Kristoforus Sindhunata

Revisi sejak 29 Desember 2016 18.48 oleh 182.253.163.52 (bicara) (ringkasan suntingan dihapus)

Kristoforus Sindhunata lahir dengan nama Ong Tjong Hay (20 Maret 1933 – 16 Agustus 2005) adalah seorang tokoh pembauran Indonesia. Namanya tampaknya tidak bisa dipisahkan dari gerakan asimilasi atau pembauran keturunan Tionghoa di Indonesia. Ia belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan mengikuti pendidikan wajib militer ALRI pada tahun 1962 dan terakhir berpangkat mayor Angkatan Laut.

Sindhunata aktif berorganisasi dan pernah menjadi Wakil Ketua PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Ia pun ikut mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Trisakti. Ia meninggal dunia di Jakarta pada 16 Agustus 2005.

Dalam aktivitasnya, Sindhunata mengatakan "Pembauran keturunan Tionghoa di Indonesia harus dipercepat, agar tidak ada lagi hal-hal yang eksplosif dalam masyarakat." Salah satu upaya pembauran yang paling tepat dan cepat, menurut Sindhunata, adalah melalui perkawinan, "karena selain saling mencintai, prosesnya wajar dan alami."

Sindhunata pun melihat kesempatan menjadi militer sebagai proses untuk menanamkan semangat nasionalisme yang paling kuat. "Bila setiap keturunan Cina diberi kesempatan mengalami dinas militer," katanya, "proses pembauran akan lebih lancar."

Sindhunata menjadi ketua Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa). Pada Seminar Angkatan Darat ke-2 di Lembang, Jawa Barat, tahun 1966 yang membahas masalah keturunan Tionghoa di Indonesia, Sindhunata diminta memilih dari dua istilah, "Cina" atau Tionghoa, ia menganjurkan penggunaan istilah "Cina". Ia juga mengaku bahwa ia bersama kelompoknya, para penganjur asimilasi di Indonesia, adalah konseptor Inpres 14/1967 yang melarang kebudayaan, adat-istiadat dan tradisi Tionghoa diselenggarakan di tempat terbuka.

Sindhunata yang aktif dalam perpolitikan Indonesia pernah menjadi anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Amanat Nasional, namun pada Januari 2001 ia bersama 15 orang pengurus DPP PAN mengundurkan diri karena merasa partai itu tidak sejalan dengan reformasi yang dicetuskan rakyat Indonesia pada 1998.

Sindhunata aktif dalam mengembangkan hubungan persahabatan antar-negara dan pada tahun 1983, wakil ketua Perhimpunan Indonesia-Perancis ini dianugerahi medali kehormatan Perancis Chevalier de l'Ordre National du Merite, oleh pemerintah Perancis.

Kritik

Bagi masyarakat Tionghoa yang mementingkan kesinambungan nama keluarga dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia, Sindhunata dianggap pengkhianat Tionghoa. Setidaknya ia dianggap sesat karena kebodohan.[butuh rujukan]

Banyak keluarga Tionghoa yang tetap memakai marga meraka di kalangan Tionghoa dan hanya memakai nama Indonesia ketika harus berkomunikasi dengan kalangan lain.

Ada juga yang mengganti namanya kembali ke marga Tionghoa setelah Reformasi.

Secara umum, orang-orang Tionghoa di Indonesia yang ber-agama Kristen menolak untuk menggunakan nama Tionghoa, dan menolak mengikuti tata-krama, adat istiadat, dan budaya Tionghoa.

Terdapat kesenjangan komunikasi di antara orang-orang Tionghoa Non-Kristen dengan orang-orang Tionghoa Kristen.

Kristoforus Sindhunata adalah seorang Kristen-Katholik yang sangat fanatik. Pada tahun 1960-an terjadi revolusi sosial di Tiongkok, salah satu korbannya adalah Kristen.

Terdapat dugaan kuat bahwa segala tindakannya untuk melarang, dan menghapuskan budaya, adat istiadat, dan bahasa Tionghoa di Indonesia, didasarkan dengan rasa balas dendam, dan kefanatikan atas agama.[butuh rujukan]

Sebagai akibat dari banyaknya sekolah-sekolah Tionghoa yang ditutup pemerintah, maka mau tidak mau, orang-orang Tionghoa menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah Kristen. Ada yang berpendapat bahwa ini merupakan salah satu tujuan dari Kristoforus Sindhunata untuk meng-Kristen-kan orang-orang Tionghoa di Indonesia.

Pranala luar