Nano Suratno
Nano Suratno lahir di Garut, Jawa Barat, (4 April 1944 – 29 November 2010) adalah seniman dan musisi yang mencurahkan sebagian hidupnya pada perkembangan kesenian dan kebudayaan Sunda. [1]
Nano Suratno | |
---|---|
Lahir | Nano Suratno |
Tempat tinggal | Gang Haji Ahmad, Jalan Muhammad Toha. |
Pendidikan |
|
Pekerjaan |
|
Tahun aktif | 1970-2010 |
Organisasi |
|
Suami/istri | Dheniarsah |
Penghargaan |
|
Kehidupan Awal
Nano Suratno lahir di Pasar Kemis, Tarogong, Garut, Jawa Barat, pada 4 April 1944. Sejak umur lima tahun sudah dibawa mengadu nasib ke Bandung. Kedua orang-tuanya, Iyan S dan Nyi Nonoh termasuk keluarga pecinta seni, walaupun sehari-harinya sebagai wiraswastawan. Di lingkungan keluarga, sejak kecil Nano dianggap memiliki kemampuan menyanyi yang diwarisi dari kakek dan buyutnya yang juga dalang wayang. [2] Ketika masih di bangku Sekolah Dasar ia sering diminta memperlihatkan kemahirannya dalam pertemuan-pertemuan keluarga.
Kelebihan ini yang mendorong kakaknya menganjurkan agar sang adik memasuki konservatori. Karena minatnya yang besar kepada musik karawitan, setelah lulus SMP, ia melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar) di Bandung (1961). Setelah tamat, ia mengajar di SMPN 1 Bandung (1965-1970) kemudian pindah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) (1970-1995) dimana dia pernah menjabat Ketua Jurusan Karawitan dan Wakil Kepala SMKI. Beberapa tahun kemudian melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Jurusan Karawitan Sunda, sampai selesai.
Terakhir Nano diangkat menjadi Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Barat sejak 1995 sampai pensiun (2000). Ia menghabiskan hidupnya di sebuah rumah di Kota Bandung, tepatnya Gang H Ahmad, Jalan Muhammad Toha. Ia merupakan salah satu maestro musik sunda yang melegenda. Banyak karya-karya yang ia hasilkan terutama di musik karawitan dan lagu-lagu sunda. Banyak juga penyanyi-penyanyi sunda yang populer bekat lagu ciptaannya.
Karier
Karier bermusik
Nano mulai mencipta lagu sejak tahun 1963 sampai akhir hayatnya dengan kumpulan hampir duaratus album. [2] Tahun 1964, ia bergabung dengan kelompok Ganda Mekar pimpinan Mang Koko, namun beberapa tahun kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama Gentra Madya (1972). Banyak menciptakan lagu karawitan Sunda, di awal masih memperlihatkan pengaruh gurunya, Mang Koko, tetapi kemudian mulai memperlihatkan cirinya sendiri. Ia juga menyusun buku kawih untuk bahan pelajaran di sekolah menengah dengan judul Haleuang Tandang (1976).
Jika Mang Koko, gurunya, mempunyai komposisi Sunda dan Belanda juga mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat, Nano juga, tetapi di samping itu seakan-akan mentertawakan diri sendiri, yang sering terjebak dalam situasi yang lucu. Cara ini dibawakannya dalam pergelaran yang disebut prakpilingkung (keprak, kacapi, suling, angklung). Hasilnya, pada Festival Komponis Muda Indonesia I yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (1979), komposisinya, Sang Kuriang, mendapat perhatian sebagai komposisi yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan Sunda yang penuh inovasi pengembangan.
