Benny Gatot Setiono (31 Oktober 1943 - 17 Januari 2017) adalah seorang sejarawan nasionalis Indonesia yang sangat mencintai negeri Indonesia dan terbeban atas kesejahteraan serta keadilan bagi rakyat Indonesia yang belum merata. Benny lahir di Ciracas, Kuningan, Jawa Barat. Dilahirkan dari seorang ibu bernama Adiawati (Oey Lian Nio) yang walaupun seorang wanita sederhana tetapi filsafat hidupnya sangat menjadi inspirasi bagi anak-anaknya sampai hari ini. Sang ayah, Endang Sunarko (Khow Sing Eng), adalah penulis yang rajin mengirimkan artikelnya ke majalah Pantjawarna, koran Sin Po, dan sebagainya dengan nama Si Kapitung yang terkenal di zaman itu. Sunarko telah menulis beberapa buku antara lain Chiang Kai Sek dan Khong Hoe Tjoe (1941), Chuang Tse, Pudjangga yang Tadjam dan Djenaka Penaya (cetakan kesatu 1950 dan cetakan kedua 1952), Mimbar Pahlawan Wanita RRT (1952), Tiongkok Baru Kawan atau Lawan (1953), dan Hitler (1992).

Benny G. Setiono
Benny G. Setiono

Pada 1947, rumahnya dibakar oleh gerombolan yang menamakan diri sebagai laskar rakyat dan kakeknya menjadi korban pembunuhan laskar Hisbullah. Kejadian tersebut menyebabkan kedua orangtuanya bersama anak-anaknya mengungsi ke kota Cirebon. Dari Cirebon, mereka kemudian hijrah ke Jakarta dengan kapal motor. Benny kemudian bersekolah dan besar di Jakarta.

Perhimpunan INTI

Benny G. Setiono pernah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Res Publica (Ureca) hingga tingkat tiga. Namun, terpaksa drop out akibat kampusnya dibakar pada tahun 1965. Pada tanggal 5 Februari 1999 Benny G. Setiono bersama 16 kawan lainnya mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa dengan nama INTI di hadapan Notaris James Herman Raharjo. Perhimpunan INTI adalah organisasi yang bersifat kebangsaan sesuai semangat Mukadimah UUD RI 1945, bebas, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, tidak bernaung atau mengikatkan diri kepada salah satu partai politik dan terbuka bagi semua Warga Negara Indonesia yang setuju pada Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Tujuan Perhimpunan INTI.

Menyadari sepenuhnya bahwa “Masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, Perhimpunan INTI didirikan dengan tujuan menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan untuk berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa (nation building), antara lain menyelesaikan “Masalah Tionghoa” di Indonesia, menuju terwujudnya Kebangsaan Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling menghargai, dan saling percaya.

Perhimpunan INTI berkeyakinan usaha penyelesaian “Masalah Tionghoa” di Indonesia harus diletakkan di atas landasan usaha penyelesaian seluruh permasalahan nasional yang tengah dihadapi Bangsa dan Negara Indonesia; dan bahwa pengikut sertaan seluruh WNI Keturunan Tionghoa secara menyeluruh, bulat, dan utuh adalah syarat mutlak penyelesaian “Masalah Tionghoa” di Indonesia.

Dasar Pemikiran didirikannya Perhimpunan INTI adalah:

  1. Bahwa dilahirkan sebagai suatu etnis bukan merupakan suatu pilihan, melainkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Sejarah mencatat, warga Tionghoa telah berada di Nusantara sejak berabad-abad yang lalu dan ikut serta memperkaya khazanah bumi pertiwi dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya (meliputi) bidang agama, sosial budaya, politik, ekonomi dan perdagangan.
  3. Bahwa lahirnya Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk warga Tionghoa, oleh karena itu warga Tionghoa adalah bagian integral bangsa Indonesia.
  4. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya dijalankan dan didasari oleh jiwa dan roh mukadimah UUD 1945, sehingga penyelesaian setiap permasalahan bangsa didasari oleh semangat kebangsaan.
  5. Warga Tionghoa bertekad ikut serta dalam pembangunan bangsa yang lebih bersatu, demokratis, adil dan makmur, guna menghantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat dunia yang lebih bermartabat, damai dan sejahtera.

