Ignatius Sandyawan Sumardi

Ignatius Sandyawan Sumardi SJ, akrab dipanggil dengan Romo Sandy, dikenal juga dengan julukan "Romo Pemulung", bernama kecil Kuncoro. Lahir tanggal 23 November 1958 di Jeneponto, Sulawesi Selatan dan besar di Makassar.

Biografi

Sandyawan merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara keluarga Andreas Sumardi (pensiunan Letnan Satu Polisi) dan Suzana.

Menjelang usia sekolah, ia mengikuti keluarganya pindah ke Banjarnegara, Jawa Tengah. Di kota inilah Sandyawan menamatkan sekolah dasarnya. Baru saja duduk di bangku SMP, ayahnya dipindahkan lagi ke Bantul. Akhirnya, di sinilah ia menamatkan SMP.

Selepas SMP, atas pilihannya sendiri, Sandyawan meneruskan pelajarannya ke Seminari Mertoyudan, Magelang. Tamat dari Mertoyudan, ia pun memutuskan masuk Seminari Tinggi di Yogyakarta.

Atas kegiatannya menyertai mereka yang dimarjinalkan, pastor Yesuit yang ditahbiskan tahun 1988 ini, sering berhadapan dengan aparat keamanan. Ia pernah ditahan di Kodim Jakarta Timur, dilempar kursi oleh aparat saat membantu masyarakat Pedongkelan yang digusur dan rumah-rumahnya dibakar. Ketika di Yogyakarta, ia membina tukang-tukang becak dan membantu budayawan dan rohaniwan YB Mangunwijaya Pr mendampingi masyarakat yang tergusur karena tanahnya akan digunakan untuk waduk Kedung Ombo.

Aktivitas dan Kegiatan

  • 1980an

Interaksi Sandyawan dengan kehidupan masyarakat kecil semakin kongkrit saat ia menjalani masa pendidikan di Seminari Tinggi Yogyakarta, pertengahan 1980-an. Setiap kali masa liburan sekolah datang, ia selalu minta ijin kepada Pastor Provinsial Serikat Jesus, untuk mendapatkan tugas mendalami kehidupan kaum miskin, yang tersisih dari proses pembangunan. Caranya berbaur juga unik, yaitu dengan menyamar sehingga kelompok sasarannya tidak mengetahui statusnya sebagai rohaniwan.

Penyamaran pertamanya adalah sebagai buruh pabrik gula di Kendal, Jawa Tengah. Di sana, selama sebulan penuh, Sandyawan bekerja sebagaimana layaknya seorang buruh pabrik gula: mengangkat tebu ke truk dan lori, lalu memisah-misahkan akar, batang, dan klaras tebu untuk diolah di pabrik. Pada musim liburan berikutnya, ia kembali menyamar sebagai buruh tani di sebuah desa di Wonosari.

Sandyawan juga berbaur dengan para buruh pabrik di kawasan Jakarta Timur, seperti Cibubur, Ciracas, dan Cijantung. Yang paling lama, dua bulan lebih, adalah di sebuah pabrik susu di kawasan Cijantung. Selama menyamar inilah ia banyak berbicara dengan para buruh tentang masalah-masalah perburuhan yang dihadapi.

Di sela masa sekolah teologinya itu pula, Sandyawan pernah menjadi koordinator perkampungan sosial di Pingit, Yogyakarta. Di sini ia mendampingi para keluarga gelandangan yang biasa berkeliaran di kawasan Malioboro. Bersama beberapa temannya, Sandyawan juga membantu Romo Mangunwijaya mendampingi masyarakat Kedungombo yang tanahnya digusur untuk pembangunan waduk.

  • 1988

Tahun 1988 Sandyawan ditahbiskan menjadi Pastor.

  • 1989

Setahun setelah ditahbiskan, Sandyawan pun bergabung dengan Institut Sosial Jakarta (ISJ). LSM yang didirikan pada 1985 oleh beberapa rohaniawan Katolik itu semula bernama Biro Konsultasi Ketenagakerjaan. Kegiatannya, semula juga terbatas pada pendampingan buruh-buruh pabrik yang menghadapi masalah-masalah dalam pekerjaannya. Tak lama kemudian, Sandyawan pun diserahi tanggungjawab sebagai Direktur Pelaksana.

Kaum pemulung dan anak-anak jalanan merupakan kelompok sasaran yang diutamakan Romo Sandyawan dan ISJ. Perhatian kepada kaum pemulung, terutama tampak dari pendidikan keterampilan dan dasar (menulis dan membaca) bagi para pemulung dan anak-anaknya yang diberikan secara rutin.

Sandyawan juga pernah berurusan dengan aparat keamanan, yaitu saat maraknya pembersihan becak di akhir 1980-an. Bahkan, ia sempat ditahan beberapa hari di Kodim Jakarta Timur, karena dituduh mengkoordinasi aksi perlawanan para tukang becak di Jakarta. Selama dua hari dua malam ia dimintai keterangan tentang soal itu. Memang, ketika itu Sandyawan sempat mengumpulkan ratusan tukang becak untuk mengadukan masalah mereka ke DPR. Sebuah pertemuan para tukang becak yang dipimpinnya sempat dikepung aparat keamanan.

  • 1991

Pendampingan dan pembelaan terhadap kaum pinggiran itu kerap mengundang resiko. Ia dan para aktivis ISJ lainnya sering berurusan dengan aparat keamanan, akibat 'ulah' kaum pinggiran yang pernah dibantunya. Ketika ada pemogokan buruh besar-besaran di PT Gajah Tunggal tahun 1991, misalnya, Sandyawan disantroni petugas, karena beberapa diantara pemimpin buruh yang memimpin aksi mogok itu adalah alumni program pendidikan kesadaran hukum yang dilakukan ISJ.

  • 1996

Keterlibatan Sandyawan dalam pembelaan dan penegakan hak asasi manusia berlanjut melalui perannya sebagai Sekretaris Tim Relawan Penanganan Korban Kerusuhan 27 Juli. Dia lah salah seorang pemrakarsa pembentukan tim yang bertugas mengkoordinasi pemberian advokasi dan pencarian informasi mengenai korban kerusuhan massal yang berawal dari penyerbuan markas DPP PDI tersebut. Selain itu, secara informal, Tim Relawan berfungsi sebagai supporting dari Tim Pencari Fakta Komnas HAM. Tim Relawan ini merupakan cikal bakal organisasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang resmi berdiri tahun 1998 setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998

Pada 1996 Romo Sandy bersama kakaknya Benny Sumardi, juga pernah ditangkap dan disidang dengan tuduhan membantu gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Pada 10 Desember 1996, Romo Sandy dianugerahi Yap Thiam Hien Award 1996.

  • 1998

Setelah kerusuhan Mei 1998, bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, aktif mendata korban dan mengungkap fakta-fakta dibalik kerusuhan tersebut.

Pranala Luar