Djamil Suherman
Mengenang "tanahair"
Surabaya awal 1956. Dalam sebuah malam perpisahan dengan Djamil Suherman di rumahnya yang terletak di kawasan Darmo, beberapa orang penggemar sastra di Surabaya datang atas undangan. Djamil, si tuanrumah, segera akan meninggalkan Surabaya untuk memikul tugas baru profesinya di luar sastra, pindah ke Palembang. Ketika itu ia adalah satu-satunya pengarang Surabaya yang karya-karyanya sudah dikenal lewat majalah KISAH. Sastrawan lain seperti Mohamad Ali yang setidaknya sudah 10 tahun lebih dulu memulai menulis prosa, atau Suparto Brata yang tekun menulis prosa dalam dua bahasa (Jawa dan Indonesia), dan Luthfi Rahman pengasuh tunas-tunas sastra remaja di RRI Surabaya, ketika itu tak nampak hadir, mungkin memang tak diundang, sebab mereka ini dikenal lebih menekuni profesi dan aktivitas kreatifnya sendiri tanpa minat ikut langgam bergadang para seniman yang padahal bukan tujuan pertemuan.
Perpisahan dengan Djamil Suherman malam itu sekaligus seperti pertemuan pertama para penggemar sastra Surabaya yang sebelumnya kurang mengenal secara pribadi satu sama lain. Begitu saling ketemu tak ada lain tema yang mereka bualkan, kecuali prosa dan puisi karya WS Rendra dan Ajip Rosidhi (belakangan bernama Rendra dan Ajip Rosidi) yang belum lama mengisi cakrawala sastra Indonesia lewat beberapa penerbitan terutama Mimbar Indonesia, Kisah dan Siasat. Terkesan ada rasa kekaguman tersendiri pada kedua penyair ini justru karena prestasi mereka bermula ketika keduanya masih sangat muda (sekitar 14-16 tahunan). Pengarang yang lebih senior seperti Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, Idrus atau Rustandi Kartakusumah malah sambil lalu saja jadi perhatian mereka.
Sejak beberapa waktu sebelumnya, Djamil bersama Gerson Poyk, Hastho Spt. dan Hertoto, sudah aktif mengasuh sebuah rubrik sastra yang diberi nama "tanahair", seminggu sekali pada koran Trompet Masyarakat (TM). Mereka adalah kuartet sastrawan Surabaya pendobrak tembok batu media koran Surabaya yang selalu ogah-ogahan membuka pintu bagi dunia sastra. TM adalah satu-satunya koran Surabaya yang sedia mengulurkan tangan kepada para sastrawan yang menyadari situasi gersang kehidupan sastra kota mereka dibanding kota-kota lain seperti Jakarta atau Jogja. Sungguh aneh dan ironis sekali bahwa TM - sebuah koran milik Pak Goei Po An (GPA), seorang turunan etnis Tionghoa - sedia membuka pintu bagi para sastrawan yang jelas bertahan pada benderanya sendiri, bebas dari ideologi sesuatu partai, bahkan bebas dari haluan kiri GPA.. Padahal koran-koran lain di Surabaya yang lebih bercorak pribumi asli, tak menunjukkan minat pada sastra Indonesia seperti TM.
