Kanal Banjir Jakarta

kanal di Indonesia
Revisi sejak 1 Februari 2017 12.00 oleh 10pangkat6 (bicara | kontrib) (Menambah referensi dan memperbaiki susunan paragraf)

Kanal Banjir Jakarta adalah saluran air kolektor sebagai salah satu cara penanggulangan banjir Jakarta (dulu dikenal dengan nama Batavia) yang pertama kali dikonsepkan oleh Prof. Ir. Hendrik van Breen pada tahun 1920.[1] Inti konsep Kanal Banjir adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dengan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta dan akan membuat beban sungai di utara saluran kolektif lebih terkendali.[1] Kanal tersebut menjadi sistem makro drainase kota yang berfungsi untuk mengurangi genangan air di dalam kota dengan mengalirkannya langsung ke laut.[2]

Sejarah Kanal Banjir

Konsep Kanal Banjir muncul akibat seringnya Batavia mengalami banjir.[3] Tahun 1920, Departemen Burgelijke Openbare Werken (BOW), cikal bakal Departemen Pekerjaan Umum, menunjuk van Breen sebagai Ketua Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir.[1] Tugas dari BOW tersebut adalah menangani pekerjaan yang terkait dengan permasalhan air, seperti pemeliharaan sungai, situ, melakukan pembuatan, pemeliharaan, dan pengelolaan pengairan/irigasi, bangunan penahan air, dan terusan untuk pelayaran sungai.[4] Selain itu, BOW juga melakukan pekerjaan lain yang menyangkut ilmu bangunan air dan membuat pembuangan air untuk kepentingan umum.[4]

Konsep awal Kanal Banjir tersebut adalah mengalirkan air dari sungai di hulu Batavia melalui saluran kolektor yang dimulai dari selatan kota (saat itu batas selatan kota berada di Manggarai) menyusuri tepi barat kota menuju ke laut yang muaranya berada di Muara Angke.[1] Saluran kolektor yang menyusuri bagian barat Batavia ini dikenal dengan Kanal Banjir Barat. Sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet.[1]

Tahun 2003, sebagai salah satu upaya mengendalikan banjir di seluruh Jakarta adalah membangun Kanal Banjir Timur.[5] Rencana Kanal Banjir Timur ini sebenarnya sudah muncul di Rencana Tata Ruang Jakarta 1985-2005.[6] Kanal Banjir Timur diharapkan dapat mengendalikan banjir di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara.[7]

Mengacu pada prinsip pengendalian banjir DKI Jakarta pada Rencana Induk Pengendalian Banjir Jakarta 1973 (Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta), yang disusun dengan bantuan Netherland Engineering Consultant (NEDECO), pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua kanal yang melingkari sebagian besar wilayah kota.[7] Kanal itu akan menampung arus air dari selatan dan dibuang ke laut melalui bagian- bagian hilir kota yang dikenal dengan nama Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Kanal-kanal tersebut adalah salah satu upaya pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.[7]

Kanal Banjir Barat

Pembangunan saluran banjir Kanal Banjir Barat, atau juga sering disebut Kali Malang (Barat)ini dimulai tahun 1922, dengan bagian hulu berawal dari daerah Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet Kubur. Selanjutnya ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di Muara Angke.[butuh rujukan]

Kanal Banjir Timur

Untuk mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di Jakarta bagian timur dibangun Kanal Banjir Timur (KBT). Sama seperti KBB, KBT mengacu pada rencana induk yang kemudian dilengkapi "The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta" tahun 1991, serta "The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek" pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.

Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, KBT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.

KBT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana pembangunan KBT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta.

KBT akan melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer. Total biaya pembangunannya Rp 4,9 triliun, terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Departemen Pekerjaan Umum.

Untuk pembuatan KBT, perlu pembebasan lahan seluas 405,28 hektare yang terdiri dari 147,9 hektare di Jakarta Utara dan 257,3 hektare di Jakarta Timur. Sampai dengan September 2006, lahan yang telah dibebaskan 111,19 hektare dengan biaya sekitar Rp 700 miliar. Untuk tahun 2007, direncanakan pembebasan 267,36 hektare dengan biaya Rp 1,2 triliun.

Dalam kenyataannya, pembuatan kanal yang sudah direncanakan lebih dari 30 tahun lalu itu menghadapi pembebasan tanah yang berjalan alot. Pembangunannya menjadi lambat. Rencana tersebut tidak kunjung selesai direalisasikan, dan banjir seperti yang kini dirasakan warga Jakarta menjadi kenyataan setiap tahun.

Saat ini KBT telah selesai dikerjakan, KBT direncanakan untuk mengatasi banjir di wilayah Timur Jakarta dengan cara menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Namun, pada kenyataannya banjir tetap terjadi dan fungsi KBT sebagai penampung aliran sungai dari sekitar 7 sungai belum berfungsi secara optimal.

Pranala luar

  1. ^ a b c d e Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur: Karya Anak Bangsa. Jakarta: Grasindo. hlm. 17. 
  2. ^ Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 18. 
  3. ^ Gunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal:Pengendalian Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 216. ISBN 978-979-709-483-6. 
  4. ^ a b Gunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 215. ISBN 978-979-709-483-6. 
  5. ^ Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 33. 
  6. ^ Caljouw, M.; Nas, P.J.; Pratiwo, M.R. (2005). "Flooding in Jakarta: Towards a blue city with improved water management". Journal of Humanities and Social Sciences of Southeast Asia/Bijdragen vol de taal, land, en volkenkunde. 161. doi:10.1163/22134379-90003704. Diakses tanggal 1 Februari 2017. 
  7. ^ a b c Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 35.