa disana, karena kebanyakan orang tionghoa yg ada di Belanda adalah orang Tionghoa Benteng yang melarikan diri setelah Tentara Pao An Tui mengalami kekalahan melawan tentara republik.

Masa kini

Orang Tionghoa Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap (walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya di Indonesia, mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok. Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran betawi-tionghoa, Cokek yaitu sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan, Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam.

Hal menarik dari Tionghoa Benteng adalah biarpun mereka sudah tidak berbahasa Tionghoa lagi, mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok, ini bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya Dinasti Manchu (Qing), mereka juga mengenakan pakaian gaya Dinasti Manchu seperti Manchu robe dan Manchu hat pada saat menikah. Orang Tionghoa Benteng adalah satu-satu nya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang Manchu, karena hanya orang Tionghoa Benteng yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya Dinasti Manchu setelah Dinasti Qing runtuh pada tahun 1912, di tiongkok sendiri, upacara nikah gaya Dinasti Qing itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan [rujukan?].

Keturunan Dinasti Qing

Sebagian di antara warga Tionghoa Benteng yang bermarga 王 "Wang" (Hokkien: Ong) adalah keturunan dari keluarga kekaisaran Dinasti Qing (clan Manchu Aisin-Giorio atau Aixinjueluo dalam bahasa mandarin). Mereka adalah keturunan dari anak haram hasil hubungan gelap Kaisar Qianlong dengan seorang gadis cantik bermarga Oog di provinsi Fujian. Karena sang Kaisar tidak mau hubungan gelapnya diketahui publik, maka untuk menyembunyikan fakta tersebut, anak hasil hubungan haram tersebut diberi nama marga Wang (王).

王 (Hokkien: Ong) adalah karakter Mandarin untuk "raja", yang digunanakan untuk orang yang merupakan keturunan penguasa, namun tidak pernah berkuasa. Informasi yang salah menyatakan mereka menggunakan marga Ong karena ibu dari anak haram itu juga bermarga Ong, namun sebenarnya ini adalah sebuah kebetulan. Nama marga Wang pertama kali digunakan oleh Keluarga Zi (penguasa Dinasti Shang), kemudian oleh Keluarga Ji (penguasa Dinasti Zhou) saat mereka sudah tidak berkuasa lagi.

Namun tidak semua orang Tionghoa Benteng bermarga Ong adalah keturunan Aixinjueluo. Keturunan Kaisar Qianlong kini mengggunakan nama Indonesia Wangsa Mulya /Wangsa Mulia, untuk membedakan diri dari marga Ong yang lain. Nama Wangsa Mulia sendiri berasal dari bahasa sanskerta, Wangsa (dinasti), dan Mulia (murni) apabila diterjemahkan ke bahasa inggris menjadi "Pure Dynasty". Sedangkan kata "Qing" sendiri berarti "pure". Sehingga secara harafiah Wangsa Mulia dalam Bahasa Sansekerta berarti "Qing Dynasty".

Seiring waktu, kebanyakan orang dari keluarga Wangsa Mulya tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan Dinasti Qing, namun bagimanapun juga darah dan napas Kekaisaran Qing Raya tetap mengalir pada diri mereka. Mereka hidup modern namun memegang teguh sifat ultra-konservatif seperti feodalisme dan anti-feminisme. Informasi terbaru menyatakan mereka mewarisi Ketuantanahan luas yang meluputi daerah yang sekarang adalah sebagian dari BSD dan Gading Serpong.

Sejarah mengenai Tionghoa Benteng dapat dilihat di Museum Benteng Heritage, Pasar Lama, Tangerang.

  1. ^ Donald E. Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958, Equinox Publishing (2009), pp. 38-39