Dalam teologi Kristen, penyesalan atau sesal adalah perasaan sedih atau kesusahan dalam hati seseorang karena dosa-dosa yang dilakukannya, dengan disertai keinginan untuk tidak melakukannya lagi.[1] Kata Inggris contrition atau contriteness berasal dari kata Latin contritus 'dilumatkan hingga berkeping-keping', yang bermakna diremukkan oleh rasa bersalah.[2] Dalam bahasa Inggris, kata contrition atau remorse sering diidentikkan dengan repentance yang umumnya diterjemahkan menjadi pertobatan dalam bahasa Indonesia.

Lukisan Santo Petrus yang menyesali perbuatannya, karya Francisco Goya tahun 1823-25.

Sebagai suatu konsep sentral dalam sebagian besar Kekristenan, penyesalan dipandang sebagai langkah pertama, melalui Kristus, menuju rekonsiliasi dengan Allah. Konsep ini mencakup rasa sesal seseorang atas semua dosanya, suatu hasrat akan Allah daripada dosa, serta iman dalam penebusan Kristus di kayu salib dan kecukupannya untuk keselamatan (lih. regenerasi dan ordo salutis). Penyesalan banyak didapati pada berbagai bagian Alkitab, misalnya Yehezkiel 33:11, Mazmur 6:7dst., Mazmur 51:1-12, Lukas 13:5, Lukas 18:9-13, dan perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32).

Dalam Gereja Katolik

Hakikat

Konsili Trente mendefinisikan penyesalan sebagai "kepedihan jiwa, dan suatu kebencian atas dosa yang dilakukan, dengan suatu niat tegas untuk tidak berbuat dosa di kemudian hari". Kebencian akan dosa ini dapat timbul karena beragam motif, oleh beragam sebab.[3] Penyesalan dalam batin disertai dengan suatu kepiluan dan rasa sakit yang bermanfaat, yang para Bapa Gereja namakan animi cruciatus (kesusahan roh) dan compunctio cordis (penyesalan hati).[4]

Kata penyesalan mengimplikasikan pemecahan atau penghancuran sesuatu yang telah mengeras. St. Thomas Aquinas dalam Komentar tentang Sententiarum karenanya menjelaskan penggunaan khususnya: "Karena disyaratkan untuk remisi dosa, bahwa seseorang mencampakkan seluruhnya kesukaan berdosa yang mengimplikasikan semacam kesinambungan dan kekukuhan dalam budinya, tindakan yang memperoleh pengampunan ini diistilahkan dengan kiasan 'penyesalan'".[5] Kesedihan jiwa ini bukan sekadar kesedihan spekulatif atas kesalahan yang dilakukan, sesalan hati nurani, ataupun suatu tekad untuk melakukan perubahan, namun merupakan suatu rasa sakit yang nyata dan kegetiran jiwa yang disertai dengan suatu rasa benci dan kengerian atas dosa yang dilakukan. Perasaan benci akan dosa tersebut menyebabkan seseorang bertekad untuk tidak berbuat dosa lagi. Para penulis Kristen awal, ketika berbicara mengenai hakikat penyesalan terkadang menegaskan pada perasaan kesedihan, terkadang kejijikan akan kesalahan yang dilakukan. St. Agustinus menyertakan keduanya ketika menulis: "Compunctus corde non solet dici nisi stimulus peccatorum in dolore pœnitendi".[5]

Hampir semua teolog abad pertengahan berpandangan bahwa penyesalan utamanya didasarkan pada kejijikan atau kebencian akan dosa. Kebencian tersebut mengandaikan seseorang memiliki suatu pengetahuan mengenai kengerian dosa, dan pengetahuan ini menghasilkan kesedihan dan rasa sakit pada jiwa. "Suatu dosa dilakukan oleh persetujuan [kehendak], sehingga tertutupi oleh argumen kehendak rasional; maka penyesalan pada dasarnya adalah kesedihan. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kesedihan memiliki makna ganda--argumen kehendak dan perasaan yang timbul; yang pertama disebutkan merupakan esensi dari penyesalan, yang terakhir disebutkan merupakan dampaknya".[5]

Kebutuhan mendasar

Ajaran atau doktrin resmi Gereja, yang disampaikan dalam Konsili Trente, menyatakan bahwa penyesalan senantiasa diperlukan seseorang untuk memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya. Penyesalan merupakan kondisi pertama dan keharusan untuk beroleh pengampunan. Seseorang dimungkinkan untuk menerima pengampunan ketika pengakuan dosa sakramental tidak memungkinkan, namun tidak mungkin seseorang dapat beroleh pengampunan atas dosanya tanpa adanya penyesalan.[6]

