Diakonia Transformatif

Revisi sejak 5 Oktober 2016 13.34 oleh AABot (bicara | kontrib) (Robot: Perubahan kosmetika)

Diakonia Transformatif adalah bentuk diakonia yang gereja lakukan dengan mengembangkan bentuk Diakonia Karitatif dan Diakonia Reformatif.[1]

Paulo Freire, tokoh yang menginspirasi Diakonia Transformatif

Pengertian

Diakonia Transformatif dikenal juga dengan istilah Diakonia Pembebasan.[1] Diakonia transformatif tidak berfokus pada satu individu saja tetapi pada kelompok masyarakat.[1] Diakonia Transformatif mengilhami pemikiran Paulo Freire, yakni mengusahakan penyadaran (konsientasi) dan mendorong rakyat untuk percaya pada diri sendiri melalui pemberdayaan dan pengorganisasian (organizing and empowering people).[1] Maka dari itu, bentuk diakonia ini dilakukan dengan menyadarkan masyarakat mengenai hakikat dirinya sehingga mereka memiliki rasa percaya diri, dan juga memberdayakan masyarakat dengan mengorganisasikan mereka sehingga mereka dapat menghadapi serta melawan ketidakadilan melalui kemampuannya sendiri.[2]

Tujuan Pelayanan

Diakonia Transformatif bertujuan untuk mewujudkan perubahan total dalam fungsi dan penampilan kehidupan bermasyarakat, yakni perubahan yang terjadi dalam seluruh aspek kehidupan manusia (aspek politik, sosial, dan ekonomi), dan juga membebaskan rakyat kecil dari belenggu ketertindasan struktural yang tidak adil.[1] Selain itu, tujuan jangka panjang dari bentuk diakonia seperti ini ialah perubahan sosial budaya (socio-culture transformation) dan politik jangka panjang. [1] Bentuk diakonia seperti ini ditujukan bagi masyarakat yang terdiskriminasi, tersingkirkan, dan terbuang dari tatanan sosial-masyarakat.[3]

Fokus Pelayanan

Fokus pelayanan Diakonia Transformatif ini mengarah pada rakyat yang adalah sumber sejarah.[1] Maka dari itu, konten pelayanannya lebih bersifat preventif (pencegahan), menjunjung tinggi keadilan, mewadahi partisipasi rakyat, menganalisis persoalan kemiskinan dengan kacamata sosial, melakukan penyadaran dan mengorganisasi rakyat. [4] Partisipasi rakyat sangat diperlukan dalam melakukan diakonia seperti ini karena rakyatlah sumber penentu berjalannya transformasi kehidupan.[1] Manfaat dari adanya partisipasi rakyat ialah:[1]

  • Proyek transformasi akan mendarat dan dapat diterima oleh rakyat.
  • Rakyat dengan sukarela akan memberikan sumbangan tenaga dan material karena mereka akan merasakan manfaat langsung dari proyek transformasi.
  • Rakyat akan terbuka pada perubahan serta terlatih dalam mengelola proyek.
  • Rakyat akan bertanggung jawab memelihara dan mengamankan proyek karena merasa ikut memiliki.
  • Pengawasan proyek akan lebih efisien dan efektif.

Partisipasi rakyat dimulai dari sejak awal hingga berhasilnya bentuk diakonia ini terlaksana.[1]

Tugas dan Risiko Pelayanan

Dalam melakukan Diakonia Transformatif ini, gereja memiliki tugas untuk mendampingi, membimbing, mengarahkan dan memberdayakan kemampuan sekelompok masyarakat tertentu.[5] Meskipun seperti itu, pelaksanaan Diakonia Transformatif menuai dampak buruk berupa ragam konflik dan risiko yang tinggi, karena para pelaku diakonia ini harus berjuang melawan sistem yang tidak adil dan kekuasaan yang semena-mena. [6] Selain itu, pelaksanaan diakonia ini memerlukan waktu yang cukup lama karena dalam prosesnya diperlukan pembenahan atas lingkaran sosial yang menyimpang dan yang menyebabkan kekacauan serta ketertindasan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia) Josef P. Widyatmadja. 2010. Yesus dan Wong Cilik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 47-60.
  2. ^ (Indonesia) Jimmy Oentoro. 2010. Gereja Impian: Mejadi Gereja Yang Berpengaruh. Jakarta: Gramedia, 79
  3. ^ (Indonesia) Emmanuel Gerrit Singgih. 2004. Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 29.
  4. ^ (Indonesia) Richard M. Daulay. 2009. Firman Hidup 64. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 64.
  5. ^ (Indonesia) Yosef Lalu. 2007. Katekese Umat. Jakarta: Komisi Kateketik KWI, 78.
  6. ^ (Indonesia) Emmanuel Gerrit Singgih. 2000. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia . Jakarta: BPK Gunung Mulia, 187-188.