Batavia (pelafalan dalam bahasa Belanda: [baːˈtaːviaː] ) adalah sebuah kapal milik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang dikerjakan di Amsterdam pada 1628, dipersenjatai 24 pucuk meriam dari besi tuang dan beberapa pucuk meriam perunggu, kandas pada pelayaran perdananya, dan menjadi terkenal karena peristiwa dahagi dan pembantaian para penyintasnya.

Sejarah
Republik Belanda
Nama Batavia
Asal nama Pemukiman Batavia
Pemilik
Selesai 1628
Nasib Kandas di Houtman Abrolhos pada 4 Juni 1629
Ciri-ciri umum
Tonase 650 ton
Berat benaman Ca. 1200 ton
Panjang 566 m (1.857 ft)
Lebar 105 m (344 ft)
Tinggi 55 m (180 ft)
Daya muat 51 m (167 ft)
Pendorong Layar (1180 m2)
Awak 341 pria (termasuk penumpang)
Senjata 24 meriam besi tuang

Sebuah replika abad ke-20 dari kapal ini, yang juga diberi nama Batavia, dapat dikunjungi di Lelystad, Belanda.

Dahagi di atas Batavia

Keberangkatan dan pelayaran

Pada 27 Oktober 1628, Batavia yang baru saja rampung dikerjakan atas pesanan Vereenigde Oostindische Compagnie, bertolak dari Texel[1] menuju Hindia Timur Belanda, untuk mengangkut rempah-rempah. Pelayaran dipimpin oleh commandeur sekaligus opperkoopman (saudagar senior) Francisco Pelsaert, dengan Ariaen Jacobsz selaku schipper. Dua orang ini sebelumnya sudah pernah bertemu di Surat, India. Meskipun keduanya pernah berseteru di sana, tidak diketahui apakah Pelsaert masih ingat pada Jacobsz ketika naik ke atas Batavia. Bersama mereka ikut pula menumpang onderkoopman (saudagar junior) Jeronimus Cornelisz, seorang farmakolog bangkrut (alias apoteker sesat [2]) dari Haarlem yang sedang berusaha melarikan diri dari Belanda, menghindari penangkapan atas dirinya karena mengikuti ajaran sesat yang dikait-kaitkan dengan pelukis Johannes van der Beeck, alias Torrentius.

Dalam pelayaran itu, Jacobsz dan Cornelisz berkomplot untuk merebut kapal, sehingga dapat merintis kehidupan yang baru di tempat lain, dengan memanfaatkan persediaan emas dan perak yang ada di atas kapal. Setelah bertolak dari Tanjung Harapan, yang mereka singgahi untuk memasok perbekalan, Jacobsz dengan sengaja mengemudikan kapal menyimpang dari tujuan, menjauh dari keseluruhan armada. Jacobsz dan Cornelisz telah bersekongkol dengan beberapa awak kapal dan mulai merekayasa sebuah insiden sebagai pemicu dahagi. Rekayasa jahat ini meliputi perundungan seksual terhadap seorang penumpang wanita muda kelas atas, Lucretia Jans, dengan tujuan memprovokasi Pelsaert untuk mendisiplinkan awak kapal. Mereka berencana memperalat tindakan pendisiplinan itu dengan membuatnya tampak sebagai suatu bentuk ketidakadilan, guna menarik simpati awak kapal dan mendapatkan tambahan anggota. Akan tetapi, wanita itu dapat mengenali penyerangnya.[3] Para pendahagi terpaksa menunggu sampai Pelsaert memerintahkan penangkapan, namun ia tidak kunjung mengambil tindakan, karena sedang mengidap penyakit yang tidak diketahui namanya.

Terdampar

 
 

Lokasi kandas Batavia

Pada 4 Juni 1629 kapal melanggar Terumbu Morning Reef dekat Pulau Beacon (28°29′25″S 113°47′36″E / 28.49028°S 113.79333°E / -28.49028; 113.79333Koordinat: 28°29′25″S 113°47′36″E / 28.49028°S 113.79333°E / -28.49028; 113.79333), bagian dari Kepulauan Houtman Abrolhos di lepas pantai Australia Barat.[1] Dari keseluruhan 322 orang yang ikut dalam pelayaran, sebagian besar penumpang dan awak kapal berhasil mencapai pantai, sementara 40 orang tenggelam. Para penyintas, termasuk wanita dan kanak-kanak, selanjutnya diungsikan ke kepulauan terdekat dengan menggunakan sekoci dan sekoci layar kapal. Pemantauan awal atas kepulauan itu tidak berhasil menemukan air tawar dan hanya mendapatkan sedikit bahan makanan (singa laut dan burung). Pelsaert menyadari gentingnya situasi dan memutuskan untuk mencari air tawar di pulau terbesar.

