Buruan, Blahbatuh, Gianyar
Buruan adalah salah satu desa yang berada di lingkup kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali, Indonesia. Desa Buruan memiliki luas wilayah 421 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 4.799 jiwa yang tersebar di 7 banjar dinas yaitu: Kutri, Buruan, Celuk, Bangunliman, Getas Kawan, Getas Kangin dan Griya Ketandan. Sementara dalam konteks pemerintahan adat wilayah Desa Buruan terbagi dalam 8 Desa Pekraman wilayah subak. Disamping kondisi wilayah yang sangat strategis, Desa Buruan juga memiliki potensi-potensi di luar sektor pertanian seperti, Peternakan, Kerajinan, Kesenian, Pariwisata, Koperasi dan Jasa Lainnya.
Buruan | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Bali | ||||
Kabupaten | Gianyar | ||||
Kecamatan | Blahbatuh | ||||
Kode pos | 80581 | ||||
Kode Kemendagri | 51.04.02.2006 | ||||
Luas | 421 km² | ||||
Jumlah penduduk | 4799 jiwa | ||||
Kepadatan | 11.3 jiwa/km² | ||||
|
Tempat Menarik
Pura Bukit Dharma Durga Kutri Gianyar
Tak banyak yang mengetahui keberadaan pura ini sekarang. Padahal, pada zaman Bali Kuna dulu, Pura ini sempat begitu populer. Berdasaran prasasti di berbagai wilayah di Bali yang menunjuk keberadaan pura ini, Pura Bukit Dharma Durga Kutri diperkirakan sudah berdiri sejak 835 caka. Pada saat itu Bali diperintah oleh Raka Sri Kesari Warmadewa. Demikian diawali Ketut Windra , Bendesa Desa Pekraman Kutri sekaligus Manggala Pura Durga Kutri.
Lokasi pura ini cukup mudah dicapai. Dia berada di lingkungan Banjar Kutri, Buruan di samping jalan utama menuju Blahbatuh, Gianyar. Pura ini terlihat dari luar seperti pura-pura di Bali pada umumnya. Namun, yang unik adalah pada bagian mandala utama terdapat bukit yang diselimuti hutan kecil. Pada puncaknya itulah distanakan arca Durga Mahisamardini Astabuja.
Pura ini berawal dan berkembang sebagai sebuah kahyangan jagat dari pemerintahan Sri Kesari Warmadewa, Ugrasena, Tabanendra, Jayasingha, Mahadewi, Udayana. Pada saat pemerintahan Udayana, beliau ditemani permaisuri Gunapria Dharmapatni. Maka dari itu disebut sebagai raja sejoli. Beliau berkuasa sekitar abad ke 10. Kekuasaan kerajaan Bali pada saat itu hingga mencapai Timor Timur. Demikian ditambahkan Ketut Windra. Prasasti yang mendukung keberadaan pura ini adalah Prasasti Peguyangan, Tengkulak, Trunyan, Prangsada, dsb.
Dalam prasasti Prangsada disebutkan: Sang Ari Anak Wungsu, Kunang Sira Sang Ibu Murwa Sira Mantuking Suryatmaka Dinarma Sira Ring Candi Ibu yang artinya Prabu Anak Wungsu meyakini ibunya Ratu Mahendradatta Udayana setelah wafat kembali ke inti Surya yaitu Wisnu, bersatu beliau secara simbol (Arcanam) di tempat pemujaan beliau (Candi Burwan).
Dari prasasti tersebut dapat dijabarkan makna yang terkandung di dalamnya, yaitu Raja dan umat pada saat itu Pemuja Surya (Wisnu), Pura Bukit Dharma sudah ada pada masa Ratu Mahendradatta memerintah, di mana terdapat suatu benda dalam bentuk Arca Durga Ma (Ibu Durga). Hal ini terlihat pada kalimat beliau bersatu dengan yang dipuja di tempat beliau memuja. Yang dipuja di tempat beliau memuja adalah Suryatmaka ( Inti Surya yaitu Wisnu), Hyang Widhi dalam fungsi memelihara Jagat raya. Dengan demikian Pura Bukit Dharma adalah Kahyangan Widhi.
Prasasti lain yang mendukung adalah Prasasti Peguyangan. Prasasti ini menjabarkan keagungan Tuhan yang dipuja di Buruan dijadikan dasar hidup bernegara dan beragama oleh masyarakat di bawah kekuasaan Ratu Mahendradata Udayana. Barang siapa yang sudah melaksanakan hidup bermasyarakat Grahasta, diwajibkan menjalani hidup bernegara dan beragama seperi yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat itu.
Apabila dalam hidup ini umat berjalan di jalan dharma sesuai dengan apa yang dipuja di Pura Bukit Dharma maka beliau akan selalu memberkati. Arca Durga Mahesamardini Astabuja yang disimbolkan dalam bentuk arca seorang wanita cantik bertangan delapan berkendaraan lembu memiliki makna perwujudan Gayatri. Arca tersebut simbol dari penyatuan kekuatan Tuhan Brahma, Wisnu, dan Siwa (Utpeti, Stiti, Pralina). Penataan Pura Bukit Dharma ditata dengan konsep Tri Loka, Bru Loka (Pura Manik Tirtha), Bhuah Loka (Pura Pentaran Agung), Swah Loka (Pura Pucak Dharma). Pada pucak inilah distanakan arca tersebut. Konsep Tri Mandala juga tertuang dalam penataan pura yaitu Nista Mandala (di depan candi bentar), Madya Mandala (di depan candi kurung), dan Utama Mandala (setelah memasuki candi kurung).
Ketut Windra menjelaskan, selain arca yang terdapat di pucak, di penataran agung juga terdapat beberapa arca yang masih terkait yaitu arca-arca Gedong Pesaren, Arca Budha, Siwa, Lingga Yoni, arca gedong Doho. Arca Gedong Doho ini kemungkinan berkaitan dengan leluhur Raja Sejoli. [b]
Stadion Sepak Bola
Stadion Kapten I Wayan Dipta
Stadion kapten I Wayan Dipta adalah sebuah stadion multifungsi, yang utamanya dipakai untuk pertandingan sepak bola, terletak di Gianyar, Bali, Indonesia. Kapasitasnya berjumlah 40.000 kursi. Dahulu Stadion ini merupakan markas kesebelasan asal Gianyar, yakni Persegi Gianyar, namun menyusul klub tersebut sudah tidak aktif atau sudah tidak ada, maka Stadion ini hampir tidak difungsikan lagi untuk waktu yang lama. Kemudian, sejak bergulirnya Liga Primer Indonesia, Stadion Dipta kembali difungsikan dan untuk sementara menjadi homebase satu-satunya kesebelasan asal Pulau Dewata yakni Bali Devata FC. sejak tahun 2015, stadion ini di pakai oleh Bali United Pusam F.C.
Pada tahun 2014 Stadion Dipta merupakan markas Bali United Pusam yg bermain di kompetisi Indonesia Super League yg sebelumnya tim ini bernama Persisam Putra Samarinda yg bermarkas di Stadion Segiri kota Samarinda Kalimantan timur.