Pesarean Gunung Kawi
Pesarean Gunung Kawi merupakan lokasi pemakaman Eyang Djoego yang menjadi tempat ziarah spiritual hingga ke manca negara. Pesarean ini terletak di kawasan Gunung Kawi, Jawa Timur sehingga dikenal dengan namanya yang sekarang, meskipun desa tempat situs ini berada bernama Wonosari. Situs Pesarean Gunung Kawi terletak di sebelah barat Malang dengan jarak sekitar ± 53 Km dari kota.[1]
Pasarean Gunung Kawi | |
---|---|
Informasi umum | |
Lokasi | Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur |
Alamat | Wonosari, Wonosari, Malang, Jawa Timur |
Ketinggian | 2.860 dpl[1] |
Mulai dibangun | Senin Pahing, 1 Selo 1817 M |
Sejarah
Pembukaan hutan Gunung Kawi
Dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada tahun 1830, sebagian pengikutnya melarikan diri ke Jawa Timur. Eyang Djoego atau Kyai Zakaria yang menjadi penasihat spiritual Pangeran Diponegoro mengungsi ke timur melewati berbagai tempat seperti Pati, Bagelen, Tuban, Kepanjen, hingga akhirnya tiba di Desa Sanan, Kesamben, Blitar sekitar tahun 1840. Ia mendiami suatu dusun yang selanjutnya dikenal sebagai Dusun Jugo (Djoego). Sekitar satu dekade pertama, Eyang Djoego membuka padepokan dan menerima murid yang salah satu diantaranya menjadi putera angkatnya, yaitu Raden Mas Jonet atau Raden Mas Iman Soedjono yang merupakan salah satu senapati Pangeran Diponegoro. Pada dekade kedua, Ki Moeridun dari Warungasem, Pekalongan datang menjadi murid R.M. Iman Soedjono.[2]
Eyang Djoego kemudian memerintahkan R.M. Iman Soedjono dan Ki Moeridun untuk membuka hutan di sebelah selatan Gunung Kawi dan berpesan bahwa ia ingin dimakamkan di sana. Ia juga meramalkan bahwa desa yang akan dibuka tersebut akan ramai serta menjadi tempat pengungsian. Murid-murid Eyang Djoego yang berangkat berjumlah sekitar 40 orang yang diantaranya beretnis Tionghoa. Rombongan dipimpin oleh Mbah Wonosari diiringi 20 orang pengikut dan membawa dua pusaka bernama Kudi Caluk dan Kudi Pecok. Selama perjalanan, rombongan mengalami berbagai peristiwa yang menyebabkan terjadinya pemberian nama berbagai tempat.[2]
- Lokasi ditemukan batu yang dikerumuni semut hingga tumpang tindih menjadi Tumpang Rejo.
- Lokasi pembuatan perapian (Jawa; pawon) dekat pohon Loa Gondang yang tumbuh dekat tanjakan menjadi Dusun Lopawon.
- Lokasi ditemukan gendok (sejenis panci) tembaga menjadi Dusun Gendogo.
- Lokasi ditemukan pohon Bulu yang tumbuh sejajar dengan pohon Nangka dinamai Buluangko (kini Hutan Blangko).
- Lokasi tempat menginap di atas gumuk (bukit kecil) ditanami dua buah kelapa, salah satunya tumbuh bercabang dua sehingga dinamai Klopopang (Jawa= klopo ["kelapa"] dan pang ["bercabang"]).