Sebuah kelompok yang terdiri atas Kapten Jacobsz, Francisco Pelsaert, perwira-perwira kapal senior, beberapa awak kapal, dan beberapa penumpang bertolak meninggalkan lokasi kandas dengan sebuah sekoci panjang (juga sudah dibuat replikanya) berukuran 30-ft (9.1 m), guna mencari air minum. Setelah gagal menemukan sumber air di pulau terbesar, mereka meninggalkan para penyintas lainnya dan berlayar ke utara menentang bahaya menuju kota Batavia (sekarang Jakarta). Pelayaran yang tercatat sebagai salah satu bukti kepiawaian bernavigasi dengan kapal terbuka ini menghabiskan masa 33 hari, dan yang luar biasa adalah seluruh penumpangnya selamat.

Sesampainya di Batavia, serang kapal, seorang pria bernama Jan Evertsz, ditahan dan dihukum mati atas dakwaan lalai dalam tugas dan "berperilaku tidak senonoh" sebelum kapal kandas (ia dicurigai ikut berkomplot). Jacobsz juga ditahan atas dakwaan lalai dalam tugas, meskipun keterlibatannya dalam rencana dahagi sama sekali di luar dugaan Pelsaert.

Gubernur Jenderal Batavia, Jan Coen, segera memberi kuasa kepada Pelsaert untuk memimpin pelayaran Sardam guna menyelamatkan para penyintas lainnya, serta berusaha menyelamatkan harta-kekayaan yang masih tersimpan di bangkai kapal Batavia. Ia tiba di kepulauan Wallabi dua bulan sejak bertolak dari Batavia, dan mendapati bahwa telah terjadi peristiwa dahagi berdarah di antara para penyintas yang mengakibatkan jumlah mereka berkurang sekitar seratus orang.

Pembunuhan

 
Gambar pelat dari Ongeluckige voyagie van 't schip Batavia (1647)

Jeronimus Cornelisz, yang diberi kuasa untuk memimpin para penyintas, sepenuhnya sadar bahwa andaikata rombongan yang dipimpinnya sampai ke bandar Batavia, Pelsaert akan melaporkan rencana dahagi yang batal berlangsung di atas kapal, sehingga keterlibatannya dalam rencana jahat itu mungkin saja terungkap. Oleh karena itu, berencana membajak kapal penyelamat manapun yang datang ke tempat itu kemudian memanfaatkannya untuk mencari tempat tinggal yang aman. Cornelisz bahkan sudah menyusun rencana jangka panjang untuk mendirikan sebuah kerajaan baru, dengan menggunakan emas dan perak dari bangkai kapal Batavia. Akan tetapi untuk melaksanakan rencananya, pertama-tama ia harus menyingkirkan orang-orang yang mungkin akan menentangnya.[4]

Tindakan pertama yang dilakukan Cornelisz adalah menyita seluruh senjata dan perbekalan untuk ia kendalikan sendiri. Selanjutnya ia memindahkan sekelompok serdadu, dipimpin oleh Wiebbe Hayes, ke pulau West Wallabi, dengan alasan untuk mencari air. Mereka disuruh menyalakan api unggun untuk mengirimkan sinyal asap bilamana berhasil mendapatkan air dan selanjutnya akan dijemput.[4] Yakin bahwa mereka tidak akan berhasil, ia pun meninggalkan mereka untuk mati di pulau itu.

Cornelisz pun berhasil memegang kendali penuh. Para penyintas selebihnya harus menjalani dua bulan penuh pembantaian dan kekejaman.

