Orang Arab Indonesia
Suku Arab-Indonesia adalah penduduk Indonesia yang memiliki darah Arab dan Pribumi Indonesia. Pada awal kedatangan, mereka umumnya tinggal di perkampungan Arab yang tersebar di berbagai kota di Indonesia[1]. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka dianggap sebagai bangsa Timur Asing bersama dengan suku Tionghoa-Indonesia dan suku India-Indonesia.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. | |
Bahasa | |
Bahasa Arab, Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah lainnya. | |
Agama | |
Islam Sunni | |
Kelompok etnik terkait | |
Hadhrami, Arab, Diaspora Arab, Arab-Malaysia, Arab-Singapura |
Sejarah kedatangan
Setelah terjadinya fitnah besar di antara umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perpindahan (hijrah) besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya.[2]
Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula utama dari berbagai koloni Arab yang menetap dan bercampur menjadi warganegara di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Selain di Indonesia, Orang Hadhrami ini juga banyak terdapat di Oman, India, Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, dan Singapura.
Terdapat pula warga keturunan Arab yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika lainnya di Indonesia, misalnya dari Mesir, Arab Saudi, Sudan atau Maroko; akan tetapi jumlahnya lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Hadramaut.
Perkembangan di Indonesia
Kaum Arab Hadrami yang datang ke Nusantara sebelum abad ke-18 telah berasimilasi penuh dengan penduduk lokal. Sebagai produk asimilasinya, banyak anak keturunannya yang menggunakan nama-nama lokal daripada nama-nama Arab. Hal tersebut yang menyebabkan Kaum Arab Hadrami yang berimigrasi ke Nusantara sebelum abad ke-18 sulit diidentifikasi, kecuali mereka yang memang memiliki hubungan historis dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Sebagai contoh asimilasi antara Kaum Arab Hadrami dengan Pribumi-Nusantara adalah pernikahan antara Syarif Abdullah dari Mesir dengan Rara Santang (puteri Prabu Siliwangi) yang kemudian berputera Syarif Hidayatullah, dan menghasilkan anak keturunan dari Raja-raja Banten di ujung barat Pulau Jawa, umumnya mereka dapat diidentifikasi dengan gelar kebangsawanannya seperti Tubagus atau Ratu.[3][4]
Sedangkan mereka yang datang setelah abad ke-18, lebih sedikit yang melakukan asimilasi sehingga lebih mudah diidentifikasi dengan marga-marga yang mereka bawa, seperti Assegaf, al-Aydrus, al-Attas, dan lainnya.[5]
Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam 3 gelombang utama.[6]
Abad 9-11 Masehi
Catatan sejarah tertua adalah berdirinya Kerajaan Peureulak di Aceh Timur pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M)[7]. Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja'far Shadiq hijrah ke Negeri Perlak. Ia kemudian menikah dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi dari Negeri tersebut[8]. Dari pernikahan ini lahirlah Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah sebagai Raja pertama Kerajaan Peureulak (840 – 864). Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah 'Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh' 10 Juli 1978 oleh (Alm.) Prof. Ali Hasyimi.[9]
Abad 12-15 Masehi
Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Walisongo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Gujarat[10][11] yang masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut. Ia besama putra-putranya berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga Nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat yang utamanya dari kalangan bangsawan Kerajaan Hindu.[12][13][14]
Abad 17-19 Masehi
Abad ini adalah gelombang terakhir, ditandai dengan hijrah massalnya para Alawiyyin Hadramaut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara. Kaum pendatang terakhir ini dapat ditandai keturunannya hingga sekarang karena berbeda dengan pendahulunya, tidak banyak melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Selain itu dapat ditandai dengan marga yang umum dikenal sekarang seperti al-Attas, Assegaf, al-Jufri, al-Aydrus, Shihab, Shahab, al-Haddad, al-Habsyi, dan lainnya[15][16]. Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan. Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah as-Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Mauladdawilah setelah ia wafat pada 731 H atau abad 14 - 15 M[17]. Sedangkan marga-marga lain terbentuk bahkan lebih belakangan, umumnya pada abad 16. Biasanya nama marga diambil dari gelar seorang ulama setempat yang sangat dihormati. Berdasarkan taksiran pada 1366 H, jumlah mereka sekarang tidak kurang dari 70 ribu jiwa, Ini terdiri dari kurang lebih 200 marga. Bahkan menurut catatan Rabithah Alawiyah, setidaknya ada sekitar 1,2 juta orang Arab-Indonesia yang ‘berhak’ menyandang sebutan Habib. Mereka memiliki moyang yang berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut. Habib di kalangan Arab-Indonesia adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang secara khusus dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.[18][19][5]
Mulai 1870 hingga setelah 1888
Pada tahun 1870 Terusan Suez mulai dibuka, sehingga kapal dari Eropa ke Timur termasuk Hindia Belanda bisa langsung melalui Suez. Kemudian pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara mulai dibangun tahun 1877 secara modern. Selanjutnya Koninklijke Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda dioperasikan tahun 1888 dengan rute Eropa - Hindia Belanda, sehingga memungkinkan orang-orang Marga Arab Hadramaut atau Arab Mesir datang ke Hindia Belanda, dan berangsur-angsur mulai tahun 1870 hingga setelah tahun 1888 terjadi migrasi orang Arab dan Mesir ke Hindia Belanda. Mereka tidak membawa keluarga, karena sesuai tradisi Arab, bahwa wanita tidak boleh bepergian apalagi sejauh ke Hindia Belanda naik kapal berhari-hari. Keturunan pertama yang lahir di Hindia Belanda misalnya adalah Abdurrahman Baswedan lahir di Surabaya 1908 (kakek Anies Baswedan) dan Syech Albar lahir Surabaya 1914 (ayah Ahmad Albar).
