Kerajaan Lan Xang

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 14 November 2016 12.01 oleh RXerself (bicara | kontrib)

Kerajaan Lan Xang Hom Khao (bahasa Lao: ລ້ານຊ້າງຮົ່ມຂາວ; /laːn˥˧ saːŋ˥˧ hom˧ khaːw˥/; "Satu Juta Gajah dan Chatra Putih")[note 1] merupakan sebuah kerajaan yang berdiri dai tahun 1354 hingga tahun 1707.

Kerajaan Lan Xang

ລ້ານຊ້າງ
1354–1707
Asia Tenggara kontinental, 1400 Masehi Hijau tua: Lan Xang Ungu: Lan Na Oranye: Sukhothai Ungu tua: Ayutthaya Merah: Khmer Kuning: Champa Biru: Đại Việt
Asia Tenggara kontinental, 1400 Masehi
Hijau tua: Lan Xang
Ungu: Lan Na
Oranye: Sukhothai
Ungu tua: Ayutthaya
Merah: Khmer
Kuning: Champa
Biru: Đại Việt
Ibu kotaLuang Prabang, Vientiane (1560–1707)
Bahasa yang umum digunakanLao
Agama
Budha
PemerintahanKerajaan
Raja 
• 1354–1385
Fa Ngum
• 1373–1416
Samsenethai
• 1548–1571
Setthathirath
• 1637–1694
Sourigna Vongsa
Era SejarahAbad Pertengahan dan Renaisans
• Didirikan oleh Fa Ngum
1354
• Pembagian daerah
1707
Digantikan oleh
krjKerajaan
Luang Prabang
krjKerajaan
Vientiane
krjKerajaan
Champasak
Sekarang bagian dari Laos
 Thailand
 Cambodia
 China
 Myanmar
 Vietnam
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Lan Xang selama tiga setengah abad merupakan salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara. Arti dari nama Kerajaan Lan Xang sendiiri menunjukkan kekuatan dari raja dan tentara kerajaan pada masa-masa awal berdirinya.[1] Lan Xang merupakan negara pendahulu dari negara Laos serta menjadi basis bagi identitas historis dan kebudayaan nasional Laos.[2][3]

Sejarah

Asal muasal

Daerah Kerajaan Lan Xang dihuni ole masyarakat suku berbahasa Austroasia yang melahirkan kebudayaan Zaman Perunggu di Ban Chiang (kini Isan, Thailand) dan budaya Đông Sơn, serta masyarakat Zaman Besi di wilayah Dataran Tinggi Xiangkhoang di Dataran Jars, Funan, dan Chenla (kini Vat Phou, Provinsi Champasak). [4] [5][6]

Hikayat tentang perluasan daerah selatan Dinasti Han menjadi sumber primer pertama yang menceritakan masyarakat berbahasa Tai–Kadai atau Ai Lao yang menghuni daerah Yunnan dan Guangxi, China kini. Orang Tai bermigrasi ke selatan pada beberapa gelombang mulai dari abda ke-7 dengan jatuhnya Nanzhao ke tangan Dinasti Han yang mempercepat proses Invasi Mongol di Yunnan (1253–1256) di daerah yang kelak menjadi bagian utara Kerajaan Lan Xang.[7][8]

Bagian utara Lembah Sungai Mekong yang subur dihuni oleh masyarakat budaya Dvaravati yang merupakan rumpun Orang Mon. Kekaisaran Khmer kemudian menduduki wilayah tempat berdirinya Kota Muang Sua (Xieng Dong Xieng Thong, "Kota Pohon Api di Sungai Dong", kini of Luang Prabang).[7][8]

Kekuasaan Kerajaan Sukhothai membawa Muang Sua (Luang Prabang) dan Vieng Chan Vieng Kham (Vientiane) berada di bawah pengaruh Tai.[9] Setelah kematian Raja Ram Khamhaeng dan disertai dengan konflik internal di dalam Kerajaan Lan Na, Vieng Chan Vieng Kham (Vientiane) dan Muang Sua (Luang Prabang) menjadi mandala Lao-Tai merdeka hingga berdrinya Lan Xang pada tahun 1354.[10]

