Keraton Banjar

bangunan kuil di Indonesia
Revisi sejak 25 Januari 2017 09.49 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Keraton Banjar adalah istana kenegaraan Kesultanan Banjar sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Banjar. Sampai saat ini lokasi-lokasi keraton dan wujud keraton Banjar tidak dapat diketahui dengan pasti, sebab tidak adanya data yang lengkap. Sebagai bekas negara terbesar di bagian selatan Borneo pada masa kejayaannya, tentunya Kesultanan Banjar memiliki pusat pemerintahan yang cukup baik. Keberadaan Keraton Banjar yang sudah punah, salah satunya dikarenakan pertentangan dan konflik dengan Belanda. Sikap Kesultanan Banjar dan orang Banjar pada umumnya yang tidak mau tunduk kepada kemauan Belanda.

Litografi kompleks keraton Banjar di Martapura pada tahun 1843

Berdasar catatan sejarah, diketahui bahwa di Kalimatan Selatan pernah berdiri sebuah kerajaan yang besar yaitu kerajaan Banjar (1526–1905). Pada puncak masa kejayaannya, kerajaan Banjar memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, mencakup hampir sebagian besar pulau Kalimantan sekarang. Namun demikian hingga kini tidak diketahui lagi bagaimana keberadaannya, baik lokasi maupun bentuk arsitektur istana kerajaan Banjar.[1]

Keraton Kuin

 
Rumah Bubungan Tinggi merupakan type untuk Dalem Sirap (kedhaton hunian Sultan Banjar), salah satu bangunan di dalam kompleks keraton.

Keraton pertama dibangun di Banjarmasih (Kuin). Banjarmasih terletak di antara sungai-sungai :

  • Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin
  • Sungai Kuin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran).

Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat bertemu dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibukota Kesultanan Banjar yang pertama.

Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.

Menurut Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa dalam Melacak Arsitektur Keraton Banjar, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

Gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut :

  • Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton.
  • Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung.
  • Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban.
  • Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur= sebutan Siti Hinggil di keraton Banjar dan Banten.
  • Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja.
  • Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
  • Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air.
  • Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap Senin atau Senenan.
  • Di sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.
  • Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit, dan sebagian lagi tinggal di rumah betang di darat.
  • Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah.
  • Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru.

Berita Dinasti Ming

Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar:pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai.

Keraton Pemakuan

Keraton Amuntai

Keraton Tambangan

Keraton Batang Banyu Mangapan

Keraton Martapura 1623

Hikayat Banjar dan Kotawaringin menyebutkan:[2]

Marhum Panambahan hilang sepuluh hari lamanya. Dicari orang ke hulu ke hilir, ke darat ke laut, tiada dapat. Gelabah hati orang sekaliannya itu. Waktu tengah malam datang itu. Sudah siang hari itu Gadungsalat disuruh Marhum Panambahan memanggil Pangeran Mangkunagara, Pangeran Mancanagara dan Kiai Jayanagara itu. Sama datang itu, disuruh menebas segala kayu dara itu - padang itu, akan tempat masjid dan tempet pe-dalem-an, tempat alun-alun. Sudah itu maka disuruh tebas oleh Pangeran Mancanagara itu. Sudah itu masjid yang dipindah itu. Sudah jadi masjid itu, pada waktu hari Jumaat itu Marhum Panambahan sembahyang, sekaliannya menteri-menteri dan para raden dan Pangeran Mangkunagara, Pangeran Mancanagara, Dipati Ngganding sama sembahyang itu. Sudah itu pangandika Marhum Panambahan: "Sadanglah aku sepuluh hari mengelilingi alkah Banjarmasih ini tiada yang baik akan tempet negeri, hanya tanah rabat padang ini. Baik, bertuah, jika ada orang hendak mengalahkan tiada kalah dahulunya. Dengan patulung Allah serta berkat syafa'at Nabi Muhammad Rasul Allah itu sukar tempat seteru mendatangi, karena tempat negeri ini baik tapak udar naganya itu lawan muhara-halangan itu. Negeri ini aku namai Martapura. Maka anak cucuku atau buyutku menjadi raja tetap ia di Martapura ini insya-Allah Ta'ala sempurna kerajaannya. Maka lamun ia meninggal Martapura ini diam kepada tempat lain insya-Allah Ta'ala kepada rasaku binasa kerajaannya; haru-hara itu tiada keruan. Banyak tiada tersebutkan. Sudah itu itu pedaleman pula ditajak itu. Maka sekaliannya pindah ke Martapura itu. Raden Zakaria lawan Raden Aria Sagara itu masih diam di Batang Banyu itu, tetapi sepenglihatan jauhnya itu. Lamanya diam Marhum Panambahan di Batang Banyu itu sepuluh tahun, tumuli pindah ke Martapura itu.[2]

