Si Misim dan Si Giwang
Si Misim dan Si Giwang adalah dua buah intan besar yang dipersembahkan Panembahan Ratu Sambas yaitu Pangeran Adipati Saboa Tangan sebagai upeti kepada Raja Banjar Islam ke-4 Sultan Mustain Billah alias Raja Marhum Panembahan (1595-1642) yang berkedudukan di Martapura, menurut naskah Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar 1).
Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan :[1]
Kemudian daripada itu datang raja Sambas maaturkan intan dua biji, serta ada barang lain-lain yang ada di Sambas itu diaturkannya tetapi yang tersebutkan intan dua biji. Yang satu rigat sedikit, besarnya seperti buah tanjung, dinamai Si Giwang. Satu besarnya seperti telur burung dara, itu dinamai Si Misim. Pangandika Marhum Panambahan pada raja Sambas: Dipati Sambas, nyawa sudah jangan lagi mahanjurkan upati seperti zaman dahulu kala. Hanya lamun ada aku menyuruh barang yang kukehendaki itu jangan tiada carikan. Maka lamun ada kehendak nyawa barang sesuatu menyuruh ke mari. Sembah raja Sambas: Nugraha sampian itu kaula junjung kaula suhun atas batu kepala kaula. Demikianlah mulanya maka Sambas tiada lagi tiap-tiap tahun maaturkan upati ke Martapura itu. Banyak tiada tersuratkan.[1]
Pada bulan Oktober tahun 1641 intan Si Misim dipersembahkan kepada Sultan Agung, raja Mataram
Pada masa pemerintahan Sultan Banjar ke-4 Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah yang berkuasa tahun 1595-1642, setelah mengutus Kiai Martasura ke Makassar untuk bertemu Karaeng Patinggaloang, maka kira-kira antara tahun 1638-1640, seorang raja Sambas (Saboa Tangan Pangeran Adipati Sambas) telah datang ke Kesultanan Banjar untuk mempersembahkan upeti berupa dua biji intan dan barang-barang lainnya. Intan yang satu ada sedikit bercak kotor ukurannya sebesar buah tanjung dinamakan Si Giwang, sedangkan yang sebuah lagi berukuran sebesar telur burung dara dinamakan Si Misim. Sejak saat itulah Sambas tidak lagi disuruh menyerahkan upeti tiap-tiap tahun, tetapi hanya jika saat-saat Sultan Banjar menyuruh mengirimkan barang yang dikehendakinya maka jangan tidak dicarikan barang tersebut. Selanjutnya intan Si Misim dipersembahkan oleh Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah kepada raja Mataram Sultan Agung[1]. Tahun 1546 raja Demak Sultan Trenggono mangkat. Ia telah berjasa menolong Sultan Suriansyah mendirikan Kesultanan Banjar. Sejak runtuhnya Demak, Sultan Banjarmasin melepaskan diri dan tidak pernah lagi mengirim upeti kepada Kesultan Pajang selaku pemerintahan Jawa berikutnya. Pada masa Sultan Hidayatullah I (ayah Marhum Panembahan), Mataram menyerang Banjarmasin dan menawan putra mahkota Ratu Bagus di Tuban. Sejak itu hubungan Mataram dan Banjarmasin mengalami ketegangan. Namun sejak tahun 1637 hubungan Banjarmasin dan Mataram membaik dan Ratu Bagus dibebaskan dari tawanan. Maka tibalah di pelabuhan Jepara pada bulan Oktober tahun 1641 utusan Marhum Panembahan mengirim persembahan (hadiah/bukan upeti) berupa intan Si Misim (upeti dari raja Sambas dahulu) dan barang lainnya seperti lada, rotan, tudung dan lilin. Sebagai utusan anandanya sendiri yang dilahirkan dari selir seorang Jawa yaitu Pangeran Dipati Tapesana beserta mangkubumi Kiai Tumenggung Raksanagara dan seorang menteri Kiai Narangbaya disertai dua ratus pengiring (menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin) atau lima ratus pengiring menurut sumber Jawa.[2]
.................................................." Putusan Banjar prapta seba mring Mataram ", " Utusan-utusan Banjar mengadakan kunjungan kehormatan pada Mataram ". (Babad Sangkala, tahun Saka 1564 atau tahun 1641/1642 Masehi).*)
Syahdan lagi kemudian daripada itu maka tersebutlah Marhum Panembahan menyuruhkan Pangeran Dipati Tapasana, mengutus ke Mataram - akan menteri yang mengiringkan itu Kiai Tumenggung Raksanagara dan Kiai Narangbaya serta orang mengiringkan itu dua ratus - maaturkan intan yang bernama Si Misim itu serta lawan sahang, paikat, tatudung, lilin itu. Banyak tiada tersuratkan. Maka pergilah maka tiada tersebut lagi dalam perjalanan itu.[1]
Maka tersebutlah orang pergi ke Mataram itu. Sudah datang ke Mataram maka Pangeran Dipati Tapasana menghadap Sultan Mataram maaturkan intan bernama Si Misim itu dengan segala barang itu. Maka sultan Mataram terlalu sukalah kedatangan utusan Marhum Panembahan. Ketika itulah sultan Mataram berkata pada Pangeran Tapasana: "Hai adi, ini aturkan salam doa manira kepada Marhum Panembahan . Jikalau manira atau anak-cucu manira hendak menjahati negeri Martapura itu jangan disampaikan Allah, maka mudah-mudahan dibinasakan Allah Ta'ala. Itulah sumpah manira." maka sahut Pangeran Dipati Tapasana: Hinggih, sandika. Kaula aturkan itu." Maka serta Pangeran Dipati Tapasana , Kiai Tumenggung Raksanagara dan Kiai Narangbaya itu sama dipersalin, lain daripada itu lalamas Jawa kain tapih. Bingkis sultan itu: beras, gula, asam, uyah, bawang habang, bawang putih, minyak. Sudah itu maka Pangeran Tapasana itu amit mantuk , balik ke Martapura. Banyak tiada tersuratkan. Maka datang ke Martapura itu sekaliannya kata sultan Mataram diaturkan oleh Pangeran Dipati Tapasana, dan Kaiai Tumenggung Raksanagara serta bingkis itu kepada Marhum Panembahan. Sudah itu Pangeran tapasna itu dipersalin serta diberi tinariman dilarapkan ialaha dinamai Si Mustika. Dan Kiai Tumenggung Raksanagara dipersalin serta diberi tinariman orang dalem; itu asal Bali, digundik Marhum Panembahan, Si Rasmi namnya. Dan Kiai Narangbaya pun dipersalin jua. Banyak tiada tersuratkan.[1]
Catatan kaki
- ^ a b c d e (Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405.ISBN 983-62-1240-X
- ^ http://suluhbanjar.blogspot.co.id/2010/11/kerajaan-banjar-dalam-dimensi-sejarah.html