Legenda Khun Borom

Ingatan kultural tentang migrasi awal serta pencampuran pengaru Tai dengan masyarkat pribumi, Mon, dan Khmer terabadikan di dalam mitologi kejadian dan tradisi Lan Xang. Akar kebudayaan, bahsa, dan politik yang menyoroti kesamaan di antara legenda-legenda terdahulu digunakan dalam pengkajian mengenai Lan Xang dan hubungannya dengan kerajaan sekitarnya. Nithan Khun Borum atau "Kisah Khun Borom" menjadi bagian pokok dari kisah kejadian dan merupakan pengantar dalam hikayat Phongsavadan yang dibacakan dengan suara lantang saat acara penting dan perayaan.[11] Sepanjang sejarah Lan Xang, legitimasi terletak pada satu wangsa yaitu Khun Lo, dengan legenda Raja Muang Sua, putra dari Khun Borom.[12][13][14]

Raja Fa Ngum

Sejarah tradisional Lan Xang bermula pada Tahun Nāga 1319 (naga Mekong sebagai ruh pelindung kerajaan) dengan lahirnya Fa Ngum.[15] Kakek dari Fa Ngum yaitu Souvanna Khampong adalah raja dari Muang Sua sementara ayahnya yaitu Chao Fa Ngiao adalah putra mahkota. Fa Ngum kecil tinggal di Kekaisaran Khmer dan hidup sebagai putra dari Raja Jayavarman IX serta dinikahkan dengan Putri Keo Kang Ya. Pada tahun 1343, Raja Souvanna Khampong mangkat dan persengketaan takhta Muang Sua terjadi.[16]

Fa Ngum memperolehh pasukan yang disebut "Pasukan Sepuluh Ribu" pada tahun 1349 untuk merebut tahta. Kala itu, kejayaan Kekaisaran Khmer sedang menurun (kemungkinan akibat dari wabah pes Maut Hitam ditambah dengan datangnya orang Tai).[16] Kerajaan Lanna dan Sukhothai saat itu juga telah berdiri di daerah bekas keukasaan Khmer sementara kekuasaan Siam meluas ke wilayah Sungai Chao Phraya serta kelak akan menjadi Kerajaan Ayutthaya.[17] Peluang yang dimiliki Khmer adalah untuk membuat negara penyangga di wilaya yang tidak lagi dikuasainya, dan dapat dijaga dengan tentara yang lebih sedikit.

Penyerbuan Fa Ngum bermula di Laos bagian selatan dengan menguasai kota-kota di wilayah sekitar Champasak untuk kemudian bergerak ke utara melewati Thakek dan Kham Muang sepanjang Sungai Mekong. Dari sana Fa Ngum mencari pertolongan dari Vientiane untuk menyerang Muang Sua, namun Vientiane menolak. Akan tetapi, Pangeran Nho dari Muang Phuan (Muang Phoueune) menawarkan bantuannya dan menjadi negara bawahan dari Fa Ngum, yang membantunya dalam menyelesaikan persengketaan di Muang Phuan dan mengamankannya dari Đại Việt. Fa Ngum setuju dan dengan sigap mengerahkan pasukannya untuk menguasai Muang Phuan serta Xam Neua dan beberapa kota di Đại Việt.[18][19]

Đại Việt, khawatir dengan musuhnya di selatan yaitu Champa, mencoba merundingkan batas daerah mereka dengan Fa Ngum. Pegunungan Annam disetujui sebagai batas kultural dan politik dari kedua negara. Fa Ngum kemudian melanjutkan peperangannya menuju Sip Song Chau Tai, di sepanjang Sungai Merah dan Sungai Hitam, yang banyak dihuni oleh masyarakat Lao. Setelah menguasai kekuatan Lao di wilayah-wilayahnya, Fa Ngum bergerak ke Nam Ou untuk menguasai Muang Sua. Setelah tiga kali serangan, Raja Muang Sua yang merupakan paman dari Fa Ngum, tidak mampu untuk menahan serangan berikutnya dari pasukan Fa Ngum dan lebih rela membunuh dirinya daripada dijadikan tahanan.[18][19]

