Budaya Pamona
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Suku Pamona pada hakekatnya memiliki cukup banyak budaya, diantaranya tentang Kepercayaan (Lamoa), Upacara Panen, Upacara Kematian, Upacara Kelahiran (Katiana), Perkawinan, dan lain-lain. Dari beberapa budaya itu, yang masih bertahan hingga sekarang hanya dua saja yaitu Upacara Panen (Padungku), dan Perkawinan. Budaya Pamona lainnya ditinggalkan karena adanya aturan dari Pemerintah Belanda dan juga disebabkan karena perkembangan Agama Kristen di Wilayah Suku Pamona saat itu.
Adat perkawinan
Adat perkawinan Pamona masih digunakan sampai sekarang di kalangan orang Pamona. Di antaranya mengatur berapa mas kawin (mahar) yang harus ditanggung oleh mempelai lelaki untuk orang tua mempelai perempuan. Di masa sebelum Kekristenan masuk di Tanah Poso, seorang laki-laki memiliki kebebasan untuk memiliki lebih dari satu istri (Poligami) yang disebut Mokaradu. Namun, hal ini hanya terjadi di kalangan kabosenya karena merekalah yang memiliki tingkat ekonomi yang kuat. Seiring dengan masuknya Agama Kristen di Tana Poso, maka budaya Poligami ini mulai dihilangkan.
Dalam tradisi suku Pamona, perkawinan dianggap sah apabila telah menyerahkan mas kawin atau Oli mPorongo. Oli mPorongo terbagi atas dua bagian :
- Sampapitu, yakni tujuh benda yang dapat dihitung menurut satuan barang, dan memiliki nilai magis. Benda tersebut terdiri dari : logam atau keramik sebagai simbol kekuatan, kain atau puya yang berasal dari tumbuhan. Sampapitu tersebut pada tiap subsuku memiliki perbedaan bentuk.
- Pu'u Oli atau Wawo Oli, yakni benda yang dihitung menurut puluhan dan memiliki nilai komersial.
Selanjutnya ada tradisi Posintuwu yang merupakan upaya gotong-royong warga setempat untuk membantu terlaksananya perkawinan tersebut berupa bantuan bahan-bahan makanan, uang, dan sebagainya. Posintuwu pasti akan terus terjaga karena setiap orang yang sudah diberi posintuwu harus membalasnya di kemudian hari kepada pemberi (kalau si pemberi sudah menikah maka dapat diturunkan kepada anak, cucu, dst, dari pemberi). Posintuwu dilakukan bukan hanya pada upacar perkawinan saja, tapi juga pada saat adanya masyarakat yang mengalami duka. Setelah pesta pernikahan dilaksanakan saatnya pemuda-pemudi berpesta dengan diadakannya tarian adat "Dero", tari ini hanya dimainkan ketika acara pernikahan atau acara bergembira lainnya.
Padungku
Setelah panen masyarakat Pamona pasti melaksanakan ucapan syukur pada Tuhan pencipta (Pue mPalaburu) atas berkat kesuksesan panen. Masuknya agama Kristen di Tana Poso menyebabkan pergeseran arah ucapan syukur kepada Tuhan Allah pencipta langit dan bumi. Walaupun masyarakat di sana sebagian bukan petani, tetapi harus tetap melaksanakannya juga sebagai ucapan syukur tahunan. Pada hari Padungku ini semua rakyat dapat saling berkunjung satu sama lain tanpa merasa keberatan. Tidak ada pembatasan untuk siapapun.