Kebebasan sikap yang dianut kuartet Djamil-Gerson-Hastho-Hertoto di bidang sastra itu ternyata disikapi dengan cukup toleran oleh GPA yang selalu menolak pengaruh dan kendali partai kiri manapun dalam strategi koran yang dipimpinnya. Di bawah pimpinan GPA TM selalu mendekatkan diri pada kaum pinggiran di pelosok-pelosok kota dan desa. Bertolak dari sikap ini nampaknya GPA berhasil mencapai target sirkulasi koran yang sangat menentukan hidup-matinya. Namun corak liberal-kiri TM tak jarang memicu kejengkelan di kalangan pejabat pemerintahan karena TM, berbeda dengan rekan-rekan medianya, selalu menolak memuat tulisan dan berita-berita berbau propaganda dan cuma menguntungkan reputasi pribadi pejabat bersangkutan. Berita dan tulisan-tulisan berbau reklame dagang dan industri dibuang begitu saja ke keranjang sampah, kecuali sang pengusaha sedia pasang iklan sebagai imbangan. Sikap dan gaya jurnalistik TM ini terutama kentara pada pribadi GPA yang kelewat kritis terhadap sejumlah kebijakan instansi pemerintahan. Ini pula sebabnya mengapa TM kerap terlibat delik-pers dan GPA sendiri beberapa kali harus menghuni rumah tahanan tanpa ada solidaritas sesama media pers di Surabaya. Hal yang juga tak jarang dialaminya di jaman Van der Plas - penguasa pendudukan Belanda hingga 1950 - yang mencap TM sebagai koran "republikein"
Sebagai warga turunan etnis Tionghoa, profesi GPA di bidang pers punya kelemahan dalam hal bahasa. Padahal ia gemar menulis editorial dan tinjauan berita daerah dan tak jarang menggunakan istilah-istilah Jawa atau Belanda dengan gramatika seenak seleranya. Para koresponden daerah kebanyakan juga tidak berpendidikan cukup di bidang jurnalistik, kecuali satu-dua orang saja. Mereka tidak menguasai standar bahasa Indonesia dengan baik. Carut-marut ini benar-benar merupakan cacat kultural. Anehnya minat dan simpati para penggemar sastra terhadap rubrik "tanahair" terasa tetap terjaga, kendati jarang sekali ada sastrawan "mapan" yang sudi mengirim naskah mereka ke sana. Seperti biasa: karena tak ada honor yang bisa diharapkan. Mudah dipahami bahwa dalam kondisi itu kuartet Djamil-Gerson-Hastho-Hertoto selalu menghadapi kesukaran laten yang tak terelakkan. Tak jarang mereka harus mengisi sendiri rubrik itu dengan naskah todongan yang mereka dapat dari teman dekat. Cacat kultural TM memang menjauhkannya dari masyarakat lapisan menengah ke atas. Tapi satu hal mesti diakui, peremehan dari kalangan mereka ini justru mendekatkan koran TM pada buruh dan tani serta wong ndeso yang merasa persoalan daerahnya selalu mendapat cukup perhatian dari para koresponden TM. Dan ini tercapai berkat strategi komersial GPA yang terbukti mampu menjadikan TM koran daerah dengan tiras terbesar di Jawa Timur hingga pelarangan terbitnya tahun 1965.
Kuartet Djamil Suherman-Gerson Poyk- Hastho Spt-Hertoto sebagai penanggungjawab "tanahair" berakhir tahun 1956 ketika Djamil, Gerson dan Hastho harus meninggalkan Surabaya untuk tugas-tugas profesi mereka di luar bidang sastra. Djamil pindah ke Palembang, Gerson jadi guru sebuah sekolah menengah di luar Jawa, Hastho kerja di Jawatan Penerangan Jakarta, kalau tak salah. Sejak itu pengelola "tanahair" beralih ke tangan trio Hertoto-Daryono- Soeprijadi Tomodihardjo sebagai penanggungjawabnya. Hertoto, ketika itu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Erlangga, aktif membantu majalah Brawidjaja. Juga Djamil Suherman dan belakangan Soeprijadi Tomodihardjo. Daryono lebih sibuk menggeluti bidang filsafat, mengagumi Sartre dan Ortega Y Gazet selain gemar membaca puiisi Federico Garcia Lorca. Ia adalah seorang tukang bergadang yang sangat menyenangkan bagi kawan-kawannya. Belakangan seniman senior ini pindah ke bidang senilukis yang membuatnya lebih sukses setelah "berguru" pada kawan-kawan-nya di Yogyakarta.