Fa Ngum naik takhta pada tahun 1353/1354,[20]:225 dan menamai kerajaannya Lan Xang Hom Khao atau "Negeri Seuta Gajah dan Chatra Putih". Fa Ngum melanjutkan usahanya menguasai wilayah di sekitar Sungai Mekong dengan bergerak menuju Sipsong Panna (kini Xishuangbanna Dai) serta ke selatan menuju perbatasan Lanna. Raja Phayu dari Lanna menggalang kekuatan yang mampu ditaklukkan oleh Fa Ngum di Chiang Saen, membuat Lanna memberikan sebagian daerahnya serta beberapa upeti. Setelah berhasil mengamankan daerah kerajaannya, Fa Ngum kembali ke Muang Sua. [18][19]

Uthong, pada tahun 1351, yang merupakan suami dari seorang putri Raja Suphanburi dari Khmer, mendirikan kota Ayutthaya. Sisa-sisa dari Kekaisaran Khmer kini menimbulkan konflik dengan Ayutthaya yang semakin kuat hingga menjadi musuh satu sama lain. Selama dekade 1350-an, Ayutthaya memperluas kekuasaanya di daerah Khmer bagian barat dan Dataran Tinggi Khorat. Pada tahun 1352, Ayutthaya mencoba menyerang Angkor namun tidak berhasil. [21]

Vientiane masih menjadi kota yang kuat dan merdeka sementara pertumbuhan kekuatan Ayutthaya mengancam stabilitas negara-negara sekitarnya. Pada tahun 1356, Fa Ngum bergerak ke selatan untuk menguasai Vientiane sebagai repatriasi kegagalan Vientiane dalam membantu Fa Ngum menguasai Muang Sua. Pada tahun 1357, Fa Ngum menguasai Vientiane dan wilayah di sekitarnya dan bergerak lebih jauh ke selatan untuk menegaskan kendali Lao di daerah yang dikuasai Ayutthaya. Fa Ngum bergerak melintasi Dataran Tinggi Khorat dan mengambil alih kota-kota besar di sepanjang Sungai Mun dan Chi hingga ke daerah Roi Et.[22]

Ayutthaya, yang telah mengakui kekuasaan Lan Xang di Khorat, ditantang oleh Fa Ngum di Roi Et. Uthong mengirimkan 100 gajah, emas, perak, lebih dari 1.000 helai gading gajah dan menjadikan putri keduanya yaitu Nang Keo Lot Fa sebagai istri kedua Fa Ngum.[22] Pada tahun 1357, Fa Ngum telah mendirikan mandala untuk Kerajaan Lan Xang yang kini terbentang dari Sipsong Panna di perbatasan dengan China, hingga ke selatan di Sambor di Lembah Mekong dan di Pulau Khong, serta dari Pegunungan Annam di timur hingga Dataran Tinggi Khorat di barat. Lan Xang telah menjadi salah satu kerajaan terbesar di sejarah Asia Tenggara.

Perang Gajah Putih

Di tengah-tengah kekacauan Maha Devi tahun 1448, Muang Phuan bersama beberapa wilayah di sekitar Sungai Hitam dikuasai oleh Đại Việt, dengan beberapa pertempuran melawan Lanna terjadi di sepanjang Sungai Nan.[23] Pada tahun 1471, Raja Lê Thánh Tông dari Đại Việt menyerang dan mengancurkan Kerajaan Champa. Pada tahun yang sama pula Muang Phuan memberontak terhadap Đại Việt. Pada tahun 1478, persiapan dilakukan sebagai rencana dalam penyerbuan Lan Xang sebagai repatriasi pemberontakan di Muang Phuan serta alasan yang lebih penting yaitu sebagai balasan dukungan terhadap Dinasti Ming tahun 1421.[24]

Kurang lebih pada waktu yang sama, seekor gajah putih telah ditangkap dan dibawa ke hadapan Raja Chakkaphat. Gajah sebagai lambang kekuasaan raja merupakan hal yang umum di Asia Tenggara dan Lê Thánh Tông meminta agar rambut gajah tersebut dibawa sebagai hadiah untuk Đại Việt. Permintaan tersebut dianggap sebagai sebuah cemoohan sehingga, menurut legenda, yang dikirim adalah sebuah kotak berisi kotoran hewan. Sebagai balasannya, bala tentara Viet berbaris dalam lima jajar untuk menundukkan Muang Phuan, yang bertemu dengan 200.000 infantri dan 2.000 kavaleri gajah Lan Xang yang dipimpin oleh putra mahkota dan tiga jenderal.[24]