Di tahun 2002 beliau turut mendirikan Lembaga Kajian Masalah Kebangsaan (ELKASA). Dia menulis berbagai artikel dan buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Cina dalam Politik Turbulensi) yang diterbitkan oleh ELKASA, Jakarta 2003 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh Prof. Zhou Nanjing dari Beijing University (2004).

Tionghoa Dalam Pusaran Politik

Wertheim Award Benny G. Setiono adalah peraih Wertheim Award tahun 2008. Weirtheim Award diberikan kepada mereka yang telah berkontribusi terhadap usaha MANSIPASI NASION INDONESIA dalam arti yang seluas-luasnya, mereka berikan dari posisi mereka masing-masing dalam masyarakat yang aktif peduli terhadap usaha pembebasan bangsa Indonesia. Itulah pertimbangan utama yang telah mendorong Wertheim Foudantion memberikan pengakuan dan penghargaan tersebut. Hasil studi dan analisisnya yang terpenting kini diterbitkan kembali oleh TransMedia Pustaka berjudul TIONGHOA DALAM PUSARAN POLITIK. Sebuah buku yang mengungkap fakta sejarah tersembunyi orang Tionghoa di Indonesia.

Dikemukakan oleh Benny bahwa dalam bukunya itu, peranan etnis Tionghoa ditulis dengan tidak mengkotak-kotakkan atau memisahkannya dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Ditandaskannya pula bahwa etnis Tionghoa telah mempunyai akar sejarah lebih dari 500 tahun di bumi Nusantara, serta merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Dalam bukunya, tulis Dr. Daniel S. Lev, ---- Benny G. Setiono mencoba menggali kembali sejarah (etnis Tionghoa) yang kompleks itu. Buku ini, tulis Dan Lev dalam Kata Pengantar pada buku Benny, bukan buku pertama mengenai minoritas etnis Tionghoa di Indonesia. Ada banyak buku lain yang telah dibuat dan diterbitkan sejak dulu, baik oleh sarjana asing maupun Indonesia dan penulis awam juga. Harus saya akui, tulis Dan Lev, bahwa ketika Pak Ben minta apakah saya rela membaca naskahnya yang belum selesai dan masih mentah, saya agak ragu karena dia bukan seorang sarjana profesional. (Ini juga pengakuan arogansi seorang sarjana profesional).

Dan naskah itu ternyata panjang sekali, beberapa ratus halaman. Akan tetapi, sesegera setelah mulai membaca, saya jadi heran, karena kelihatan bahwa si penulis yang "awam" itu mempunyai otak dan hati seorang sarjana tulen yang tertarik pada seluk beluk sejarah dan ingin mengerti suatu proses evolusi yang penuh teka-teki yang perlu dipikirkan kembali sambil mengajukan berbagai pertanyaan baru. Dr Daniel S. Lev, sarjana yang berdomisili di Seattle, Washington itu, menutup kata pengantarnya dengan menunjukkan bahwa: "Fokus buku ini sebetulnya adalah sejarah Indonesia, dimana minoritas Tionghoa juga memiliki peranan. Perspektifnya berganti-ganti dan keseimbangan selalu dicari di antara banyak peserta dalam sejarah yang serba kompleks. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sebuah gambaran sejarah yang realistis tentang orang yang sudah lama merupakan bagian dari masyarakat Indonesia, orang Indonesia yang kebetulan minoritas yang diciptakan sejarah itu. Demikian a.l. Dr Daniel S. Lev tentang buku Benny.


Referensi