Kapitan Arab
Kapitan Arab atau Kapten Arab (bahasa Inggris: Captain of the Arabs; bahasa Belanda: Kapitein der Arabieren; bahasa Arab: الكابتن العرب , translit. al-Kābitin al-'Arab) atau Kepala Orang-orang Arab (bahasa Belanda: Hoofd der Arabieren; bahasa Arab: القائد العرب , translit. al-Qā'id al-'Arab) adalah posisi di kolonial Hindia Belanda ditunjuk dengan tugas memimpin etnis Arab-Indonesia, yang biasanya hidup terkonsentrasi di daerah-daerah yang telah ditentukan ( Kampung Arab).[1] Peran mereka adalah sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah kolonial, memberikan informasi statistik untuk pemerintah Hindia Belanda pada isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat keturunan Arab, untuk menyebarluaskan peraturan-peraturan dan keputusan pemerintah, danuntuk menjamin pemeliharaan hukum dan ketertiban. [2]
Menurut Van den Berg, masyarakat keturunan Arab di Batavia menetap di sebuah daerah yang disebut Pekojan.[3][4]
Kata Pekojan berasal dari kata Pe-Koja-an, yang berarti Daerah Koja, ,[5] istilah yang diberikan bagi orang-orang Muslim yang berasal dari daerah Gujarat, India. Sementara Koja sendiri dari kata Khoja. Sampai akhir abad ke-18, daerah itu sebagian besar didominasi oleh pemukim Khoja Gujarati sampai abad ke-19.[6] Ketika Van den Berg melakukan studi (1884-1886), tidak ada lagi Gujarati. Pada saat itu sebagian besar pemukim adalah orang Arab dan segelintir orang Cina. Sejak sekitar tahun 1970-an, orang-orang Arab adalah minoritas dan Cina berubah menjadi mayoritas.[6] Dia menggambarkan Pekojan sebagai kumuh dan daerah kotor. Kurang lebih satu setengah abad lalu, orang-orang Arab juga telah pindah dan tinggal di pinggiran kota (sekarang Jakarta Pusat), seperti daerah Krukut dan Tanah Abang.[7]
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memiliki hukum konstitusi yang mengakui tiga kategori individu di Batavia (dan kemudian diterapkan ke tempat lain), yaitu: Orang Eropa (Belanda: Europeanen), Orang Timur Asing (Belanda: Vreemde Oosterlingen), dan pribumi (inlander). Karena semakin banyak imigran berimigrasi dari Hadramaut, Pemerintah Belanda mulai hukum disebut wijkenstelsel tahun 1844 untuk memisahkan mereka dari penduduk asli[6] Akibatnya, pemerintah memerlukan seorang kepala kelompok, yang disebut Kapten Arab, yang ditunjuk dari kalangan masyarakat Arab sendiri sebagai titik kontak dan penghubung. Posisi yang serupa ditunjuk sebagai Kapitan Cina untuk kalangan masyarakat Cina. Lebih dari setengah dari Kapitan Arab yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial adalah orang-orang non Sayyid. Keputusan ini dibuat untuk melemahkan anggapan sebagian Hadhrami tradisional tentang status sosial mereka.[2][8] Kapten ini kadang-kadang disertai dengan seorang asisten yang disebut Luitenant van de Kapitein der Arabieren atau hanya Liutenant der Arabieren alias Letnan Arab.[9]
Kapten Arab pertama yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia adalah Said Naum selama periode 1844-1864. [10] Ia digantikan oleh Muhammad bin Abubakar 'Aydid untuk periode 1864-1877.[11] Di antara orang-orang Arab lain yang memiliki posisi di Batavia adalah Hasan Argoubi, Muhammad Umar Ba-Behir (Arab: محمد عمر البابحر, translit Mohammed Omar al-Baa Behir.) Dan Umar bin Yusuf Mangus (bahasa Arab: عمر منقوش, translit. Omar Manqoosh) selama periode 1902-1931.[12]
Umar Mangus adalah seorang pedagang kaya dan memiliki bisnis properti. Sebagai jasanya menjabat posisi Kapitan Arab, Umar dianugerahi gelar kehormatan De Ridder in de Orde van Oranje-Nassau (Ksatria Ordo Orange-Nassau).[13] Dia dilantik pada 28 Desember 1902 dengan Sheikh Ali bin Abdoellah bin Asir sebagai Letnan Arab-nya.[14]