Đại Việt dengan susahnya memperoleh kemenangan dan berlanjut ke utara untuk mengancam Muang Sua. Raja Chakkaphat melarikan dirinya ke selatan menuju Vientiane sepanjang Sungai Mekong. Đại Việt mengambil Luang Prabang dan kemudian membagi pasukannya untuk memotong serangan. Sebagian bergerak ke barat mengambil Sipsong Panna dan mengancam Lanna sementara sebagian yang lain bergerak ke selatan menyusuri Sungai Mekong menuju Vientiane. Raja Tilok dan Lanna mengalahkan tentara bagian utara sebagai antisipasi. Sementara itu, pasukan di sekitar Vientiane bergerak di bawah komandi Pangeran Thaen Kham. Pasukan gabungan tersebut berhasil mengalahkan pasukan Đại Việt, yang bergerak menuju Muang Phuan. Walaupun hanya berjumlah 4.000 orang, Đại Việt melakukan upaya balas dendam terakhirnya dengan menghancurkan ibu kota Muang Phuan sebelum mundur.[25]

Pangeran Thaen Kham lalu ditawari untuk mengembalikkan ayahandanya Raja Chakkphat ke atas takhta namun ia menolaknya dan menyerahkan takhta kepada anaknya yang berkuasa sebagai Suvanna Balang (Kursi Emas) pada tahun 1479. Đại Việt kemudian tidak menginvasi Lan Xang selama 200 tahun dan Lanna menjadi sekutu dekat Lan Xang.[26][27]

Raja Visoun

 
Wat Visoun, karya Louis Delaporte lk. 1867

Lan Xang terus melakukan pemulihan dari damapak peperangan dengan Đại Việt, yang mengarah kepada berkembangnya sisi kebudayaan dan perdagangan. Raja Visoun (1500–1520) merupakan penyuka seni dan selama masa kekuasaannya, kesusastraan klasik Lan Xang ditulis.[28] Pendeta dan wihara Budha Theraveda menjadi pusat pembelajaran dan sangha berkembang baik dari segi kebudayaan maupun politik. Nithan Khun Borom (Kisah Khun Borom) ditulis bersama dengan beberapa Kisah Jataka yang menceritakan kehidupan-kehidupan Budha. Tripitaka diterjemahkan dari Pali ke bahasa Lao, serta versi Ramayana atau Pra Lak Pra Lam dalam bahasa Lao juga dibuat.[29]

Selain pupuh, dokumentasi dilakukan mengenai hal pengobatan, astrologi, dan hukum. Musik distandardisasi dengan dan gamelan tradisional kerajaan terbentuk. Raja Visoun juga membangun beberapa kuil atau wat di seluruh negeri. Ia memilih Phra Bang, patung Buddha dalam posisi mudra atau "mengusir rasa takut", sebagai pelindung Lan Xang.[29] Phra Bang sebelumnya adalah pemberian dari Angkor dari mertua Fa Ngum yang dibawa oleh istrinya Keo Kang Ya. Menurut tradisi, patung tersebut dibuat di Sri Lanka, yang merupakan pusat kebudayaan Therevada, dibuat dari thong, campuran emas dan perak.[30][31]

Phra Bang sebelumnya berada di Vientiane, sebagian karena masih kuatnya kepecayaan animisme di Muang Sua.[32] Patung Phra Bang sangat disucikan sehingga nama Muang Sua diganti menjadi Luang Prabang.[note 2] Raja Visoun, putranya Photisarath, dan cucunya Setthathirath, serta cicitnya Nokeo Koumane kelak akan memimpin Lan Xang dalam garis keturunan yang kuat dan mampu untuk menjaga dan mengembalikan kejayaan Lan Xang di tengah masuknya ancaman dari luar di masa depan.