Ketika konstelasi dan suhu politik di tanahair memuncak dengan cepatnya sejak 1963, trio mereka itu terjepit di tengah-tengah kondisi ekstrem sebuah koran yang kian sukar bertahan pada kebebasan sikap kirinya. Puncak kesulitan ini dipicu oleh munculnya peraturan Departemen Penerangan yang mewajibkan semua media massa berafiliasi dengan sesuatu partai atau dengan tiga ormas yang sehaluan dengan partai bersangkutan. Dewan Perusahaan TM memilih berafiliasi dengan yang terakhir ini. Jelas bukan tanpa risiko, sebab ketiga-tiganya adalah ormas kiri PKI. Munculnya Manifes Kebudayaan yang menimbulkan polemik budaya dan merupakan refleksi pertentangan tajam antara dua kutub aliran politik, mau tak mau juga menempatkan "tanahair" pada posi anti-Manifes. Bagi Soeprijadi, apa yang oleh DS Mulyanto disebut sebagai "parahara budaya" itu, hingga kini tak pernah selesai. Sebab prosesnya hanya terhenti dengan tindakan formal berupa pelarangan Manifes Kebudayaan oleh Presiden Sukarno. Dengan begitu tak ada lagi dialog terbuka secara demokratis yang sebenarnya masih diperlukan. Dalam kondisi itu selangkah demi selangkah Hertoto maupun Daryono menjauhkan diri, tinggal Soeprijadi Tomodihardjo yang belakangan disepakati oleh Drs. Goe Hok Gie (putra GPA, kini tinggal di Melbourne Australia) untuk tetap bertahan sebagai sekertaris redaksi TM dengan tugas utama mengatasi cacat kultural TM, memperbaiki carut-marut bahasa dan jurnalisme korannya selain melanjutkan tugas mengasuh rubrik sastra "tanahair"-nya. Hingga pelarangan terbitnya TM, missi sastra rubrik ini hanya mampu memupuk dan menghasilkan lebih banyak penggemar sastra ketimbang sastrawan. Kini beberapa nama mungkin bisa disebutkan, namun tak terlalu penting mengkaitkannya dengan "tanahair" ketika mereka ikut berperan.
Sementara itu perlu dicatat, hingga pelarangannya, cacat kultural koran TM belum sepenuhnya sempat dibenahi. Pengangkatan Soeprijadi sebagai wakil pemimpin redaksi terjadi ketika ia sedang bertugas di luarnegeri. Larangan terbit koran milik GPA ini didengarnya ketika ia berada di perbatasan Cina-Honkong. Berita itu sendirinya menghapus segala syarat baginya untuk pulang memenuhi tugas barunya di TM. Dengan begitu segala langkah dan upaya TM serta rubrik sastranya tinggal jadi bagian dari tragedi nasional Indonesia. GPA yang atas penunjukan Presiden Sukarno adalah seorang anggota MPRS, bersama hampir semua wartawan dan koresponden TM, akhirnya menjadi korban pembunuhan pasca peristiwa G30S. Sebuah tragedi nasional ketika kesadaran naluri manusia tiba-tiba tak mampu lagi menyelesaikan konflik politik, kecuali dengan kekerasan fisik. Sebuah tragedi yang hingga sekarang sering difahami sebagai refleksi pertarungan antara dua raksasa dunia: komunisme dan kapitalisme yang masing-masing punya kepanjangan tangan di negeri kita, Indonesia.**
___________________________________
Oleh: Soeprijadi Tomodihardjo
Penulis tinggal di Jerman, karaya-karya sastranya pernah muncul sekitar tahun 1955-1963 di majalah Mimbar Indonesia, Siasat, Kisah, Tjerita, Sastra, Minggu Pagi dan Brawidjaja. Mengakhiri karir jurnalistiknya tahun 1972, kemudian bekerja di Administrasi Rumahsakit Universitas Koeln Jerman hingga pensiun tahun 1998. Kini kembali mencoba menulis prosa dan puisi , antara lain di majalah KREASI yang terbit di Belanda, juga di koran KOMPAS, media elektronik Cybersastra dan Panggung.