Sebelum Umar Mangus diangkat sebagai Kapitan Arab, sebagian besar orang Arab telah memutuskan untuk memilih Syarif Abdullah ibn Husein Alaydrus, seorang pedagang kaya yang terkenal karena kemurahan hatinya dan memiliki perilaku yang baik serta menonjol di antara orang-orang keturunan Arab dan Eropa. Banyak orang berpikir bahwa dengan hubungan dekat dengan orang Eropa, ia akan bersedia menerima posisi jabatan sebagai kapten Arab. Pemerintah kolonial terus mendesaknya untuk menerima posisi itu, tapi ia dengan tegas menolak hal itu. Dia tidak sendirian dalam menolak, karena penolakan ini mendapat dukungan dari para orang tua Arab terhormat.v
Menurut Snouck Hurgronje yang melakukan penelitian pada tahun 1901, pemerintah kolonial Belanda memiliki lebih banyak kesulitan menunjuk Kapten Arab karena sebagai besar masyarakat Arab lebih banyak yang peranakan (Muwallad) dan kurang atau tidak memiliki otoritas dibandingkan dengan yang berdarah-murni Hadramaut (Wulayti) yang jumlahnya makin berkurang.[2]
Di Cirebon, ada orang Indonesia Arab ditunjuk sebagai kapten di 1845. Seperti di Batavia, desa Arab di sini pernah menjadi tempat tinggal para Gujarati atau mungkin dari Bengali juga. Pada tahun 1872 daerah koloni Indramayu lepas dari administratif Cirebon yang kemudian ditunjuk seorang kapten Arab pula. Di Banjarmasin di sekitar 1899, Kapitan Arab adalah Kata Hasan bin Idroes al-Habshi atau lebih dikenal sebagai Habib Ujung Murung.[2][15] Penerus Said Hasan sebagai Kapten Arab di Kalimantan Selatan adalah Alwi bin Abdullah al-Habshi, yang kemudian pindah ke Barabai.
Demikian pula, di Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Gresik, Pasuruan, Bangil, Lumajang, Besuki, Banyuwangi, Surakarta, Sumenep, dan berbagai tempat di Nusantara masing-masing memiliki Kapitan Arab. Salah satu alasan pemerintah kolonial melakukan ini adalah untuk memisahkan orang-orang Arab dari orang-orang pribumi.[7]] Di Pekalongan, salah satu Kapten Arab adalah Hasan Saleh Argubi. Di Bangil, beberapa Kapitan Arab diantaranya Saleh bin Muhammad bin Said Sabaja (1892), Muhammad bin Saleh Sabaja (1920), dan Muhammad bin Salim Nabhan (1930).[16] Di Banyuwangi, beberapa keturuna Arab yang memegang posisi ini, antara lain, adalah Datuk Sulaiman Bauzir, Datuk Dahnan, Habib Assegaf, dan Ahmad Haddad.[17] Di Pasuruan, Kapten Arab adalah Sayyid bernama Alim al-Qadri, yang merupakan kakek dari Hamid Algadri.
Di Gresik, Kapitan Arab pada tahun 1930 adalah Husein bin Muhammad Shahab sementara Kapitan Arab Surabaya adalah Salim bin Awab bin Sungkar, yang memiliki tanah yang luas (86.500 meter persegi (21,4 ekar))) di Pusat Kota Surabaya, Ketabang Barat.[18]
Menurut dua wisatawan Baha'i yang mengunjungi Makasar pada tahun 1885, orang Iran yang bernama Sulayman Khan Tunukabanı, yang dikenal sebagai Jamal Effendi, dan rekannya seorang India-Irak bernama Sayyid Mustafa Rumi, Kapten Arab di Makasar pada saat itu adalah Said Ali Matard.[19]
Di Palembang, sebagian besar Kapten Arab, jika tidak semua, tinggal di kecamatan 13-Ulu ("Seberang Ulu sungai Musi). Tidak ada catatan yang diketahui mengenai siapakah Kapten Arab yang pertama, tapi Kapten Arab terakhir adalah Ahmad Al Munawwar (d. 1970), atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ayip Kecik (Sayyid Kecil) atau Yipcik.[20] [21]
See also
References
- ^ Jacobsen, Frode F. (2008). Hadrami Arabs in Present-day Indonesia: An Indonesia-oriented Group with an Arab Signature. Taylor & Francis. hlm. 24. ISBN 978-020388-4614.