Menurut Catholic Encyclopedia, para penulis Katolik selalu menekankan bahwa kebutuhan atau keharusan tersebut timbul: (a) dari hakikat penyesalan itu sendiri serta (b) dari perintah positif Allah. Dari segi hakikat penyesalan tersebut, mereka menekankan bahwa perkataan Kristus dalam Lukas 13:5 adalah mutlak: "... jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa ...", dan dari para Bapa Gereja mereka mengutip kalimat seperti berikut ini dari St. Siprianus, De Lapsis no.32: "Lakukan pertobatan sepenuhnya, berikan bukti kesedihan yang berasal dari suatu jiwa yang berduka dan meratap ... mereka yang menyingkirkan penyesalan atas dosa, menutup pintu menuju pendamaian." Para doktor Skolastik meletakkan dasar dari prinsip pendamaian atau pemulihan, "Tidak ada seorang pun dapat memulai suatu kehidupan baru tanpa bertobat dari kehidupannya yang lama" (St. Bonaventura, dalam Lib. Sent. IV, dist. xvi, Pt. II, art. 1, Q. ii, juga ex professo, ibid., Pt. I, art. I, Q. iii), dan ketika ditanya apa alasannya, mereka menunjukkan ketidaksesuaian absolut berpaling kepada Allah dengan sekaligus melekat kepada dosa, yang berarti memusuhi hukum Allah. Konsili Trente, sadar akan tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad, mendefinisikan (Sesi XlV. ch. iv de Contritione) bahwa "penyesalan senantiasa diperlukan untuk memperoleh pengampunan dosa". Perintah positif Allah juga memperlihatkan kejelasan dasar-dasar pemikiran ini. St. Yohanes Pembaptis menyerukan agar bersiap-siap untuk kedatangan Mesias: "Luruskanlah jalan bagi-Nya"; dan, akibatnya "maka datanglah [mereka] kepadanya ... sambil mengaku dosanya mereka dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan". Pewartaan pertama Yesus dideskripsikan dalam perkataan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Surga sudah dekat!"; dan para Rasul, saat berkhotbah kepada orang-orang, memperingatkan mereka: "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis ... untuk pengampunan dosamu" (Kisah 2:38). Para Bapa Gereja menindaklanjuti dengan nasihat-nasihat serupa (Klemens dalam P.G., I, 341; Hermas iii P.G., II, 894; Tertulianus dalam P.L., II).[7]

Penyesalan sempurna dan tidak sempurna

Apabila kebencian atau kejijikan akan dosa timbul dari kasih akan Allah, yang telah disakiti secara menyedihkan, maka penyesalan sedemikian disebut "sempurna". Sementara jika timbul dari motif lainnya, seperti kehilangan surga, takut akan neraka, ataupun kengerian dari rasa bersalah, maka disebut "penyesalan tidak sempurna" atau atrisi (bahasa Inggris: attrition, bahasa Latin: attritio).[3][8]

Dalam teologi Kristen lainnya


Pengakuan Iman Augsburg, pengakuan iman utama Lutheran, membagi pertobatan menjadi dua bagian: "Salah satunya adalah penyesalan, yaitu rasa ngeri yang menyerang hati nurani melalui pengetahuan akan dosa; yang lainnya adalah iman, yang lahir dari Injil, atau dari absolusi, dan percaya bahwa di dalam Kristus, dosa-dosa diampuni, menghibur hati nurani, dan membebaskannya dari rasa ngeri."[9]

Pengkhotbah Puritan Thomas Hooker mendefinisikan penyesalan sebagai: "..., tiada yang lain, yaitu, apabila pendosa ketika seorang berdosa oleh pandangan akan dosa dan kekejian dosa, serta hukuman karena hal yang sama, dijadikan dapat merasakan dosa, dan dijadikan membencinya, serta membuat hatinya terlepas dari hal yang sama..."[10]

Rektor Anglo-Katolik dari Gereja Episkopal St. Markus di Philadelphia, Alfred Garnett Mortimer, mengemukakan bahwa "perasaan" bukan merupakan suatu tanda yang memadai untuk mengukur penyesalan. Tanda-tanda kondisi sejati penyesalan seseorang adalah kesiapannya untuk melakukan pengakuan dosa, kesiapannya untuk mengubah hidup dan menghindari godaan, serta kesiapannya untuk mengampuni kesalahan orang-orang lain.[11]

Lihat pula

Catatan

Referensi

  1. ^ Kamus Teologi. Diterjemahkan oleh Ignatius Suharyo, Pr. dari A Concise Dictionary of Theology karya Gerald O'Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ. Penerbit Kanisius. 1996. hlm. 294. ISBN 9794975249. 
  2. ^ (Inggris) "contriteness". The Free Dictionary. October 2016. 
  3. ^ a b (Inggris)   Hanna, Edward Joseph (1913). "Attrition". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. 
  4. ^ (Inggris) "Paragraph 1431", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  5. ^ a b c (Inggris)   Hanna, Edward Joseph (1913). "Contrition". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. 
  6. ^ (Inggris) Abbé Luche. The Catechism of Rodez: Explained in Form of Sermons, B. Herder, 1898
  7. ^ (Inggris) Hanna, Edward (1908), "Contrition", The Catholic Encyclopedia, 4, Retrieved from New Advent, New York: Robert Appleton Company 
  8. ^   Chisholm, Hugh, ed. (1911). "Attrition". Encyclopædia Britannica. 2 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 887. 
  9. ^ (Inggris) Augsburg Confession, Article XII: Of Repentance
  10. ^ (Inggris) Hooker, Thomas. The soules preparation for Christ: a treatise of contrition, 1638
  11. ^ (Inggris) Mortimer, Alfred Garnett. Catholic Faith and Practice, Vol. 1, Longmans, Green, and Company, 1897

Sumber

  •   Artikel ini memuat teks dari suatu penerbitan yang sekarang berada dalam ranah publikHerbermann, Charles, ed. (1913). "Contrition". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton. 
  • Sylvester Joseph Hunter, Outlines of Dogmatic Theology (New York, 1896)
  • Suarez, De Pænitentia, disp. iv, sect. iii, a,2
  • Bellarmine, De Controversiis, Book II, De sacramento pænitentiæ
  • Denifle, Luther und Luthertum in der ersten Entwicklung (Mainz, 1906), I, 229 sqq., II, 454, 517, 618 sq.
  • Collet in Migne, Theologiæ Cursus Completus (Paris, 1840), XXII
  • Palmieri, De Pænitentia (Rome, 1879; Prato, 1896)
  • Petavius, Dogmata Theologica: de pænitentia (Paris, 1867).

Pranala luar