Saat ini diperkirakan jumlah keturunan Arab Hadramaut di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang ada di tempat leluhurnya sendiri. Penduduk Hadramaut sendiri hanya sekitar 1,8 juta jiwa[5][19]. Bahkan sejumlah marga yang di Hadramaut sendiri sudah punah (seperti Basyeiban dan Haneman) di Indonesia jumlahnya masih cukup banyak. Perkampungan Arab banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia, misalnya di Jakarta (Pekojan)[1], Bogor (Empang)[20][21][22], Surakarta (Pasar Kliwon), Surabaya (Ampel)[23][24], Gresik (Gapura), Malang (Jagalan), Cirebon (Kauman)[25], Tegal (Kauman), Pekalongan (Sugihwaras), Mojokerto (Kauman), Yogyakarta (Kauman)[26], Probolinggo (Diponegoro), Bondowoso, Palembang (Kampung Arab)[27] dan Banjarmasin (Kampung Arab), serta masih banyak lagi yang tersebar di kota-kota lainnya seperti Banda Aceh, Sigli, Medan, Lampung, Makasar, Gorontalo, Ambon, Mataram, Ampenan, Sumbawa, Dompu, Bima, Kupang, dan Papua.[28]
Keturunan Arab Hadramaut di Indonesia, seperti negara asalnya Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi, dan kelompok Qabili.[15]
Tokoh dan peranan
- Lihat pula: Marga Arab Hadramaut
Di Indonesia, sejak zaman dahulu telah banyak kaum keturunan Arab yang menjadi pejuang, ulama dan dai. Di antara para penyebar agama yang menonjol ialah Walisongo, yang diduga kuat (Van Den Berg, 1886) merupakan keturunan Arab Hadramaut dan atau merupakan murid-murid mereka. Kaum Arab Hadramaut yang datang sekitar abad 15 dan sebelumnya mempunyai perbedaan mendasar dengan mereka yang datang pada gelombang berikutnya (abad 18 dan sesudahnya). Sebagaimana disebutkan oleh Van Den Berg, kaum pendahulu ini banyak berasimilasi dengan penduduk asli, terutama dari keluarga kerajaan Hindu. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat penyebaran agama Islam, sehingga keturunan mereka sudah hampir tak bisa dikenali sebagai keturunan Arab Hadramaut.
Di antara marga-marga Hadramaut yang pertama-tama ke Indonesia adalah keluarga Basyaiban, yaitu Sayyid Abdurrahman bin Abu Hafs Umar Basyaiban BaAlawi pada abad ke-17 Masehi.
Pada zaman kejayaan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia, beberapa keturunan Arab dirajakan oleh masyarakat setempat, antara lain di Jawa (Demak, Cirebon, dan Banten), Sumatera (Peureulak, Aceh, Siak, Pelalawan, dan Riau-Lingga), dan Kalimantan (Sambas, Pontianak, Kubu, dan Pasir). Selain itu, sejak lama pula banyak sekali keturunan Arab yang menjadi pedagang, dan mereka tersebar di berbagai penjuru kepulauan Indonesia.