Keraton Kayu Tangi

Pada tahun 1612 keraton Kuin mendapat serangan dari VOC, tempat tinggal Sultan hancur, sehingga pemerintahan dipindahkan oleh Sultan Mustain Billah ke hulu sungai Martapura. Majunya perdagangan Banjar setelah masa Sultan Mustain Billah membawa kemakmuran dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya. Di daerah Martapura ini, keraton Banjar beberapa kali berpindah tempat, salah satunya istana kenegaraan Keraton Bumi Kencana yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Bumi Selamat pada tahun 1806.

John Andreas Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Sepuh saat itu menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi : .....mula-mula barisan tombak berlapis perak, di belakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba di bahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal merah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba di bahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru ke bahagian kraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi dengan rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia.

Keraton Bumi Kencana/Bumi Selamat di Kampung Keraton

Pada Tahun 1771, Sunan Sulaiman Saidullah I (Sunan Nata Alam) memindah keraton Banjar dari Kayutangi ke Bumi Kencana (Martapura).[3] Bumi Selamat adalah sebutan untuk kompleks keraton Sultan Banjar di Martapura. Kediaman Sultan atau nDalem Sultan disebut Dalam Sirap. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana (antara tahun 1771-1806). Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda pada tanggal 11 Agustus 1806. Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan tiap-tiap dimana tempat paseban Dalam negeri Bumi kintjana jang sekarang ganti nama Bumi Selamat. Sebelas hari dari bulan Agustus tahun seribu delapan ratus enam

Balai Seba adalah sebuah bangunan dalam kompleks keraton Bumi Kencana yang dibangun tahun 1780 oleh Panembahan Batuah dengan ukuran lebar 50 kaki, panjang 120 kaki dan tinggi 25 kaki.[4][5]

Keraton Sungai Mesa, Bajarmasin

Selain istana utama yang terdapat di Martapura, bersamaan itu pula terdapat keraton ke-2 yang terletak di Banjarmasin.

Berdekatan dengan Kampung Melayu terdapat Kampung Keraton yang kemudian namanya diubah menjadi Kampung Sungai Mesa yang didirikan oleh Kiai Maesa Jaladri alias Anang putera Tumenggung Suta Dipa. Di kampung Sungai Mesa terdapat kediaman Menteri Besar Kiai (Mesa) Maesa Jaladri, istana Sultan, Balai Kaca, dan istana Sultan Tamjidullah II. Berseberangan sungai dengan istana Sultan Tamjidullah II terdapat rumah Residen di Kampung Amarong, yang di sebelah hilirnya terdapat benteng Tatas. Kampung Amarong (sekarang kantor gubernur Kalsel) merupakan kampung terbesar di seberang Kampung Sungai Mesa pada saat itu. [6][7]

Rujukan

  • Bani Noor Muhammad dan Namiatul Aufa, Melacak Arsitektur Keraton Banjar, Desember 2006.


Referensi

  1. ^ http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/1376.pdf
  2. ^ a b (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  3. ^ (Inggris) The New American encyclopaedia: a popular dictionary of general knowledge, Volume 2, D. Appleton, 1865
  4. ^ (Indonesia) Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh sedjarah Kalimantan, Penerbit Fadjar, 1953
  5. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. hlm. 114. ISBN 9794074101. ISBN 978-979-407-410-7
  6. ^ (Indonesia) H. Ramli Nawawi, Tamny Ruslan, Yustan Aziddin, Sejarah kota BanjarmasinDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986
  7. ^ (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh, Banjarmasih: sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950, Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan, Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982

Pranal luar