Sultanah

Revisi sejak 31 Januari 2017 08.02 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Sultanah atau sultana (bahasa Arab: سلطانه sulṭānah, pelafalan [səlˈtanə]) adalah bentuk wanita dari gelar sultan dan menjadi gelar resmi bagi wanita yang memimpin kesultanan dan istri utama sultan di beberapa wilayah. Penggunaan gelar sultanah berbeda-beda tergantung adat dan hukum di tiap-tiap kesultanan.

Penggunaan

Penguasa monarki

Gelar ini digunakan secara resmi oleh beberapa wanita yang memimpin kesultanan.

Afrika Utara

Di Kerajaan Touggourt, sekarang bagian dari Aljazair, terdapat satu orang sultanah yang berkuasa: Aïsya.

Asia Tenggara

Pada Kesultanan Samudera Pasai, (sekarang bagian dari Indonesia), Sultanah Seri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu (memerintah 1406-1427) menjadi satu-satunya wanita yang naik tahta. Di Aceh Darussalam (sekarang bagian dari Indonesia dan Malaysia), terdapat empat orang sultanah yang memerintah:

Di Maladewa, terdapat lima sultanah yang memerintah:

  • Khadijah (1347–1363, 1364–1374, 1376–1380)
  • Raadhafathi (1380)
  • Dhaain (1383–1388)
  • Kuda Kala Kamanafa’anu (1607–1609)
  • Amina (1757–1759)

Pada tanggal 5 Mei 2015, Hamengkubuwono X, Sultan dan Gubernur Yogyakarta, Indonesia, menetapkan anak perempuan tertuanya, Putri Nurmalita Sari (kemudian bergelar Putri Mangkubumi), sebagai putri mahkota. Jika dia naik tahta, sangat mungkin dia akan menyandang gelar sultanah dan menjadi wanita Jawa pertama yang mengenakan gelar tersebut.

Permaisuri sultan

Sultanah juga pernah digunakan secara resmi sebagai gelar untuk istri sultan. Antara tahun 1914 dan 1922, penguasa Mesir dari dinasti Muhammad Ali menggunakan gelar sultan dan istri mereka menyandang gelar sultanah secara resmi.[1]

Sultanah juga merupakan gelar bagi istri pemimpin beberapa negara bagian di Malaysia.

  • Sultanah Kalsom binti Abdullah, istri kedua Sultan Ahmad Syah. Dia menjadi Sultanah Pahang mulai 30 September 1992.
  • Sultanah Nur Zahirah, istri Mizan Zainal Abidin, Sultan Trengganu. Dia menjadi Sultanah Terengganu pada 12 Juli 1998.
  • Sultanah Haminah Hamidun, istri kedua Abdul Halim, Sultan Kedah. Dia menjadi Sultanah Kedah pada 21 November 2003 setelah pendahulunya meninggal.

Klaim

Gelar sultanah juga sering digunakan untuk merujuk pada wanita yang tidak pernah menyandang gelar ini secara resmi.

Pada Mesir abad pertengahan, Shajar al-Durr memerintah pada tahun 1250 dan menjadi wanita pertama yang menjadi penguasa monarki dalam dunia Islam.[2] Walaupun beberapa sumber menyatakan bahwa dia menyandang gelar sultanah,[3] The Cambridge History of Islam menolak pernyataan tersebut dan menyatakan "bentuk wanita, sultanah, tidak dikenal di Arab: gelar sulṭān muncul pada koin Shajar al-Durr yang masih tersisa."[4]

Raziya al-Din, yang sering disebut sebagai Razia Sultana, adalah Sultan Delhi di India dari 1236 sampai Mei 1240. Sebagaimana beberapa putri pada masa itu, dia dilatih untuk memimpin pasukan dan mengurus kerajaan bila diperlukan.[5] Dia adalah pemimpin perempuan pertama dari Kesultanan Delhi.[6] Dia menolak disebut sultanah lantaran makna sultanah di tempat itu bermakna "istri sultan," dan dia menggunakan gelar sultan sebagaimana penguasa laki-laki yang lain.[7] Sebagaimana Shajar al-Durr, Raziya juga sering disebut sultanah oleh Barat, sangat mungkin untuk membedakannya dengan sultan pria.

Kesultanan Utsmani

Sejak abad keenam belas, gelar sultan digunakan tidak hanya disandang oleh kaisar, tetapi juga anggota dinasti yang lain. Para putri menyandang gelar sultan di belakang namanya (misal: Mihrimah Sultan). Gelar ibu suri adalah valide sultan dan gelar ini juga disandang setelah namanya (misal: Ayşe Hafsa Valide Sultan). Gelar bagi permaisuri adalah haseki sultan dan juga disandang setelah namanya (misal: Hürrem Haseki Sultan). Penggunaan ini menegaskan konsep Utsmani bahwa kekuasaan berada merupakan hak khusus keluarga Utsmani.[8] Namun Barat kerap menerjemahkan gelar resmi mereka, sultan, menjadi sultanah, sangat mungkin untuk membedakan mereka dari Kaisar Utsmani.

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Rizk, Yunan Labib (13–19 April 2006). "A palace wedding". Al-Ahram Weekly (790). Diakses tanggal 2010-02-27. ... Britain granted the rulers among the family the title of sultan, a naming that was also applied to their wives. 
  2. ^ Hitti, Philip Khuri (2004) [1951]. "Chapter XLVII: Ayyūbids and Mamlūks". History of Syria: including Lebanon and Palestine (edisi ke-2nd). Piscataway, NJ: Gorgias Press. hlm. 629. ISBN 978-1-59333-119-1. OCLC 61240442. Diakses tanggal 2010-03-01. 
  3. ^ Meri, Josef W., ed. (2006). Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. Volume 2: L–Z, index. New York: Routledge. hlm. 730. ISBN 978-0-415-96692-4. OCLC 314792003. Diakses tanggal 2010-03-01. ... Shajar al-Durr was proclaimed sultana (the feminine form of sultan) of the Ayyubid dominions, although this was not recognized by the Syrian Ayyubid princes. 
  4. ^ Holt, P. M.; Lambton, Ann K. S.; Lewis, Bernard, ed. (1977). The Cambridge History of Islam. Cambridge University Press. hlm. 210. ISBN 978-0-521-29135-4. OCLC 3549123. Diakses tanggal 2010-03-01. 
  5. ^ Gloria Steinem (Introduction), Herstory: Women Who Changed the World, eds. Deborah G. Ohrn and Ruth Ashby, Viking, (1995) p. 34-36. ISBN 978-0670854349 Diarsipkan 20060619053357 di www.crescentlife.com Galat: URL arsip tidak dikenal
  6. ^ Table of Delhi Kings: Muazzi Slave King The Imperial Gazetteer of India, 1909, v. 2, p. 368..
  7. ^ O’Brien, Derek. Derek Introduces: 100 Iconic Indians. Rupa Publications. ISBN 8129134136. 
  8. ^ Peirce, Leslie P. (1993). The Imperial Harem: Women and Sovereignty in the Ottoman Empire. New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-507673-7.