 
Wat Visoun, Luang Prabang

Lanna dan perang melawan Ayutthaya

Raja Photisarath (1520–1550) merupakan salah satu raja termasyhur Lan Xang. Ia menikahi Nang Yot Kham Tip dari Lanna untuk menjadi permaisurinya dan. Ia juga menikahi bangsawan-bangsawan Ayutthaya dan juga Longvek.[33] Photisarath adalah penganut ajaran Budha yang taat. Ia menajadikan agama Budha agama negara di Lan Xang. Pada tahun 1523, ia meminta salinan Tripiṭaka dari Raja Kaeo di Lanna dan pada tahun 1527 ia menghapus praktik pemujaan arwah. Pada tahun 1532, masa damai di Lan Xang berkahir ketika Muang Phuan memberontak. Photisarath membutuhkan dua tahun untuk menekan pemberontakan tersebut.[34][35][36]

Pada tahun 1533, ia memindahkan ibu kota kerajaan ke Vientiane, yang saat itu merupaan ibu kota perdagangan Lan Xang yang berlokasi di sisi Sungai Mekong, ke arah hilir dari ibu kota lama Luang Prabang. Vientiane merupakan kota utama Lan Xang dan berada di perpotongan jalur perdagangan yang membuatnya juga rentan terhadap invasi. Pemindahan tersebut dilakukan Photisarath untuk mengatur negerinya dengan lebih baik dan sebagai penyeimbang terhadap provinsi terluar yang berbatasan dengan Đại Việt, Ayutthaya, serta Burma.[34][35][36]

Pada tahun 1539, ia melakukan ziarah ke Sikhottabong dan membangun That Phanom untuk memperkuat Lan Xang di selatan. Pada tahun yang sama pula, Photisarath menerima suaka seorang bangsawan Thai yang meminta perlindungannya dari Raja Chairacha dari Ayutthaya akibat pemeberontakannya yang gagal. Kejadian tersebut berujung pada serangan penuh terhadap Lan Xang yang mampu dikalahkan di Sala Kham tahun 1540.[34][35][36]

Lanna yang semakin lemah kini memiliki beberapa sengketa takhta selama dekade 1540-an. Invasi datang dari Burma yang diikuti invasi tahun 1545 dari Ayutthaya. Keduanya berhasil dilumpuhkan meskipun banyak desa-desa yang diserang hancur. Lan Xang menurunkan bantuan pasukan untuk mendukung Lanna. Sebagai balasannya, Chairacha memimpin pasukan kedua pada tahun 1547 untuk mengambil Chiang Mai namun ia pasukannya dapat dikalahkan kembali dan dipaksa mundur ke Ayutthaya dengan ia nyaris meninggal dalam proses kembalinya.[37]

Persengketaan takhata di Lanna berlanjut namun karena letak Lanna yang berada di antara negara agresif yaitu Burma dan Ayutthaya, stabilitas dipulihkan kembali. Sebagai hadiah atas bantuannya dalam menghadapi Ayutthaya serta keterikatan keluarganya terhadap Lanna, Raja Photisarath melalui putranya, Pangeran Setthathirath, ditawarkan untuk memangku takhta Lanna. Setthathirath pada 1547 dinobatkan sebagai raja di Chiang Mai. Lan Xang berada di kekuatan politik tertingginya dengan Photisarath sebagai Raja Lan Xang dan putranya yaitu Setthathirath sebagai Raja Lanna. Seperti tercatat di dalam Hikayat Chiang Mai, Setthathirath mengambil kepemilikan Budha Zamrud sebagai pelindung pribadinya (yang kelak menjadi pelindung Vientiane) dan menikahi Putri Nang Thip dan Nang Tonkham.[38]

Kedamaian berakhir ketika pada tahun 1548, Burma menginvasi Ayutthaya namun tidak berhasil merebut ibu kotanya. Pada tahun yang sama, Burma mendekat ke Photisarath dan menawarkan persekutuan. Photisarath menolak tawaran tersebut namun tidak pula mendukung Ayutthaya yang delapan tahun sebelumnya gagal menginvasi Lan Xang. Pada tahun 1550, Photisarath kembali ke Luang Prabang, namun meninggal dalam kecelakaan saat menaiki gajah di depan 15 diplomat negara lain.[39]

Raja Setthathirath dan invasi Burma

 
Patung Raja Sai Setthathirath di Pha That Luang, Vientiane.