Nano pun sukses dalam pagelaran karawitan Gending Sangkuriang di Festival Komponis Muda yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki tahun 1979 diapresiasi dengan pujian positif. Ia juga dikenal sebagai penulis sajak dan cerita pendek berbahasa Sunda. Karyanya pernah di muat dalam majalah Mangle, Hanjuang, dan lainnya. Cerita pendeknya dikumpulkan dengan judul Nu Baralik Manggung (Yang pulang sehabis pertunjukan). 1979, Nano membuat komposisi Umbul-Umbul yang ditayangkan pada televisi nasional dengan membawa tujuhpuluhlima orang dan memainkan limabelas ragam komposisi musik Sunda. [2]
Prestasi
Pada tahun 1980 salah satu karyanya, yaitu Karawitan Gending Sangkuriang pernah disertakan di Festival Musik Internasional di Taiwan. Nano pernah mendapat beasiswa fellowship dari The Japan Foundation selama setahun di Tokyo National University of Fine Arts and Music, [2]Universitas Kesenian Tokyo, untuk mempelajari perbandingan tangga nada Sunda dan Jepang, terutama antara alam musik Kecapi dan Koto. Selain itu, ia juga belajar meniup Sakuhachi dan memetik Shamisen, yang kemudian membuat kolaborasi alat-alat itu pada ciptaannya dan membuat beberapa lagu karawitan Sunda yang berbahasa Jepang, diantaranya Katakana Hiragana Uta, Ueno Koen dan D'enshano Uta (1981-1982).
Pada bulan Oktober 1999, di Jepang, ia memainkan lagu ciptaannya yang berjudul “Hiroshima“, yang dibuat khusus untuk memenuhi permintaan Wali Kota Hiroshima yang mengenalnya sebagai pencipta lagu. Selain itu, ia diundang oleh departemen musik Universitas Santa Cruz untuk mengajar dan membuat pergelaran dalam Spring Performance (1990). Popularitasnya semakin menanjak setelah album-album rekaman kasetnya banyak diminati oleh masyarakat, diantaranya Kalangkang (Bayangan, 1989), lewat suara Nining Meida yang sekaligus mengorbitkan nama penyanyi itu, Kalangkang dalam versi pop Sunda yang dipopulerkan Detty Kurnia meraih penghargaan BASF Award (1989), dan setahun kemudian meraih penghargaan HDX Award yang terjual dua juta kopi. [1]
Tiga tahun kemudian Cinta Ketok Magic (1992), melalui suara penyanyi dangdut Evie Tamala meledak di pasaran sehingga mendapat HDX Award tingkat Nasional. Meskipun lagu-lagu ciptaannya berjenis karawitan, namun dengan cepat memperoleh penggemar di seluruh Indonesia, bukan hanya dari kalangan orang Sunda saja, apalagi setelah lagu-lagu itu dijadikan pop Sunda. Selain itu, Ia juga membuat lagu untuk Gending Karesmen bersama Wahyu Wibisana, Rahmatullah Ading Affandie, dan lainnya. Gending Karesmen ciptaannya antara lain Deugdeug Pati Jaya Perang, Raja Kecit, 1 Syawal di Alam Kubur, Perang, dan sebagainya.
Profesionalismenya dalam dalam kesenian Sunda semakin terbukti ketika ia di minta oleh Min on impresario, sebuah kelompok kesenian Jepang yang besar, untuk mengadakan pertunjukan kesenian Sunda di berbagai kota seluruh Jepang selama empatpuluh hari dengan duapuluhdua kali pertunjukan. Pertunjukan ini mendapat sambutan antusias karena keindahan yang ditampilkan dengan disiplin yang tinggi (1988). Pertunjukan itu diminta untuk diulang berkali-kali tampil di kota lainnya. Negara-negara yang pernah dikunjunginya untuk mengadakan pertunjukan antara lain Jepang, Hongkong, Philipina, Belanda, Australia, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Diskografi
Selama hidupnya, kang Nano telah menghasilkan lebih dari 400 karya dan 200 album yang beredar di pasaran. [1] [2]
Karya tulis
- Suratno Nano. (1976). Haleuang Tandang. Buku Kawih untuk bahan pelajaran di Sekolah Menengah. Bandung.
Pranala luar
- Patrick Durkan (October 1, 2011). "Nano Suratno: Father of Sundanese Music". latitudes.nu. Diakses tanggal 17 September 2015.
Referensi
- ^ a b c Fathimatuz Zahroh. "Profil Nano Suratno". profil.merdeka.com. Diakses tanggal 17 September 2015.
- ^ a b c d e Patrick Durkan (October 1, 2011). "Nano Suratno: Father of Sundanese Music". latitudes.nu. Diakses tanggal 17 September 2015.