Kerajaan Lan Xang

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 14 November 2016 08.37 oleh RXerself (bicara | kontrib)

Kerajaan Lan Xang Hom Khao (bahasa Lao: ລ້ານຊ້າງຮົ່ມຂາວ; /laːn˥˧ saːŋ˥˧ hom˧ khaːw˥/; "Satu Juta Gajah dan Chatra Putih")[note 1] merupakan sebuah kerajaan yang berdiri dai tahun 1354 hingga tahun 1707.

Kerajaan Lan Xang

ລ້ານຊ້າງ
1354–1707
Asia Tenggara kontinental, 1400 Masehi Hijau tua: Lan Xang Ungu: Lan Na Oranye: Sukhothai Ungu tua: Ayutthaya Merah: Khmer Kuning: Champa Biru: Đại Việt
Asia Tenggara kontinental, 1400 Masehi
Hijau tua: Lan Xang
Ungu: Lan Na
Oranye: Sukhothai
Ungu tua: Ayutthaya
Merah: Khmer
Kuning: Champa
Biru: Đại Việt
Ibu kotaLuang Prabang, Vientiane (1560–1707)
Bahasa yang umum digunakanLao
Agama
Budha
PemerintahanKerajaan
Raja 
• 1354–1385
Fa Ngum
• 1373–1416
Samsenethai
• 1548–1571
Setthathirath
• 1637–1694
Sourigna Vongsa
Era SejarahAbad Pertengahan dan Renaisans
• Didirikan oleh Fa Ngum
1354
• Pembagian daerah
1707
Digantikan oleh
krjKerajaan
Luang Prabang
krjKerajaan
Vientiane
krjKerajaan
Champasak
Sekarang bagian dari Laos
 Thailand
 Cambodia
 China
 Myanmar
 Vietnam
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Lan Xang selama tiga setengah abad merupakan salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara. Arti dari nama Kerajaan Lan Xang sendiiri menunjukkan kekuatan dari raja dan tentara kerajaan pada masa-masa awal berdirinya.[1] Lan Xang merupakan negara pendahulu dari negara Laos serta menjadi basis bagi identitas historis dan kebudayaan nasional Laos.[2][3]

Ringkasan sejarah

Asal muasal

Daerah Kerajaan Lan Xang dihuni ole masyarakat suku berbahasa Austroasia yang melahirkan kebudayaan Zaman Perunggu di Ban Chiang (kini Isan, Thailand) dan budaya Đông Sơn, serta masyarakat Zaman Besi di wilayah Dataran Tinggi Xiangkhoang di Dataran Jars, Funan, dan Chenla (kini Vat Phou, Provinsi Champasak). [4] [5][6]

Hikayat tentang perluasan daerah selatan Dinasti Han menjadi sumber primer pertama yang menceritakan masyarakat berbahasa Tai–Kadai atau Ai Lao yang menghuni daerah Yunnan dan Guangxi, China kini. Orang Tai bermigrasi ke selatan pada beberapa gelombang mulai dari abda ke-7 dengan jatuhnya Nanzhao ke tangan Dinasti Han yang mempercepat proses Invasi Mongol di Yunnan (1253–1256) di daerah yang kelak menjadi bagian utara Kerajaan Lan Xang.[7][8]

Bagian utara Lembah Sungai Mekong yang subur dihuni oleh masyarakat budaya Dvaravati yang merupakan rumpun Orang Mon. Kekaisaran Khmer kemudian menduduki wilayah tempat berdirinya Kota Muang Sua (Xieng Dong Xieng Thong, "Kota Pohon Api di Sungai Dong", kini of Luang Prabang).[7][8]