Dari Klopopang, rombongan membuka hutan ke arah selatan, kemudian ke timur, dan dilanjutkan ke utara hingga Kali Gedong, kemudian ke barat. Para peserta rombongan masing-masing membangun rumah dan sebuah padepokan. Pada padepokan tersebut, semua peserta rombongan berunding untuk memberi nama tempat yang baru saja mereka buka hingga akhirnya disepakati nama Wonosari sesuai nama pemimpin rombongan. Mereka mengutus salah satu pengikut untuk memberi tahu Eyang Djoego bahwa pekerjaan mereka telah selesai. Eyang Djoego berangkat ke Wonosari kemudian memberi petunjuk siapa saja yang menetap dan siapa yang pulang ke Dusun Jugo. Ia juga memberi pesan bahwa ia ingin dimakamkan di atas sebuah gumuk (bukit kecil) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Di antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur, mereka membuat sebuah taman sari (kini dibangun Masjid Agung Iman Soedjono. Eyang Doejogo sendiri kembali ke Dusun Jugo sementara R.M. Iman Soedjono ditugaskan untuk tinggal.[2]
Pendirian Pesarean Gunung Kawi
Eyang Djoego wafat pada hari Senin Pahing, 1 Selo 1817 M. Jenasahnya diberangkatkan dari Dusun Jugo dan di Gumuk Gajah Mungkur pada hari Rabu Wage. Karena sudah malam, jenasah Eyang Jugo dimakamkan pada hari Kamis Kliwon pagi. Oleh sebab itu, setiap hari Senin Pahing diadakan selamatan dan bila bertepatan dengan bulan Selo, peserta selamatan adalah seluruh penduduk desa. Selamatan tersebut dikenal dengan nama Barikan.[2]
Desa Wonosari semakin ramai didatangi orang-orang yang bermaksud menetap. Sekitar tahun 1871-1876, seorang putri Residen Kediri bernama Ny. Schuller datang untuk berobat ke R.M. Iman Soedjono hingga sembuh. Ia tidak pulang lagi ke Kediri hingga R.M. Iman Soedjono wafat pada hari Rabu Kliwon tahun 1876 M. R.M. Iman Soedjono dimakamkan disamping makam Eyang Djoego.[2]
Pemugaran
Pada tahun 1932, Ta Kie Yam atau mpek Yam datang berziarah ke Pesarean Gunung Kawi, tetapi akhirnya tinggal menetap. Ia bersama dengan beberap temannya di Surabaya dan seorang dari Singapura kemudian membangun jalan dari pesarean hingga ke bawah berikut dengan gapura-gapuranya.[2]
Pemekaran wilayah dan pencanangan tempat wisata
Pesarean Gunung Kawi terus berkembang dan diwarnai oleh akulturasi budaya dan agama. Oleh sebab itu, pada tahun 1986, Kecamatan Ngajum dimekarkan sehingga diperoleh kecamatan baru yaitu Kecamatan Wonosari. Pada tahun 2002, pemerintah Kabupaten Malang mencanangkan Desa Wonosari sebagai "Desa Wisata Ritual Gunung Kawi".[1]
Wisata Gunung Kawi
Di sepanjang jalan menuju pesarean terdapat penginapan berupa hotel, losmen, atau rumah penduduk. Selain itu, terdapat banyak rumah makan dan stan-stan penjual bunga dan jajanan lainnya.
Gebyar Ritual 1 Suro
Gebyar Ritual 1 Suro merupakan sebuah perayaan ritual yang dimulai semenjak tahun 2000. Pada acara ini, tumpeng-tumpeng dikirab dari gapura paling bawah (stanplat) hingga pesarean. Tumpeng-tumpeng diletakkan pada jolen atau wadah tumpeng yang dihias berbagai bentuk serta diiringi lagu dan nyanyian bernuansa tradisional Jawa, Islam, China, dan musik modern. Perayaan ditutup dengan pembakaran sangkala yang melambangkan keburukan manusia.[3]
Ziarah spiritual
Air janjam
Air janjam merupakan nama yang digunakan untuk merujuk air yang ditampung pada dua buah guci tanah liat kuno peninggalan Eyang Djoego. Kedua guci tersebut semenjak dulu digunakan untuk menampung air yang digunakan untuk pengobatan.[4]
Pohon dewandaru
Pohon dewandaru ditanam oleh Eyang Djoego untuk melambangkan keamanan pada daerah Wonosari. Para peziarah memiliki kepercayaan untuk menunggu gugurnya buah, daun, atau ranting pohon tersebut untuk digunakan sebagai jimat pemberi kekayaan.[4]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c "Pesarehan Gunung Kawi". Diakses tanggal 1-8-2016.
- ^ a b c d e f "SEJARAH PESAREHAN GUNUNG KAWI". Diakses tanggal 1-8-2016.
- ^ "GEBYAR RITUAL 1 SURO". Diakses tanggal 1-8-2016.
- ^ a b "Hal-Hal Unik di Area Wisata Ritual Gunung Kawi".