Bersama-sama sekelompok pengikut setia yang terdiri atas beberapa pemuda beringas, Cornelisz mulai secara sistematis membunuh siapa saja yang ia yakini sebagai ancaman bagi rezim terornya, atau pun yang dianggap membebani sumber-sumber daya mereka yang terbatas. Para pendahagi semakin gemar membunuh, dan tak seorang pun mampu menghalangi mereka. Alasan-alasan sepele dapat menyebabkan mereka menenggelamkan, menghantam, mencekik, atau pun menikam korban-korban mereka, termasuk wanita dan kanak-kanak.[4]

Cornelisz sendiri tidak melakukan pembunuhan, meskipun ia pernah mencoba namun gagal meracuni seorang bayi (yang akhirnya mati dicekik). Ia justru dengan cerdik memanas-manasi orang lain untuk melakukan pembunuhan demi kepentingannya, pertama-tama dengan berdusta bahwa si korban telah melakukan kejahatan seperti mencuri. Akhirnya para pendahagi pun mulai membunuh demi kesenangan belaka, atau hanya karena sedang bosan. Ia berencana untuk menyusutkan jumlah populasi pulau itu hingga tersisa 45 orang saja sehingga perbekalan mereka dapat bertahan selama mungkin. Secara keseluruhan, para pengikutnya telah membunuh sekurang-kurangnya 110 orang laki-laki, perempuan, dan kanak-kanak.

Penyelamatan

Meskipun Cornelisz telah menelantarkan para serdadu, yang dipimpin Wiebbe Hayes, untuk mati, mereka justru berhasil menemukan sumber air dan makanan yang cukup di pulau yang mereka tinggali. Awalnya mereka tidak tahu akan peristiwa barbar yang telah terjadi di pulau seberang dan mengirim pesan asap untuk mengabarkan penemuan mereka. Akan tetapi mereka pun akhirnya mendapat laporan mengenai peristiwa pembantaian itu dari para penyintas yang berhasil melarikan diri dari pulau yang ditempati Cornelisz. Menanggapi laporan tersebut, para serdadu segera membuat senjata-senjata sederhana berbahan baku barang-barang dari bangkai kapal yang terbawa arus ke pulau mereka. Mereka juga melaksanakan tugas jaga secara bergilir agar selalu siap-sedia menghadapi para pendahagi, dan membangun sebuah benteng kecil dari batu gamping dan bongkahan karang.

Cornelisz menangkap sinyal asap para serdadu yang mengabarkan ketersediaan air di pulau seberang, sementara persediaannya sendiri semakin menipis dan selamatnya para serdadu merupakan ancaman bagi keberhasilan rencananya. Ia pun bertolak bersama para pengikutnya untuk menaklukkan para serdadu yang ditelantarkannya di Pulau West Wallabi. Akan tetapi para serdadu , yang jauh lebih kenyang perutnya dibanding para pendahagi, dengan mudah mengalahkan mereka dalam beberapa kali pertempuran, dan akhirnya berhasil menyandera Cornelisz. Para pendahagi yang berhasil lolos bersatu kembali di bawah pimpinan seorang pria bernama Wouter Loos dan kembali menyerang. Kali ini dengan menggunakan senapan-senapan lontak, mereka datang mengepung benteng Hayes dan nyaris berhasil mengalahkan para serdadu.

Tetapi para bawahan Wiebbe Hayes sekali lagi berjaya mengalahkan para pendahagi, bersamaan dengan tibanya Pelsaert. Para pengikut Cornelisz dan para serdadu berlomba-lomba mencapai kapal lebih dahulu. Wiebbe Hayes berhasil lebih dahulu naik ke kapal dan membeberkan kisahnya kepada Pelsaert. Setelah melewati sebuah pertempuran singkat, gabungan kekuatan tempur di kapal dan para serdadu Batavia berhasil membekuk seluruh pendahagi.

Kesudahan peristiwa

 
Hukuman gantung di Long Island sebagaimana yang diilustrasikan dalam buku Ongeluckige Voyagie karya Lucas de Vries edisi 1649.

Pelsaert memutuskan untuk melaksanakan sidang pengadilan di pulau itu, sebab Saardam dalam pelayarannya kembali ke Batavia akan terlalu penuh disesaki para penyintas dan tahanan. Seusai sebuah persidangan singkat, para terpidana yang paling berat kejahatannya dibawa ke Pulau Seal dan dihukum mati. Cornelisz dan beberapa pendahagi utama dipotong kedua tangannya sebelum dihukum gantung.[5] Wouter Loos dan seorang bujang kabin, yang dianggap lebih ringan kejahatannya, ditinggalkan telantar di daratan Australia, dan tidak pernah lagi terdengar khabarnya. Laporan-laporan warga pendatang dari Inggris di kemudian hari tentang keberadaan orang-orang Aborigin berkulit terang yang tidak lazim di daerah itu telah menimbulkan dugaan bahwa kedua orang itu mungkin diadopsi oleh suku Aborigin setempat. Beberapa warga suku Amangu di daratan Australia memiliki golongan darah yang khas Leiden, Belanda.[6] Meskipun demikian, sejumlah besar penyintas kapal kandas berkebangsaan Eropa, misalnya para penyintas dari kapal Zuytdorp yang kandas di daerah yang sama pada 1712, mungkin pula pernah menjalin kontak serupa dengan pribumi setempat.