Kekuasaan Kerajaan Sukhothai membawa Muang Sua (Luang Prabang) dan Vieng Chan Vieng Kham (Vientiane) berada di bawah pengaruh Tai.[9] Setelah kematian Raja Ram Khamhaeng dan disertai dengan konflik internal di dalam Kerajaan Lan Na, Vieng Chan Vieng Kham (Vientiane) dan Muang Sua (Luang Prabang) menjadi mandala Lao-Tai merdeka hingga berdrinya Lan Xang pada tahun 1354.[10]

Legenda Khun Borom

Ingatan kultural tentang migrasi awal serta pencampuran pengaru Tai dengan masyarkat pribumi, Mon, dan Khmer terabadikan di dalam mitologi kejadian dan tradisi Lan Xang. Akar kebudayaan, bahsa, dan politik yang menyoroti kesamaan di antara legenda-legenda terdahulu digunakan dalam pengkajian mengenai Lan Xang dan hubungannya dengan kerajaan sekitarnya. Nithan Khun Borum atau "Kisah Khun Borom" menjadi bagian pokok dari kisah kejadian dan merupakan pengantar dalam hikayat Phongsavadan yang dibacakan dengan suara lantang saat acara penting dan perayaan.[11] Sepanjang sejarah Lan Xang, legitimasi terletak pada satu wangsa yaitu Khun Lo, dengan legenda Raja Muang Sua, putra dari Khun Borom.[12][13][14]

Penyerbuan Raja Fa Ngum

Sejarah tradisional Lan Xang bermula pada Tahun Nāga 1319 (naga Mekong sebagai ruh pelindung kerajaan) dengan lahirnya Fa Ngum.[15] Kakek dari Fa Ngum yaitu Souvanna Khampong adalah raja dari Muang Sua sementara ayahnya yaitu Chao Fa Ngiao adalah putra mahkota. Fa Ngum kecil tinggal di Kekaisaran Khmer dan hidup sebagai putra dari Raja Jayavarman IX serta dinikahkan dengan Putri Keo Kang Ya. Pada tahun 1343, Raja Souvanna Khampong mangkat dan persengketaan takhta Muang Sua terjadi.[16]

Fa Ngum memperolehh pasukan yang disebut "Pasukan Sepuluh Ribu" pada tahun 1349 untuk merebut tahta. Kala itu, kejayaan Kekaisaran Khmer sedang menurun (kemungkinan akibat dari wabah pes Maut Hitam ditambah dengan datangnya orang Tai).[16] Kerajaan Lanna dan Sukhothai saat itu juga telah berdiri di daerah bekas keukasaan Khmer sementara kekuasaan Siam meluas ke wilayah Sungai Chao Phraya serta kelak akan menjadi Kerajaan Ayutthaya.[17] Peluang yang dimiliki Khmer adalah untuk membuat negara penyangga di wilaya yang tidak lagi dikuasainya, dan dapat dijaga dengan tentara yang lebih sedikit.

Penyerbuan Fa Ngum bermula di Laos bagian selatan dengan menguasai kota-kota di wilayah sekitar Champasak untuk kemudian bergerak ke utara melewati Thakek dan Kham Muang sepanjang Sungai Mekong. Dari sana Fa Ngum mencari pertolongan dari Vientiane untuk menyerang Muang Sua, namun Vientiane menolak. Akan tetapi, Pangeran Nho dari Muang Phuan (Muang Phoueune) menawarkan bantuannya dan menjadi negara bawahan dari Fa Ngum, yang membantunya dalam menyelesaikan persengketaan di Muang Phuan dan mengamankannya dari Đại Việt. Fa Ngum setuju dan dengan sigap mengerahkan pasukannya untuk menguasai Muang Phuan serta Xam Neua dan beberapa kota di Đại Việt.[18][19]