Kaum Arab Hadramaut yang datang pada abad ke-18 dan sesudahnya, tidak banyak melakukan pernikahan dengan penduduk asli sebagaimana gelombang kedatangan yang sebelumnya. Mereka datang sudah membawa nama marga-marga yang terbentuk belakangan (sekitar abad 16-17). Keturunan kaum Arab Hadramaut yang datang belakangan ini, masih mudah dikenali melalui nama-nama khas marga mereka. Warga Arab-Indonesia sampai saat ini turut berperan aktif dalam bidang keagamaan Islam dan berbagai bidang kehidupan lainnya di Indonesia.[3]
Bangsa Arab dan Kerajaan Nusantara
-
Syarif Hidayatullah, raja ke-2 Kesultanan Cirebon
-
Sultan Maulana Hasanuddin, Raja pertama Kesultanan Banten
-
Sultan Muhammad Syafiuddin II, raja ke-13 Kesultanan Sambas
-
Sultan Syarif Abdul Hamid Alkadrie, Raja terakhir Kesultanan Pontianak
-
Sultan Syarif Kasim II, Raja terakhir Kesultanan Siak Sri Inderapura
-
Sultan Syarif Harun, Raja terakhir Kesultanan Pelalawan
-
Sultan Abdul Rahman II Muazzam Shah, raja terakhir Kesultanan Riau-Lingga
-
Sultan Syarif Saleh al-Aydrus, Raja ke-8 Kerajaan Kubu
-
Sultan Ibrahim Chaliludin, raja terakhir Kesultanan Paser
Dalam sejarah pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tidak terlepas dari pengaruh komunitas Ba' Alawi atau para Sayyid (Syihab, 2004:237-238), antara lain[28]:
Kerajaan Peureulak
Kerajaan Peureulak Didirikan tahun 225 Hijriyah / 840 Masehi oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Ia adalah putra dari Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja'far Shadiq, generasi ke 8 dari Rasulullah S.A.W.
Kesultanan Demak
Sultan Demak pertama adalah Raden Patah, ia adalah murid dan menantu Sunan Ampel. Menurut data sejarah dari al-Habib Hadi bin Abdullah al-Haddar dan al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba’Alawi, Raden Patah adalah putera dari Sultan Abu Abdullah (Wan Bo atau Raja Champa) bin Ali Nurul Alam bin Maulana Husain Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik bin Alawi Amal al-Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Menurutnya, terjadi pemutar balikan sejarah terkait nasab Raden Patah oleh tokoh-tokoh orientalis Belanda pada waktu itu yang menyimpangkan nasab Raden Patah kepada Brawijaya V atau Bhre Kertabumi, Raja Majapahit terakhir dari Dinasti Raden Wijaya, yang bahkan kekeliruan sejarah tersebut juga tercantum dalam Babad Tanah Jawi Galuh Mataram.[29][30]
Kesultanan Banten
Kesultanan Banten didirikan pada tahun 1568 Masehi oleh Sultan Maulana Hasanuddin atas perintah dan restu ayahnya, Sultan Syarif Hidayatullah bin Syarif Abdullah dari Kesultanan Cirebon, salah seorang dari Walisongo.
Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon didirikan oleh Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) pada tahun 1430 Masehi, putera sulung Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dengan Nyai Subanglarang. Pada tahun 1479, Pangeran Walangsungsang menyerahkan kekuasaan atas Kesultanan Cirebon kepada keponakannya, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan menobatkannya sebagai raja ke-2 Kesultanan Cirebon.
Kesultanan Siak Sri Inderapura
Kesultanan Siak menjadi kerajaan Islam pada tahun 1723 Masehi. Sejak Sultan ke VII, tampuk pimpinan dipegang oleh anak cucu dari Sayyid Usman bin Syihabuddin. Pada zaman Sultan ke XII, Sultan Syarif Kasim II, selaku Sultan Siak terakhir, telah secara ikhlas mempercepat proses kemerdekaan dan kesatuan wilayah Indonesia dengan menyerahkan dan memasukkan Kesultanan Siak dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerajaan Pelalawan
Raja pertama Kesultanan Pelalawan yang berdaulat adalah Sultan Syarif Abdurrahman, adik dari Sultan Syarif Ali dari Siak dan putera dari Sayyid Utsman bin Abdurrahman bin Sa'id yang menikah dengan Puteri Sultan Siak ke 4.
Kesultanan Pontianak
Kesultanan Pontianak didirikan tahun 1194 H / 1173M oleh Syarif Abdurrahman bin Habib Husain al-Qadri. Pada tahun 1950 M, Sultan Pontianak terakhir, Sultan Hamid II al-Qadri, menyerahkan kesultanan ke pemerintahan Republik Indonesia.
