Ranggalawe

Prajurit Majapahit

Ranggalawe adalah salah satu pejuang Majapahit yang cukup besar jasanya dalam pendirian kerajaan tersebut. Namun ia meninggal sebagai korban pemberontakan pertama pada tahun 1295.

Nama kecilnya adalah Aria Adikara. Ia putra Aria Wiraraja bupati Sumenep. Nama Ranggalawe merupakan pemberian Raden Wijaya ketika ia datang membantu membuka hutan Terik menjadi sebuah desa yang merupakan cikal-bakal ibu kota Majapahit.

Pada penyerangan ke Kadiri tahun 1293, Ranggalawe memimpin pasukan sayap kanan Majapahit yang menggempur pertahanan utara. Pasukan Kadiri yang dipimpin Sagara Winotan dapat dihancurkannya.

Atas jasa-jasanya itu, Raden Wijaya setelah menjadi raja pertama Majapahit mengangkat Ranggalawe sebagai pasangguhan dwipantara, yaitu semacam jabatan pemimpin kepala daerah di luar ibu kota. Ranggalawe diberi kedudukan di Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu.

Pemberontakan Ranggalawe terjadi tahun 1295, dan menjadi perang saudara pertama di Majapahit. Peristiwa itu dipicu oleh hasutan Mahapati terhadap Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Sora yang dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi.

Mula-mula Ranggalawe menghadap Raden Wijaya di ibu kota menuntut penggantian Nambi oleh Sora. Namun Sora justru tetap mendukung Nambi. Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe berunjuk rasa sambil membuat kekacauan di kraton. Sora keluar menasihati Ranggalawe yang merupakan keponakannya untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.

Tokoh Mahapati ganti menghasut pihak Nambi dengan mengatakan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka berangkatlah Nambi memimpin pasukan atas izin Raden Wijaya menyerang Tuban. Dalam pasukan itu terdapat Sora dan Kebo Anabrang.

Mendengar datangnya serangan dari ibu kota, Ranggalawe segera memimpin pasukan Tuban menghadang di lembah Sungai Tambak-beras. Perang saudara pertama setelah berdirinya Majapahit terjadi di sana. Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang pandai berenang berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.

Melihat keponakannya dianiaya, Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang, rekan sepasukannya sendiri, dari belakang. Perang pun berakhir. Ranggalawe gugur meninggalkan dua orang istri bernama Mertaraga dan Tirtawati, serta seorang putra bernama Kuda Anjampiani.

Pada umumnya sering terjadi kesimpangsiuran atas tahun kematian Ranggalawe. Buku-buku sejarah yang dipergunakan di sekolah biasa menyebutkan pemberontakan Ranggalawe terjadi tahun 1309 atau masa pemerintahan Jayanagara (raja kedua Majapahit). Selain itu juga disebutkan kalau Aria Wiraraja adalah ayah Nambi, bukan ayah Ranggalawe.

Menurut Slamet Muljana, ahli sejarah Indonesia dalam bukunya, Tafsir Sejarah Nagarakretagama, hal di atas tidak benar. Peristiwa Ranggalawe seharusnya terjadi sekitar tahun 1295 karena nama Aria Adikara hanya terdapat dalam prasasti Kudadu tahun 1294. Prasasti tersebut mencantumkan nama Aria Adikara sebagai salah satu dari empat pasangguhan Majapahit, sedangkan prasasti berikutnya yaitu prasasti Penanggungan tahun 1296 hanya tercantum dua orang pasangguhan saja. Nama Aria Adikara dan Aria Wiraraja tidak lagi terdapat dalam daftar pejabat Majapahit. Menurut analisis Slamet Muljana kiranya Aria Adikara telah meninggal, sedangkan Aria Wiraraja mengundurkan diri setelah kematian Ranggalawe. Ini membuktikan dua hal, yaitu kematian Ranggalawe terjadi antara tahun 1294 dan 1296, serta Aria Wiraraja adalah ayah Ranggalawe, bukan ayah Nambi.

Dalam Novel Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto disebutkan bahwa kuda hitam dan umbul-umbul bergambar kuda yang menunjukkan kegagahan Ranggalawe ketika menjadi adipati di wilayah Tuban.