Đại Việt, khawatir dengan musuhnya di selatan yaitu Champa, mencoba merundingkan batas daerah mereka dengan Fa Ngum. Pegunungan Annamite disetujui sebagai batas kultural dan politik dari kedua negara. Fa Ngum kemudian melanjutkan peperangannya menuju Sip Song Chau Tai, di sepanjang Sungai Merah dan Sungai Hitam, yang banyak dihuni oleh masyarakat Lao. Setelah menguasai kekuatan Lao di wilayah-wilayahnya, Fa Ngum bergerak ke Nam Ou untuk menguasai Muang Sua. Setelah tiga kali serangan, Raja Muang Sua yang merupakan paman dari Fa Ngum, tidak mampu untuk menahan serangan berikutnya dari pasukan Fa Ngum dan lebih rela membunuh dirinya daripada dijadikan tahanan.[18][19]

Fa Ngum naik takhta pada tahun 1353/1354,[20]:225 dan menamai kerajaannya Lan Xang Hom Khao atau "Negeri Seuta Gajah dan Chatra Putih". Fa Ngum melanjutkan usahanya menguasai wilayah di sekitar Sungai Mekong dengan bergerak menuju Sipsong Panna (kini Xishuangbanna Dai) serta ke selatan menuju perbatasan Lanna. Raja Phayu dari Lanna menggalang kekuatan yang mampu ditaklukkan oleh Fa Ngum di Chiang Saen, membuat Lanna memberikan sebagian daerahnya serta beberapa upeti. Setelah berhasil mengamankan daerah kerajaannya, Fa Ngum kembali ke Muang Sua. [18][19]

Uthong, pada tahun 1351, yang merupakan suami dari seorang putri Raja Suphanburi dari Khmer, mendirikan kota Ayutthaya. Sisa-sisa dari Kekaisaran Khmer kini menimbulkan konflik dengan Ayutthaya yang semakin kuat hingga menjadi musuh satu sama lain. Selama dekade 1350-an, Ayutthaya memperluas kekuasaanya di daerah Khmer bagian barat dan Dataran Tinggi Khorat. Pada tahun 1352, Ayutthaya mencoba menyerang Angkor namun tidak berhasil. [21]

Vientiane masih menjadi kota yang kuat dan merdeka sementara pertumbuhan kekuatan Ayutthaya mengancam stabilitas negara-negara sekitarnya. Pada tahun 1356, Fa Ngum bergerak ke selatan untuk menguasai Vientiane sebagai repatriasi kegagalan Vientiane dalam membantu Fa Ngum menguasai Muang Sua. Pada tahun 1357, Fa Ngum menguasai Vientiane dan wilayah di sekitarnya dan bergerak lebih jauh ke selatan untuk menegaskan kendali Lao di daerah yang dikuasai Ayutthaya. Fa Ngum bergerak melintasi Dataran Tinggi Khorat dan mengambil alih kota-kota besar di sepanjang Sungai Mun dan Chi hingga ke daerah Roi Et.[22]


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "note", tapi tidak ditemukan tag <references group="note"/> yang berkaitan

  1. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 43–44.
  2. ^ Simms (1999), hlm. ix-xiii.
  3. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 143–146.
  4. ^ Solheim (1973), hlm. 145-62.
  5. ^ Gorman (1976), hlm. 14–26.
  6. ^ Higham (1996).
  7. ^ a b Simms (1999), hlm. 24–26.
  8. ^ a b Stuart-Fox (2006), hlm. 6.
  9. ^ Wyatt (2003), hlm. 45,51; 33–35.
  10. ^ Wyatt (2003), hlm. 51.
  11. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 22–29.
  12. ^ Stuart-Fox (2006), hlm. 11–15.
  13. ^ Wyatt (2003), hlm. 9–10.
  14. ^ Evans (2009), hlm. 2.
  15. ^ Simms (1999), hlm. 26.
  16. ^ a b Coe (2003).
  17. ^ Wyatt (2003), hlm. 30–49.
  18. ^ a b c Simms (1999), hlm. 30–35.
  19. ^ a b c Stuart-Fox (1998), hlm. 38–43.
  20. ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1. 
  21. ^ Wyatt (2003), hlm. 52.
  22. ^ Simms (1999), hlm. 36.