Para pendahagi selebihnya diberangkatkan ke Batavia untuk diadili. Lima orang dihukum gantung dan beberapa orang lainnya dihukum dera. Wakil Cornelisz, Jacop Pietersz, diremukkan badannya di roda hukuman, hukum paling berat kala itu.

Nakhoda Jacobsz, meskipun disiksa, tidak mengakui keterlibatannya dalam perencanaan dahagi dan luput dari hukuman mati karena kurang bukti. Kelanjutan nasibnya tidak diketahui. Diduga ia meninggal dalam penjara di Batavia.

Dewan penyidik yang memeriksa Pelsaert memutuskan bahwa ia telah bersikap kurang tegas dan oleh karena itu patut bertanggung jawab atas peristiwa yang telah terjadi. Aset-aset finansialnya disita, dan ia meninggal dunia dalam keadaan bangkrut setahun kemudian.

Di lain pihak, Wiebbe Hayes yang hanya seorang serdadu biasa justru dielu-elukan sebagai seorang pahlawan. Kompeni Belanda mempromosikan kenaikan pangkatnya menjadi sersan, dan kelak menjadi letnan, sehingga jumlah gajinya melonjak sampai lima kali lipat.

Dari keseluruhan 341 orang yang berangkat dengan Batavia, hanya 68 orang yang selamat sampai ke bandar Batavia.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ a b "Registration Information for: Batavia". The Department of Maritime Archaeology Online Databases. Western Australian Museum. Diakses tanggal 11 September 2007. 
  2. ^ BBC History Magazine; Jilid 3, No. 7, hal. 70
  3. ^ "VOC ship Batavia". Voc.iinet.net.au. Diakses tanggal 2011-03-27. 
  4. ^ a b c "Batavia's Graveyard". Houtman Albrolhos. Perth: VOC Historical Society. 2008. Diakses tanggal 31 December 2009. 
  5. ^ Templat:Kimberly 1897 hal. 10
  6. ^ McConnell, R. B. (May 1963). "Associations and linkage in human genetics". The American Journal of Medicine. 34 (5): 692–701. doi:10.1016/0002-9343(63)90108-6. 

Referensi

  • Balkan, Evan. Shipwrecked! Deadly Adventures and Disasters at Sea. Birmingham, AL: Menasha Ridge, 2008, hal. 68–78
  • Crew, Gary. Strange Objects Port Melbourne, Vic.: Mammoth Australia, 1991. ISBN 1-86330-113-5
  • Dash, Mike. Batavia's graveyard London: Weidenfeld & Nicolson, 2002. ISBN 0-575-07024-2
  • Drake-Brockman, Henrietta. Voyage to Disaster (edisi baru dengan kata pengantar yang baru) Western Australia: University of Western Australia Press, 1995. ISBN 1-875560-32-7
  • Edge, Arabella. The company : the story of a murderer Sydney: Picador, 2000 ISBN 0-330-48978-X
  • Edwards, Hugh, Islands of angry ghosts London: Hodder & Stoughton, 1966
  • Gerritsen, Rupert, And their Ghosts May Be Heard 1994, Fremantle Arts Centre Press ISBN 1-86368-063-2
  • Godard, Philippe. The first and last voyage of the Batavia (memuat kontribusi dari Phillida Stephens.) Perth, WA: Abrolhos Publishing 1993. ISBN 0-646-10519-1
  • Lisson, Deborah.The devil's own Port Melbourne, Vic: Lothian, 2000.(Edisi pertama: Glebe, NSW: Walter McVitty, 1990) ISBN 0-7344-0128-0
  • Leys, Simon The Wreck of the Batavia & Prosper Melbourne: Black Inc., 2005. ISBN 1-86395-150-4

Pranala luar