Pada tahun 1548, Raja Setthathirath (sebagai Raja Lanna) menjadikan Chiang Saen sebagai ibu kota. Chiang Mai masih memiliki kubu-kubu yang kuat di pemerintahan kerajaan sementara ancaman dari Burma dan Ayutthaya semakin besar. Setelah kematian dini ayahnya, Raja Setthathirath meninggalkan Lanna dengan dua istrinya sebagai wali. Di Lan Xang, Setthathirath dinobatkan sebagai Raja Lan Xang. Kepergian Setthathirath membuat kubu lain di Lanna menobatkan Chao Mekuti sebagai raja pada tahun 1551.[40]

Pada tahun 1553, Setthathirath mengirimkan pasukan untuk merebut Lanna namun dapat digagalkan. Selanjutnya pada tahun 1555, ia mengirim pasukan kembali dengan komando Sen Soulintha dan kini berhasil merebut Chiang Saen. Atas keberhasilannya, Sen Soulintha diberi gelar Luxai (Juara) dan menawarkan salah satu putrinya kepada Raja Setthathirath. Pada tahun 1556, Burma, di bawah Raja Bayinnaung menyerang Lanna. Raja Mekuti menyerah di Chiang Mai tanpa melakukan perlawanan. Burma membuatnya menjadi daerah bawahan dengan kendali militer.[41][42]

Pada tahun 1560, Setthathirath secara resmi memindahkan ibu kota Lan Xang dari Luang Prabang ke Vientiane, yang kelak menjadi ibu kota untuk 250 tahun berikutnya.[43] Pemindahan ibu kota secara resmi diiringi dengan program pembangunan yang besar yang mencakup penguatan pertahanan kota, pembangunan istana resmi dan Haw Phra Kaew untuk Budha Zamrud, serta pemugaran That Luang di Vientiane. Di Luang Prabang, Wat Xieng Thong dibangun kemungkinan sebagai kompensasi pemindahan ibu kota Lan Xang. Sementara itu di Nakhon Phanom, pemugaran diakukan terhadap That Phanom.[44]

Sebua perjanjian ditandatangani antara Lan Xang dan Ayutthaya pada tahun 1563 yang dikokohkan dengan dipinangnya Putri Thepkasattri (putri dari Ratu Suriyothai dari Ayutthaya). Akan tetapi, Raja Maha Chakkraphat mencoba untuk menukarnya dengan Putri Kaeo Fa namun ditolak.[45] Di tengah konflik, Burma menginvasi Ayutthaya bagian utara dengan bantuan Maha Thammaracha, Raja Muda dan Gubernur Phitsanulok. Baru pada tahun 1564, Chakkraphat mengirimkan Putri Thepkasattri ke Lan Xang bersama dengan mas kawin yang besar sebagai upaya untuk memulihkan persekutuan yang telah hancur.[46]

Maha Thammaracha menyerang Thepkasattri dan mengirimnya ke Burma. Thepkasattri melakukan bunuh diri setelah tiba atau saat di perjalanan. Menghadapi pasukan Burma yang lebih kuat, Chakkraphat kehilangan persekutuannya dengan Lan Xang, daerah utara Ayutthaya, dan putrinya. Untuk menghindari serangan lain di masa depan, ia tunduk di bawah Burma dan harus menyerahkan dirinya serta putranya yaitu Pangeran Ramesuan sebagai sandra kepada Raja Bayinnaung, meninggalkan Pangeran Mahinthrathirat sebagai Raja Ayutthaya di bawah Burma.[46]

Burma kemudian melihat ke utara untuk menggulingkan Raja Mekuti dari Lanna, yang tidak mendukung upaya invasi Burma di Ayutthaya tahun 1563.[47][48] Ketika Chiang Mai jatuh ke tangan Burma, sebagaian penduduk mengungsi ke Vientiane dan Lan Xang. Raja Setthathirath yang sadar bahwa Vientiane tidak dapat bertahan jika mengalami pengepungan yang lama, memerintahkan seluruh kota untuk dievakuasi dan dikosongkan dari pasokan perang. Saat Burma berhasil merebut Vientiane, mereka terpaksa mencari pasoka ke desa-desa. Setthathirath telah mengatur serangan-serangan kecil dan gerilya untuk melawan pasukan Burma. Di tengah kelaparan, wabah penyakit, dan organisasi yang kendor, Raja Bayinnaung terpakasa mundur pada tahun 1565, menjadikan Lan Xang sebagai satu-satunya kerajaan orang Tai yang merdeka.[49][50]