- ^ a b c d Mobini-Kesheh, Natalie (1999). The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900–1942 (edisi ke-illustrated). SEAP Publications. hlm. 25. ISBN 978-0877-2772-79.
- ^ Ensiklopedi Jakarta: culture & heritage. 1. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. 2005. hlm. 68. ISBN 978-97986-82506.
- ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan (1989). Hadramaut dan koloni Arab di Nusantara. 3. INIS.
- ^ Shahab, Alwi (2004). Saudagar Baghdad Dari Betawi. Penerbit Republika. hlm. 29. ISBN 978-97932-10308. Diakses tanggal Jun 9, 2014.
- ^ a b c Evawani, Elissa (November 30, 2007). Pekojan: Between The Disappearance of Muslim Arabs and The Emergence of Chinese Communities (Tesis). http://staff.ui.ac.id/system/files/users/evawani.ellisa/publication/indiaisvspekojanpaper.pdf. Diakses pada February 10, 2015.
- ^ a b "Hadramaut dan Para Kapiten Arab". Diakses tanggal Jun 8, 2014.
- ^ Jacobus de Hollander, Johannes; Eck, Rutger (1895). Handleiding bij de beoefening der landkunde en volkenkunde van Nederlandsch Oost-Indië (edisi ke-5th). Broese. hlm. 311.
- ^ Albrecht, J.E. (1877). Klapper op de Wetboeken en het Staatsblad van Nederlandsch-Indië, benevens op het Bijblad op dat Staatsblad van 1816 tot 1876 (dalam bahasa Belanda). Netherlands: University of Amsterdam.
- ^ Lohanda, Mona (2007). Sejarah para pembesar mengatur Batavia. Jakarta: Masup. ISBN 9789792572957.
- ^ Landsdrukkerij (1871). Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar ... (dalam bahasa Belanda). 44. Netherlands: Lands Drukkery.
- ^ Azra, Azyumardi (1995). "Hadhrami Scholars in The Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid 'Uthman". Studia Islamika. Diakses tanggal January 3, 2015.
- ^ "Nahdah: Renaissance Kaum Hadhrami". Diarsipkan dari versi asli tanggal May 8, 2014. Diakses tanggal July 8, 2014.
- ^ "Nederlands-Indië Archief" (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal August 8, 2016.
- ^ "Habib Hasan Ujung Murung Sang Kapten Arab". Diakses tanggal Jun 8, 2014.
- ^ "Bangil, Terlupakan Dalam Sejarah". Kampung Arab Surabaya. Diakses tanggal June 11, 2014.
- ^ "Asal-usul Desa Lateng Kampung Arab". Diakses tanggal Jun 9, 2014.
- ^ Rabani, La Ode; Artono, Artono (2005). Komunitas Arab: Kontinuitas dan Perubahannya di Kota Surabaya 1900-1942. 7. Surabaya: Jurnal Masyarakat dan Budaya. hlm. 124.
- ^ de Vries, Jelle (2007). "Effendi, Jamal and Sayyid Mustafa Rumi in Celebes: The Context of Early Baha'i Missionary Activity in Indonesia" (PDF). Baha’i Studies Review. 14. Diakses tanggal September 14, 2014.
- ^ Wijaya, Taufik (September 3, 2009). "Kampung Kapten Arab Al Munawar, Kampung Tua di Tepian 2 Sungai". Diakses tanggal August 30, 2016.
- ^ Winnie, Satya. "Kampung Al-Munawar, Rekam Jejak Arab di Palembang". Diakses tanggal April 15, 2017.