Kerajaan Kubu
Kerajaan Kubu didirikan pada tahun 1911 H / 1778M, Sultan pertamanya adalah Syarif Idrus bin Abdurrahman Alaydrus. Pada tahun 1958 M, Sultan Kubu terakhir, Syarif Hasan bin Zen ‘Alaydrus, menyerahkan kesultanan ke pemerintah Republik Indonesia.
Kerajaan Sabamban
Kerajaan Sabamban didirikan oleh Pangeran Syarif Ali bin Syarif Abdurrahman Alaydrus, cucu dari Syarif Idrus bin Abdurrahman Alaydrus, raja pertama Kerajaan Kubu. Setelah Pangeran Syarif Ali wafat, cucunya yang bernama Pangeran Syarif Qasim bin Syarif Hasan Alaydrus diangkat menjadi raja kedua Kerajaan Sabamban.
Kesultanan Riau-Lingga
Raja pertama Kesultanan Riau-Lingga adalah (berkuasa dari tahun 1819 - 1832) yang junga merupakan Sultan Johor ke-17, ia adalah putra dari , raja ke-16 Kesultanan Johor. merupakan keturunan dari , Bendahara Kesultanan Johor yang ke-19.
Kesultanan Sambas
Raja Islam pertama Kesultanan Sambas adalah Raden Sulaiman, yang dinobatkan pada tahun 1671 dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Raden Sulaiman merupakan putera dari Sultan Sarawak pertama, Pangeran Muda Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Kakeknya, merupakan Sultan Brunei ke-10. Dari silsilah inilah, Raden Sulaiman memiliki garis keturunan kepada Sultan Syarif Ali dari Tha'if, Sultan Brunei ke-4 yang merupakan menantu dari Sultan Brunei ke-3 Sultan Ahmad.[31]
Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh didirikan oleh Ali Mughayat Syah dari Dinasti Meukuta Alam. Pada perkembangan selanjutnya, Kesultanan Aceh dipimpin oleh beberapa dinasti, diantaranya adalah Keturunan Dinasti Perak, Keturunan Inderapura, Dinasti Darul-Kamal, Keturunan Dinasti Pahang, Dinasti Syarif Jamalullail, hingga yang terakhir adalah Dinasti Bugis.
Kesultanan Aceh selama 28 tahun dipimpin oleh Dinasti Syarif Jamalullail, dari Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (berkuasa dari tahun 1699 - 1702) hingga Sultan Syamsul Alam (berkuasa dari tahun 1726 - 1727).[32]
Kerajaan Pasir
Penguasa pertama Kerajaan Pasir adalah Putri Betung atau Putri Di Dalam Petung. Putri Betung menikah dengan seorang keturunan Arab bernama Pangeran Indera Jaya dari Gresik dan dikaruniai dua orang anak, Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter. Pada perkembangan selanjutnya, Adjie Patih menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di Kerajaan Pasir. Sedangkan Putri Adjie Meter menikah dengan seorang Arab keturunan Ba' Alawi dari Kesultanan Mempawah. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian menyebarkan agama Islam di Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 Masehi. [33]
Pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang Arab keturunan Ba' Alawi dari Mempawah dikaruniai dua orang anak, Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan dengan Adjie Anum bin Adjie Patih Indra. Keturunan dari pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.[34]
Galeri
-
Orang Arab di Talise tahun 1920
-
Arab-Indonesia sedang mengerjakan Batik
Lihat pula
Referensi
- ^ a b "Ulama Hadhrami di Tanah Betawi: Berdakwah dengan Sepenuh Hati". archive.is. 2014-07-14. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "RootsWeb's WorldConnect Project: Naqobatul Asyrof Al-Kubro". wc.rootsweb.ancestry.com. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ a b Saefullah, Hikmawan (2013-08-11). "Kaum Arab Hadrami di Indonesia: Sejarah dan Dinamika Diasporanya #2". antimateri.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ Urbaner (2015-07-29). "Cerita gelar Tubagus dan Ratu di Banten - Bantenurban.com". Bantenurban.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ a b c Muslim, Mbah. "Mengenal Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia". MusliModerat. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Sejarah Kedatangan Islam ke Nusantara" (PDF). 2011-01-01. Diakses tanggal 2017-4-18.