Catatan kaki

  1. ^ Variasi latinisasi Lao dari kata Lan Xang di antara lain adalah Lan Sang, Lane Sang, dan Lane Xang. Nama lain Kerajaan Lan Xang di beberapa bahasa adalah sebagai berikut:
    • Myanmar: လင်ဇင်း
    • Kamboja: លានជាង, លានដំរី, or ស្រីសតនាគនហុត
    • Pali: Siri Satanāganahuta
    • Sansekerta: Srī Śatanāganayuta
    • Thai: ล้านช้าง (RTGS: Lan Chang) or ล้านช้างร่มขาว (RTGS: Lan Chang Rom Khao)
    • Vietnam: Vạn Tượng
  2. ^ Luang Prabang: "Bang" dapat diterjemahkan sebagai "kurus/kecil" sehingga Luang Prabang berarti "(Kota) Patung Budha Kurus Kerajaan"

Referensi=

  1. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 43–44.
  2. ^ Simms (1999), hlm. ix-xiii.
  3. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 143–146.
  4. ^ Solheim (1973), hlm. 145-62.
  5. ^ Gorman (1976), hlm. 14–26.
  6. ^ Higham (1996).
  7. ^ a b Simms (1999), hlm. 24–26.
  8. ^ a b Stuart-Fox (2006), hlm. 6.
  9. ^ Wyatt (2003), hlm. 45,51; 33–35.
  10. ^ Wyatt (2003), hlm. 51.
  11. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 22–29.
  12. ^ Stuart-Fox (2006), hlm. 11–15.
  13. ^ Wyatt (2003), hlm. 9–10.
  14. ^ Evans (2009), hlm. 2.
  15. ^ Simms (1999), hlm. 26.
  16. ^ a b Coe (2003).
  17. ^ Wyatt (2003), hlm. 30–49.
  18. ^ a b c Simms (1999), hlm. 30–35.
  19. ^ a b c Stuart-Fox (1998), hlm. 38–43.
  20. ^ Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-0368-1. 
  21. ^ Wyatt (2003), hlm. 52.
  22. ^ a b Simms (1999), hlm. 36.
  23. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 65.
  24. ^ a b Simms (1999), hlm. 51–52.
  25. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 66–67.
  26. ^ Stuart-Fox (2006), hlm. 21–22.
  27. ^ Bush, Elliot & Ray (2011), hlm. 26.
  28. ^ Stuart-Fox (2006), hlm. 22–25.
  29. ^ a b Stuart-Fox (1998), hlm. 74.
  30. ^ Tossa, Nattavong & MacDonald (2008), hlm. 116–117.
  31. ^ Simms (1999), hlm. 37–39.
  32. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 53.
  33. ^ Simms (1999), hlm. 56.
  34. ^ a b c Simms (1999), hlm. 56–61.
  35. ^ a b c Stuart-Fox (1998), hlm. 74–75.
  36. ^ a b c Viravong (1964), hlm. 50–51.
  37. ^ Wyatt (2003), hlm. 78.
  38. ^ Wyatt & Wichienkeeo (1995), hlm. 118–119.
  39. ^ Simms (1999), hlm. 64–68.
  40. ^ Wyatt & Wichienkeeo (1995), hlm. 120–122.
  41. ^ Simms (1999), hlm. 71–73.
  42. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 78.
  43. ^ Simms (1999), hlm. 73.
  44. ^ Stuart-Fox (2006), hlm. 61–72.
  45. ^ Wyatt (2003), hlm. 80.
  46. ^ a b Wyatt (2003), hlm. 81.
  47. ^ Harvey 1925: 167–168
  48. ^ Maha Yazawin Vol. 2 2006: 266–268
  49. ^ Simms (1999), hlm. 73–75.
  50. ^ Stuart-Fox (1998), hlm. 81–82.