- ^ "Masjid dan Makam Raja Negeri Peureulak Aceh Timur - Dari Samudra Pasai menuju Kebudayaan Islam Asia Tenggara". Dari Samudra Pasai menuju Kebudayaan Islam Asia Tenggara (dalam bahasa Inggris). 2014-08-10. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Kerajaan Perlak, Kerajaan Islam Indonesia yang Pertama - Ahlulbait Indonesia". Ahlulbait Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2014-01-11. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ atjehcyber. "Kesultanan Islam Peureulak". ATJEH CYBER WARRIOR. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "1. Syaikh Maulana Jamaluddin Husein Akbar b. ~ 1310 d. ~ 1453 - Rodovid ID". id.rodovid.org. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Maulana Husain, Pelopor Dakwah Nusantara". Kanzunqalam's Blog. 2010-08-31. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Sepenggal Kisah Syeikh Jumadil Kubro". www.kompasiana.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ Budianto, Enggran Eko. "Napak Tilas Sayyid Hussein Jumadil Kubro, Bapak Wali Songo". detikTravel (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ (Haji), Ibrahim Ismail (1992-01-01). Syeikh Dawud al-Fatani: satu analisis peranan dan sumbangannya terhadap khazanah Islam di Nusantara (dalam bahasa Melayu). Akademi Pengajian Melayu. ISBN 9789839705317.
- ^ a b "Dinamika Menelusuri Silsilah Para Habib". tirto.id. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Salah Kaprah Sebutan Habib di Masyarakat | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ S.Kom, H. Zainal Hakim,. "Silsilah Nasab Marga Assegaf". kabarbanjarmasin.com. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Mereka yang Habib dan yang Bukan Habib". tirto.id. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ a b "Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia – Satu Islam". satuislam.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Kelurahan Empang Ditetapkan Sebagai Kawasan Wisata Religi Kampung Arab". TribunnewsBogor.com. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ Media, Kompas Cyber. "Arab Empang, Menapaki Perjalanan Si Rumah Panggung - Kompas.com". KOMPAS.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Napak Tilas Sejarah Kampung Arab Empang Bogor". Green TV. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Panggilan dari kampung Arab Ampel Surabaya - BBC Indonesia". BBC Indonesia. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Ahlan Wa Sahlan! Ini Dia Kampung Arab di Surabaya". detikTravel (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ Liputan6.com. "Kampung Arab Cirebon, dari Sentra Gerabah Jadi Pusat Pertokoan". liputan6.com. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ "Kampung Arab Jogja - Nggak Usah ke Timur Tengah, Jogja Punya Kebab Rp 20 Ribuan Bonus Sumsum". TribunTravel.com. Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ Yamakasi, Madon. "Dinas Pariwisata Kota Palembang". palembang-tourism.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-04-18.
- ^ a b "Perempuan Arab - Literatur, Kunthi Tridewiyanti, FISIP UI., 2009." (PDF). http://lib.ui.ac.id. 2009-01-01. Diakses tanggal 2016-12-31. Hapus pranala luar di parameter
|website=
(bantuan) - ^ "Manaqib Raden Fattah Azmatkhan 1424–1518 Masehi – MALAYA Culture | Yayasan Alam Melayu Sriwijaya". www.malaya.or.id. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ "BUKTI BUKTI PEMALSUAN NASAB RADEN PATAH DEMAK YANG TERTOLAK OLEH RANJI SILSILAH KESULTANAN CIREBON DAN KESULTANAN BANTEN | Ranji Sarkub". Ranji Sarkub. 2015-05-10. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ "Kesultanan Sambas | Melayu Online". melayuonline.com. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ "Inilah Anak Cucu Nabi Muhammad di Indonesia | islamidia.com". islamidia.com. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ "KERAJAAN PASIR BALENGKONG (SADURANGAS)". kesultanan_pasir.tripod.com. Diakses tanggal 2017-04-26.
- ^ "Kesultanan Pasir (Sadurangas) | Melayu Online". melayuonline.com. Diakses tanggal 2017-04-26.
Pranala luar
- (Indonesia) Website resmi Rabithah Alawiyah
- (Inggris) Interview: Hamid Al-Gadri
Bibliografi
- Alattas, Alwi (2005): Pan-Islamism and Islamic Resurgence in the Netherlands East Indies: The Role of Abdullah ibn Alwi Al-Attas (1840-1928). International Conference Proceeding The Yemen–Hadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? Kuala Lumpur: International Islamic Universiy Malaysia (IIUM).
- Al-Kaff, Seggaff bin Ali. 1992. Diraasat fi Nasab as-Saadat banii ‘alawii: Dzuriyyat al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isaa. Kuala Lumpur: Utusan Printcorp Sdn. Nhd.
- Van den Berg, L.W. C. (1886/2010) Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.